41 | Our Second Charm

82 17 14
                                    


Seoul, November 2019

Seongwoo menghela nafasnya kasar. Langkahnya terhenti begitu saja saat hujan tiba-tiba turun tanpa peringatan. Menurut ramalan cuaca, seharusnya hari ini sudah memasuki musim dingin. Namun yang terjadi justru hujan yang turun. Sepertinya musim semi enggan berganti lebih cepat dari yang sudah di perkirakan.

Seongwoo kemudian menepi ke tempat yang teduh. Tempat yang dapat melindunginya dari deras hujan yang turun.

Laki-laki itu tak mengeluh meskipun hujan turun dan membuatnya basah. Ia justru menengadahkan kepalanya keatas dan membiarkan tangannya merasakan rintik hujan yang turun dengan senyuman yang mengembang di wajahnya.

"Saat hujan, aku merindukanmu, Jian-a." Gumamnya pelan.

Jadilah kekasihku untuk hari ini dan selamanya. Aku akan membuatmu bahagia dan tidak akan meninggalkanmu. Aku benci meninggalkan seseorang, karena aku tahu bagaimana rasanya ditinggalkan.

"Saat hujan aku mengatakan cinta padamu. Saat hujan juga aku menyakiti hatimu." Lirihnya.

Seongwoo tiba-tiba teringat momen dimana ia menyatakan cinta pada Jian. Momen singkat yang mendebarkan hatinya terjadi saat hujan turun dalam perjalanan menuju Sungai Han. Rasanya baru terjadi kemarin, nyatanya sudah delapan tahun berlalu.

Jian-a, jika aku mencoba untuk kembali padamu, dapatkah kau menerimaku kembali? Batin Seongwoo.

Setelah pertemuannya dengan Jian beberapa waktu lalu, Seongwoo menjadi semakin tak bisa melupakannya dan ingin selalu disampingnya seperti janji yang diucapkannya bertahun-tahun lalu. Namun, Jian dan dirinya sudah banyak berubah selama kurun waktu tujuh tahun.

"Ah Eonni! Berhenti memanggilku begitu?! Aku membencinya!"

Seongwoo langsung berbalik saat mendengar suara yang tak asing untuknya. Suara Jian. Ia sangat mengenalnya. Seongwoo tersenyum saat dugaannya ternyata benar.

Jian tepat di depan matanya baru saja keluar dari toko dimana Seongwoo berdiri di depannya.

"Wae Jianku? Wae?" Seorang gadis yang lebih tua dari Jian terus meledeknya. Seongwoo mengenalnya. Dia Joohyun, seorang editor yang pernah bertemu dengannya beberapa waktu lalu.

Jian mendecak kesal dan menatap sinis kearah Irene, kakak perempuannya. "Auuugghhh!" Tukas Jian sambil mengepalkan kedua tangannya. Namun, Irene malah menertawakannya dan terus mengejeknya.

"Jian-a..." Seongwoo memberanikan diri untuk memanggil nama Jian.

Irene yang lebih dulu menoleh kepadanya dan cukup tersentak melihat Seongwoo. Irene kemudian menatap Jian yang sedang membelakangi Seongwoo. Raut wajahnya sulit untuk dijelaskan.

"Jagganim." Irene tiba-tiba bersikap Sopan kepada Seongwoo, membuat Jian kesal.

"Anyeonghaseyo, Joohyun-nim." Kata Seongwoo.

Irene hanya tersenyum canggung. Dia tidak pernah berada dalam situasi secanggung ini sebelumnya.

"Eonni, kajja." Jian tiba-tiba menarik tangan Irene.

"Yah, kau tak lihat? Hujan. Aku tidak mau kebasahan." Tukas Irene.

Jian mendesah pelan. Gadis itu terlihat sangat kesal. "Kalau begitu, aku pergi sendiri." Kata Jian datar.

Jian langsung melangkah dari tempatnya berdiri. Namun, baru satu langkah, tangannya sudah ditarik oleh Seongwoo untuk menghentikan Jian agar tak beranjak pergi.

"Lepaskan aku." Lirih Jian.

"Tidak. Aku ingin bicara denganmu." Kata Seongwoo.

Jian langsung berbalik dan menatap Seongwoo dengan tatapan yang tajam. "Tak ada yang harus kita bicarakan, Ong Seongwoo-ssi. Bukankah kita sudah selesai?" Tukas Jian.

✔ Dear My Youth (Ong Seongwoo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang