10 | Daeseong-ri

147 30 26
                                    

Seoul, Maret 2011

Pagi itu, bulir hujan terus berjatuhan tanpa henti. Jian yang sudah siap dengan ransel besarnya, hanya bisa terdiam menatap hujan yang turun jatuh ke bumi, tanpa melakukan apapun. Ia terjebak diantara hujan yang turun menyapa. Ia baru saja memutuskan untuk pergi ke Daeseong-ri bersama dengan teman-temannya.

"Kenapa pagi tak pernah memahami perasaanku." Desahnya pelan.  "Aku harus pergi." Lirihnya.

Jian hanya bisa memandangi hujan. Menunggunya agar segera berhenti, supaya dia dapat pergi ke stasiun Cheongnyangni untuk selanjutnya pergi ke Daeseong-ri secepatnya, karena jam sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi.

"Apakah mereka akan menungguku? Bukankah ini sudah terlambat?" Lirihnya.





"Nunna, apa yang kau lakukan disitu?" Tanya Jinyoung. Jinyoung yang baru saja bangun dari tidurnya itu langsung bergegas menghampiri Jian dan duduk disampingnya.

"Jinyoung-ah, apakah hujan akan berhenti? Aku harus pergi sebelum Appa bangun." Kata Jian lirih.

"Appa ada di rumah?" Tanya Jinyoung sedikit kaget. "Yak! Nunna, kalau begitu pesanlah taksi untuk pergi ke stasiun." Ujar Jinyoung.

Jian menatap Jinyoung datar. "Bagaimana caranya memesan taksi?" Tanya Jian sambil menyodorkan ponsel miliknya pada  Jinyoung.

Jinyoung tertawa kecil. "Daritadi kau diam memandangi hujan karena tidak tahu cara memesan taksi?" Tanya Jinyoung.

Jian mengangguk pelan dengan wajah polosnya. Terlihat menggemaskan untuk siapa saja yang melihatnya, termasuk Jinyoung.

Jinyoung langsung memesankan taksi untuk Jian pergi. Melihat Jinyoung, Jian berdecak kagum kepada adiknya itu. Dia tidak tahu bahwa ternyata dia bisa memesan taksi dengan ponsel yang selama ini tidak pernah ia pakai sama sekali.

"Kau tinggal menunggunya, mungkin sekitar lima menit." Kata Jinyoung.

Jian tersenyum cerah. "Terimakasih, adikku." Katanya sambil mengacak-acak rambutnya Jinyoung.

Jinyoung tersenyum. "Jika tidak ada aku, kau bisa apa, Nunna?" Tanyanya sedikit bercanda.

"Benar. Apa yang bisa aku lakukan tanpa kamu, Jinyoung-ah. Kau segalanya untukku." Jian langsung merangkul Jinyoung dan menyandarkan kepalanya kepada bahu milik Jinyoung.

Jinyoung tertawa kecil melihat tingkah laku Nunna-nya. Jian benar-benar sangat polos dan lugu. Meskipun Jian lebih tua darinya, Jian tidak banyak mengetahui tentang segala hal. Salah satunya adalah menggunakan ponsel miliknya. Dia hanya tahu bagaimana cara menerima telepon, tidak dengan yang lainnya. Meskipun terlihat cerdas, untuk Jinyoung, Jian adalah Pabbo Nunna. Meskipun begitu, Jinyoung sangat menyayanginya dan selalu ingin berada di sampingnya.

"Nunna, kenapa pipimu terlihat bengkak?" Tanya Jinyoung saat menyadari bahwa ada sesuatu yabg berbeda pada Jian.

Jian terlihat terkejut. Tapi dia masih bisa mempertahankan senyuman di wajahnya agar Jinyoung tidak mengkhawatirkannya.

"Benarkah?" Tanya Jian sambil menepuk-nepuk pipinya. "Sepertinya makan ramyeon di malam hari membuat pipiku menjadi bengkak." Ujarnya datar.

"Kau yakin?" Tanya Jinyoung tak percaya. "Bukan karena perbuatan Ahjumma atau Appa, kan?" Tanyanya.

Jian menggelengkan kepalanya. "Bukan, Jinyoung. Ahjumma hanya memberikan luka ini di leherku." Jian menunjuk bekas luka yang ia terima karena cekikan ibu tirinya semalam.

"Appa tidak akan melakukan apapun padaku. Kau tahu sendiri, dia orang yang sangat baik." Kata Jian datar.

Jinyoung tersenyum simpul. Matanya terus menatap Jian dengan tatapan tak percaya. Aku tahu Nunna berbohong padaku.-Jinyoung.

✔ Dear My Youth (Ong Seongwoo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang