B A G I A N 42 | Extra Part

300 12 0
                                    

Beberapa tahun kemudian.

"Permisi, Mbak. Saya pesan Lemon Ade satu, ya?"

Pesanan tersebut sampai saat Zara tengah membuat empat buah minuman dingin sekaligus. Hari telah menjumpai malam namun cuaca yang beberapa hari terakhir terasa pengap dan menusuk kulit membuat para pelanggan beramai-ramai memesan minuman dingin untuk mereka nikmati.

Seharusnya ada Gibran yang membantu Zara menyiapkan minuman. Tetapi karena jumlah pemesanan minuman hangat berkafein juga melonjak naik membuat lelaki itu turut sibuk di sebelah Zara. Begitu pula Afnan yang terus bolak-balik mengantar pesanan ke meja pelanggan. Apalagi Dirga yang kini berposisi sebagai kasir seakan tidak kunjung diberi waktu untuk bernapas saking repotnya dia.

"Baik, tunggu sebentar, ya, Mas," jawab Zara sambil memasukkan balok persegi yang berukuran kecil-kecil ke dalam gelas berbahan plastik transparan untuk menaruh minuman nanti.

"Nengok dong, Mbak. Jauh-jauh loh saya dateng. Masa dicuekin."

Seketika, keramaian kafe Nanza malam itu tersingkirkan suaranya dari pendengaran Zara digantikan oleh suara berat lelaki yang berdiri di depan meja bar.

"Nando?" gumam Zara sewaktu kedua matanya menangkap lelaki berpakaian kasual dengan senyuman lebar di wajahnya.

Sudah lama sekali.

Sudah lama sekali lelaki itu tidak Zara lihat sosoknya.

"Kok di sini?" tanyanya pada Nando.

Beberapa tahun sejak kesembuhan Zara menjadi awal kemajuan untuk Nando. Dia yang sudah handal menjalankan bisnis memutuskan untuk memasuki dunia perkuliahan dengan uang dari penghasilannya sendiri. Semua modal usaha yang sebelumnya dipinjam dari Ray telah kembali kepada pemiliknya hingga segala pemasukan pribadinya mampu menjadi penopang Nando untuk kuliah jurusan bisnis dan manajemen.

Semenjak itu pula, Nando sudah jarang terlihat kehadirannya di kafe Nanza. Dia juga lebih banyak mengurus cabang-cabang kafenya yang lain yang mulai dibuka dibeberapa daerah yang terpisah.

"Kangen sama lo dong."

Memang benar sebuah ungkapan yang menyatakan, semakin jauh jaraknya semakin besar pula rindunya.

Zara tidak menjawab. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menahan senyum untuk ucapan Nando itu. Kedua tangannya masih terus sibuk membuat pesanan termasuk pesanan yang tadi Nando sebutkan.

"Sibuk, ya?" tanya Nando. Kedua kakinya beranjak untuk menaruh tas di bagian belakang bar lalu mendekati Zara. Ia kemudian berujar, "biar gue bantu."

"Eh, enggak usah. Masa bos bantu karyawannya?" Zara mengambil alih gelas yang sempat Nando ambil.

"Mulai deh." Kening Nando mengerut diikuti oleh helaan napasnya. "Gue bukan bos. Gue rekan kerja lo juga."

Seulas senyum tipis tergambar di bibir Zara begitu Nando tetap kekeuh untuk membantunya. Tangan lelaki itu jelas lebih lincah daripada Zara untuk urusan bekerja di belakang bar.

"Gimana? Enakan diposisi sekarang atau jadi pelayan?" Nando bertanya selepas menghabiskan deretan pesanan yang harus dibuat. Ia lalu melanjutkan, "kalau posisi sekarang lebih capek, gue bisa ganti lagi."

"Gue suka kok. Buat minuman dingin gini asik juga," jawab Zara.

Kedua sudut bibir Nando terangkat sedikit hingga membentuk lengkungan senyum tipis di bibirnya. Ia menahan diri untuk tidak menepuk-nepuk kepala Zara saat itu juga.

"Padahal udah gue bilang untuk ambil alih aja coffee shop ini," kata Nando pada Zara.

Untuk sebentar, Zara terdiam memandang lelaki di sebelahnya. Ia membalas, "maaf. Gue cuma enggak enak aja. Lo bahkan bersedia untuk ngubah coffee shop Nanza ini jadi kafe biasa yang juga jual macam-macam minuman hanya demi gue."

Sederas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang