Arshy || Pengorbanan

4.7K 303 5
                                    

"Cemburuku pertanda bahwa aku sangat mencintaimu. Walau kau tidak tahu itu, biarlah kupendam semua rasaku seorang diri. Aku tidak ingin rasaku mengacaukan kebahagiaanmu. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Inilah pengorbananku, membiarkanmu bahagia walau bukan bersamaku. Aku hanya tidak ingin rasa cintaku berubah menjadi obsesi hanya untuk memiliki."

~Abigail Khafiz Ar-Rahman~

☁️☁️☁️

Dirundung rasa kecewa, itulah yang dialami Abigail saat ini. Melihat orang yang dia cintai bersama orang lain, apa lagi orang itu merupakan sahabatnya sendiri. Bagai ditusuk belati, berdarah dan terluka, lalu kemudian disiram air garam, perihnya dua kali lipat rasanya. Ingin marah, tetapi dia tidak berhak. Ingin protes, pada siapa? Dia kalah sebelum mengangkat senjata. Mengikhlaskan, sepertinya merupakan jalan terbaik.

Cukup sudah dia tidak mendapatkan orang yang dicintainya, jangan lagi sahabatnya pun pergi darinya. Walau begitu, rasa kecewa tetaplah rasa kecewa. Memaafkan mungkin mudah, tetapi tidak dengan melupakan. Bagaimana mungkin, meski ia tahu bahwa sahabatnya tengah memendam cinta pada kekasih dalam doanya, ia membiarkannya. Tidak berkomentar dan tetap diam, seakan tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Seolah membiarkan rasa yang salah di hati sahabatnya.

Dia kecewa akan hal itu, juga kecewa akan dirinya sendiri yang berani mencintai milik orang lain dan berani bermimpi ingin memiliki milik orang lain. Jikalau saja sedari awal telah mereka umumkan dan dengungkan. Mungkin rasanya tidak akan sedalam ini, harapannya tidak akan setinggi ini, serta melupakannya tidak akan sesulit ini.

Namun, sang waktu yang telah berlalu tidak dapatlah dimohonkan untuk kembali. Ia akan terus berjalan tidak peduli bahwa banyak hal yang masih tertinggal belum terbenahi. Lalu, apakah itu salah waktu? Tentu saja bukan, itu salah sang penjelajah waktu yang terlambat untuk menyadari.

Bis yang tadinya bising, kini senyap. Hanya terdengar deruman mesin dari sang bis, serta gesekan ban dengan jalan yang kadang-kadang juga terdengar. Dari pada membangunkan singa yang tengah dilanda kemarahan, lebih baik mereka diam memandang hamparan keindahan yang telah Tuhan ciptakan. Walau pada kenyataannya, sang singa pun salah satu ciptaan Tuhan yang indah dan menawan.

"Pak, perjalanannya masih lama yah?" tanya Arshy dalam keheningan yang sunyi. Tampaknya hanya dia yang masih berani untuk bersuara, setelah aura mencekam nan dingin serta bentakan keluar dari mulut indah Abigail.

"Lumayan lah, Neng," jawab bapak supir bis yang ditanyai oleh Arshy. "Padahal kita sudah sampai di daerah pedesaan ini, Pak," ujar Arshy, ia mengira villanya sudah dekat karena mereka memang telah sampai di daerah pedesaan yang asri nan indah.

"Ini masih di bawah, Neng. Villa yang Neng mau datangi di atas," jelas pak supir bis yang membuat Arshy mengangguk pertanda mengerti.

"Bapak tahu banyak yah," ucap Arshy masih mengobrol dengan supir bis. Padahal, Abigail tengah susah payah menahan rasanya. "Bapak memang orang sini, Neng. Hanya saja merantau ke kota dan akhirnya jadi supir bis. Eh, mungkin udah rezekinya, tak jarang bis yang Bapak supirin sering angkut orang-orang ke desa Bapak sendiri," jelas pak supir itu lagi.

Jika Arshy tengah bercakap-cakap dengan supir bis untuk menghilangkan rasa kecanggungan yang sempat tercipta, anak-anak lainnya hanya diam dan memperhatikan pemandangan sekitar juga curi-curi dengar pembicaraan Arshy dan supir bis.

"Mmmt, saya boleh minta tolong gak, Pak?" pinga Arshy pada supir bis. "Boleh atuh, Neng. Mau minta tolong apa?" ujar sang supir bis yang kemudian bertanya. "Boleh gak kalo kita singgah di kebun teh depan? Soalnya kalo mau datang kesini setelah dari villa sepertinya tidak akan sempat," ujar Arshy, mengutarakan keinginannya, membuat anggota rohis lainnya yang mendengarkan hal itu tersenyum senang.

"Boleh atuh, Neng. Kan bis ini udah disewa atuh sampai kalian pulang lagi ke kota," jawab supir bis memperbolehkan mereka untuk singgah sejenak di hamparan kebun teh yang teramat luas. "Mmmt. Kak Abi, boleh?" Kini Arshy bertanya pada Abigail setelah memberi kode kepada Rael untuk menepuk pundak Abigail. Karena bagaimanapun semuanya harus atas persetujuan dari sang ketua.

"Terserah," jawab Abigail membuat Arshy hanya dapat menghela napas bersabar.

☁️☁️☁️

Setelah sampai di depan pintu masuk perkebunan teh, bis berhenti. Satu per satu anggota rohis keluar dari dalam bis, dengan arahan pak supir bis mereka akan jalan-jalan disekitaran perkebunan.

Kini tinggallah Arshy dan Abigail di dalam bis. Arshy memastikan semuanya aman di dalam bis lalu kemudian akan menyusul. Namun, melihat Abigail yang tetap berdiam diri dalam bis, dia berencana untuk menghampirinya.

"Kak, Kakak kok belum keluar?" tanya Arshy yang tengah berdiri di dekat kursi kemudi. "Kakak gak ikut?" tanyanya lagi yang masih tidak dijawab oleh Abigail. "Masa udah sampai di sini kita gak jalan-jalan sih, Kak," ujar Arshy masih membujuk Abigail untuk keluar jalan-jalan di kebun teh bersama dengan yang lainnya.

"Apa peduli lo?" sinis Abigail yang pada akhirnya membuka mulut walau yang dia keluarkan berupa kata-kata yang kurang mengenakan untuk didengar. "Kak?" lirih Arshy, dia tersentak juga heran dengan perubahan sikap dari Abigail.

"Dek, kok masih di sini?" tanya seseorang yang tiba-tiba datang dari arah belakang Arshy. "Udah gak usah diajakin kalo gak mau," ujarnya lagi ketika sebelumnya telah menyembulkan kepalanya melihat masuk kedalam bis.

"Ayo. Yang lain udah jauh tuh tournya," ujar orang itu lagi yang ternyata adalah Arby. "Tapi, Kak. Kak Abigail gimana?" tanya Arshy yang masih ingin berusaha mengajak Abigail untuk ikut jalan-jalan di perkebunan teh yang ada di depan sana. "Dia emang gitu, biarin aja. Entar kalo dia mau juga nyusul," ujar Arby mempersilahkan Arshy untuk berjalan terlebih dahulu menuju teman-teman mereka yang lain.

Sebelum Arby menyusul Arshy dan yang lainnya, dia menyempatkan diri untuk menghampiri Abigail. Ia kini tengah sibuk dengan ponsel genggamnya.  "Ketua kok nyusahin. Lari dari tanggung jawab lagi," singgung Arby pada Abigail. Sementara yang disinggung hanya tersenyum miring, tidak mengalihkan pandangannya dari ponselnya.

"Kalo Lo emang gak setuju sama acara tour ini, yah gak usah dibikin lah. Nyusahin orang aja tau gak," ketus Arby yang kini mampu membuat Abigail beralih dari ponselnya. "Kenapa lo gak bilang dari awal?" tanyanya ambigu. "Jawab!" tegasnya tidak sabaran.

Sementara Arby tidak mempedulikannya, ia hanya menatap Abigail sebentar lalu meninggalkannya. Ia meninggalkan Abigail dengan beberapa rasa yang tidak mengenakan di hatinya. Cemburu, marah, kecewa, melebur menjadi satu, menghasilkan sebuah rasa yang tidak dapat didefinisikan dengan kata-kata.

Dengan rasanya itu, Abigail beranjak dari duduknya. Menyusul yang lainnya setelah mengunci pintu bis. Ia ingin tahu sejauh mana hatinya akan bertahan dengan rasa sakitnya. Sejauh mana pikirannya akan memihak kepadanya untuk melupakan. Atau adakah obat untuk mengobati hatinya yang setengahnya telah terluka?

Yang jelas Abigail berharap yang terbaik untuk rasa di hatinya.

Arshy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang