PART 22 (NASIHAT KECIL)

4.2K 253 4
                                        

Lanjut....

Malam hari

Aldean sejak tadi siang berada di ruang kerja tempat favoritnya di rumah ini. Pria itu setengah jam yang lalu keluar ruangannya sebentar untuk makan malam lalu kembali lagi ke ruangan tersebut.

Tiara membuatkan Aldean kopi seperti biasa setiap malam. Kegiatan tersebut sudah menjadi rutinitasnya setelah suaminya pulang kerja dan makan malam. Tepatnya ketika Aldean sedang bersantai atau menyelesaikan pekerjaan kantor di ruangannya.

Tiara kini tengah berjalan mengantarkan kopi tersebut, obat suaminya dan beberapa cemilan menuju ruangan dimana suaminya melepaskan lelah.

Sebelum masuk, Tiara berdiri di depan pintu dan mendengar percakapan Aldean dengan seseorang.

"Gimana hasil review tadi, bro?" Tanya Aldean kepada seseorang melalui ponselnya.

"....." Aldean kemudian diam mendengarkan seseorang tersebut.

"Terus, lo ambil keputusan apa?" Tanya Aldean.

"....."

"Oh okay good job bro" kata Aldean akhirnya.

"....."

"Tiara tadi pagi masuk rumah sakit makanya gua cepat pulang, khawatir terjadi sesuatu padanya."

Mendengar hal ini, wajah Tiara spontan memerah. Dia tidak menyangka suaminya cepat pulang karena dirinya.

"....."

"Sembarangan lo ngomong, ga bakal lah."

"....."

Tutttt
Panggilan berakhir.
Tiara sedikit terkejut mendengar percakapan suaminya dengan seseorang di telepon yang diyakininya adalah Ricky. Dia mencoba menstabilkan detak jantungnya yang berguncang cukup kencang. Seulas senyum terukir di bibir Tiara.

Aldean mengkhawatirkan aku?

Sejak kapan?

Apakah suamiku sudah mulai punya rasa ke diriku?

Atau hanya aku yang terlalu percaya diri dicintai oleh pria sesempurna itu.

Tidak, Tidak boleh ada cinta diantara kami.

Tiba -tiba Tiara meraba perut datarnya.Andai Aldean tahu hasil cek rumah sakit yang sesungguhnya. Tiara tidak dapat menebak respon suaminya seperti apa.

Jika pria itu tidak menginginkan janin yang berada di rahim istrinya saat ini, berarti kekawatiran Aldean tepat pada kondisi sebenarnya yaitu sedang tumbuh bagian dari diri Aldean di rahim Tiara. Anak pria itu.

Tiara langsung masuk ke ruangan suaminya, untungnya pintu tidak dalam kondisi tertutup sehingga memudahkan wanita itu untuk masuk. Dia berjalan ke arah sofa.

"Mas ini kopinya aku taruh di meja" Tiara berbicara sambil tersenyum.

Tiara kemudian berjalan mendekat ke arah suaminya yang tengah duduk bekerja di ruangan tersebut dengan membawa beberapa butir obat di tangannya.

Setelah diyakininya sampai, dia mengulurkan obat tersebut yang telah berada di ujung jari jempol dan telunjuknya yang saling mengapit dan siap untuk diminum Aldean.

"Ini obatnya Mas" Melihat jemari istrinya yang sedang terulur memberikan obat, Aldean langsung mengambil segelas air di mejanya lalu memegang tangan wanita itu untuk di arahkan ke mulutnya. Tiara hanya bisa mengikuti gerakan arah tangan suaminya tanpa bisa melihatnya. Setelah selesai Aldean meneguk air di gelas itu.

"Terimakasih" kata Aldean lalu melanjutkan pekerjaannya. Satu kata itu yang selalu ditunggu tunggu Tiara setiap malam ketika melakukan kegiatan itu. Senang, sudah pasti. Tidak banyak yang diinginkannya memang, mendapat perlakuan baik dan dihargai sebagai seorang wanita saja sudah cukup.

"Mas, boleh aku duduk menemanimu di sini?" Tanya Tiara berharap suaminya mengizinkannya.

Aldean meliriknya dengan mata elang hijau khasnya. "Kalau kau hanya duduk diam termenung tak berguna, lebih baik di luar saja, bukan di sini" Jelas Aldean lalu kembali menatap layar laptop.

"Tidak, aku akan melakukan sesuatu" Tiara tersenyum cukup manis.

Aldean meliriknya sekali lagi dengan alis terangkat sebelah.

"Tunggu, aku akan kembali." Tiara kemudian berjalan keluar lalu tidak lama kembali membawa sesuatu.

Aldean menghentikan kegiatannya sejenak dan mengernyit melihat sesuatu yang dibawa wanita itu.

Ketika Tiara sedang meraba mencari keberadaan sofa, tiba tiba Aldean berkata "Jangan duduk di-"

Tiara kemudian duduk di karpet tepat dibawah sofa berpasangan mewah itu.

"Tenang Mas, aku tau posisiku di sini, aku tidak akan duduk di sofa mewah rumah ini" Mendengar hal ini, hati Aldean berdesir. Tidak tahu arti desiran itu. Dia memikir ulang kalimat yang telah dilontarkannya tadi kepada wanita itu.

Tiara mulai melakukan kegiatannya. Kini dia sedang menyulam di sebuah kain lengkap menggunakan pembidangnya. Aldean hanya melihatnya. Pria itu heran dari mana wanita itu belajar karena dilihatnya Tiara cukup lihai melakukan hal itu ditengah keterbatasan yang dimilikinya.

"Kau sudah lama belajar menyulam?" Tanya Aldean penasaran.

"Tidak, baru beberapa hari ini. Bi Minah yang mengajariku." Jawabnya tapi masih fokus di tengah kegiatannya.

"Lalu dari mana kau mendapatkan barang barang itu? Kau membelinya?" Tanya Aldean penasaran, karena setahunya tidak ada alat alat itu di rumah ini.

"Aku tidak membelinya, Bi Minah yang telah memberi alat ini untuk ku." Jawab Tiara sambil menusuk dan menarik benang di pembidang itu serta sesekali meraba hasilnya.

"Diberi?" Aldean menautkan kedua alisnya.

"Iya, ini adalah barang milik Bi Minah yang sudah jarang digunakannya, dari pada dibuang lebih baik diberikannya padaku." Jelas Tiara.

"Pemberian murah" Ketus Aldean lalu melanjutkan kegiatannya di depan laptop.

Tiara berhenti dari keasyikannya itu.

"Aku tidak menilai barang dari harganya, selagi barang ini bermanfaat, mengapa harus dibuang." Tiara masih fokus dengan kegiatannya.

Pria itu kemudian berjalan dan duduk di sofa. Dia mengambil segelas kopi yang diantar oleh Tiara tadi ke ruangan ini lalu meneguknya sedikit.

"Pemikiran bagus, nasib barang ini sama seperti dirimu, dari pada dibuang lebih bagus dimanfaatkan di rumah ini." Ujar Aldean sambil memperhatikan wanita di bawahnya.

"Aku bukan barang Mas" Ujar Tiara sambil menyibak anak rambutnya ke belakang daun telinga.

"Lalu apa?" Pria itu mengatakan sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Kamu bisa melihatnya sendiri." Jawab wanita itu.

"Aku melihatmu adalah barang yang sudah digadaikan kakakmu, artinya aku telah membeli dirimu." Jelas pria itu sambil tersenyum melecehkan.

"Aku tau uang bisa melakukan apa saja untukmu tapi sadarilah bahwa uang bisa memenjarakan hatimu dan membuatmu gelap. Jangan menganggap uang segalanya"

Bagai disambar petir di siang hari, mendengar perkataan Tiara.

"Tapi segalanya membutuhkan uang. Hanya orang orang munafik yang menganggap uang tidak ada gunanya." Jelas Aldean sambil memperhatikan wanita itu.

"Tidak segalanya. Kamu harus memahami kehidupan tidak melulu tentang uang. Ada saatnya dimana uang tidak berguna di suatu kondisi. Cinta sejati, keluarga, waktu, sahabat, mereka tidak bisa dibeli dengan uang. Aku yakin suatu saat kamu akan menyadari cintamu dengan seseorang tidak bisa dibeli dengan uang, mengembalikan keluargamu ke saat saat yang kamu inginkan tidak bisa dengan uang yang kamu punya, mengembalikan masa kecilmu tidak bisa dengan uang, dan juga kamu tidak bisa membeli kebaikan sahabatmu Ricky."

Aldean masih diam mencerna kata demi kata yang dilontarkan oleh wanita itu yang tengah sibuk dengan kain dan benang di sekelilingnya.

DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang