Malam hari
Sebuah benda kecil nan canggih sedang melaksankan fungsinya dengan baik. Sedari tadi benda itu berdering memekikkan telinga menandakan seseorang di sebrang sana ingin berbicara. Pria yang diketahui pemilik benda itu hanya menatap jengah setelah mengetahui siapa yang sedang meneleponnya.
"Siapa? Mengapa ga lo angkat?" tanya seorang pria lain yang duduk berhadapan dengannya mencoba melirik nama yang tertera di layar ponsel tersebut.
"Siapa lagi kalau bukan wanita jalang itu" jelas pria itu lagi sambil menghisap rokok dan membuat kepulan asap melingkar.
"Jawab saja bro, siapa tahu penting" sahabat karib Aldean yang tidak lain adalah Ricky mencoba memberikan saran.
"Sekarang sudah jam 11 malam, gua tahu persis pasti dia menanyakan mengapa gua belum pulang juga" terang Aldean.
"Ya angkat saja, tidak mungkin hanya ingin menanyakan hal itu jika berderingnya gue perkirakan sudah lebih dari 20 kali"
"Gue jauh lebih tahu dirinya" Aldean menyandarkan tubuhnya ke sofa yang empuk dan lebih memilih melihat ke arah keramaian di sekitar.
"Sini! Biarkan gue yang jawab" Pria itu mencoba meraih ponsel temannya lalu kemudian menggeser layarnya untuk menjawab panggilan itu.
"Halo Mas, kamu baik baik saja kan? Mengapa tidak menjawab panggilanku sejak tadi? Aku khawatir terjadi sesuatu padamu" Ricky mendengarkan suara seseorang di sebrang sana. Suara lembut penuh kekhawatiran terdengar cukup jelas sampai ke telinganya.
"Halo mas, kamu sedang di mana? Kamu sudah makan belum? Mengapa belum juga pulang sudah larut malam?" lagi lagi Ricky masih terdiam mendengar suara wanita penuh kelembutan dan kehati-hatian itu. Lama di mematung dan kemudian tersadar.
"Mas? Mas Al?" Panggil wanita itu.
"Oh ma..maaf Tiara, ini aku Ricky" Ricky mencoba menjelaskan.
"Di mana Mas Al, Ric? Mengapa bukan dia yang menjawab? Dia baik baik saja kan?"
"Iya Tiara, Aldean baik baik saja. Dia sedang bersamaku di Cafe. Eumm... dia sedang sibuk sehingga menyuruhku menjawab panggilan darimu" Ricky akhirnya bisa membuat Tiara percaya bahwa temannya itu sedang sibuk sehingga tidak bisa mengangkat panggilan darinya.
Aldean masih menatap temannya dengan selidik.
"Oke, terimakasih ya Ricky, tolong katakan padanya aku akan menunggunya pulang"
"Baik, akan aku sampaikan padanya"
Tuttt....
Panggilan diakhiri.
"Mengapa ga lo bilang sejujurnya kalau gue malas menjawab panggilannya" Aldean berkata sambil menatap serius temannya itu.
Ricky menarik nafas panjang. "Gue ga tega Yan. Nada suaranya jelas menggambarkan bahwa dia cukup khawatir sama lo, gue ga mungkin mengatakan sejujurnya seperti yang lo bilang tadi, jelas akan membuatnya terluka" ujarnya.
"Emang itu tujuan kita" ujar Aldean setelah menegak minuman di depannya.
"Yan... yan... gua hanya memperingatkan jangan sampai lo menyesal belakangan"
"Hello bro, ga usah melow. Dengar, tidak ada kata menyesal di kamus kehidupan Aldean Megara. Menyesal untuk wanita seperti itu? Tidak akan pernah. Masih banyak wanita di luar sana yang sedang mengantri"
Ricky memalingkan wajahnya menatap langit yang gelap di ujung sana. Ada pembatas kaca antara pandangannya menuju langit karena cafe ini memiliki konsep rumah minimalis berkaca. Ricky kembali menatap pria di hadapannya itu, tidak tahu mengapa dia mempunyai firasat bahwa temannya ini akan mengalami penyesalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darkness
RomanceDarkness, itulah kata yang tepat untuk mendiskripsikan hidupku. Aku buta secara fisik, namun tidak hatiku. Instingku selalu mengatakan hal yang benar, itulah kata kakakku. Aku hanyalah seorang gadis buta yang dimanfaatkan seorang pria kejam untuk me...