≈≈≈
2 Minggu Kemudian >>>
"Bagaimana Sela?" tanya wanita setengah baya bernama Asih.
Hari ini, secara tiba - tiba pada jam makan siang keluarga inti Aldo datang untuk bersilaturahmi. Jika di katakan hanya bersilaturahmi saja, seharusnya tidak usah sampai repot - repot membawa bingkisan buah tangan sebanyak itu.
Sempat ada rasa curiga di benak Sela, namun ibunda Aldo berkilah jika itu buah tangan khas dari Bali, karena beliau mengunjungi kota itu beberapa waktu yang lalu.
Sedikit Sela bisa percaya. Tapi, kembali rasa curiga melanda saat beberapa kali Sela melihat gelagat aneh dari Aldo. Dengan percaya diri pria itu datang bersama sang orang tua bersilaturahmi. Padahal jujur saja, Sela masih muak dengan wajah Aldo yang terkesan polos.
Namun, menikam dari belakang.
Juga, tiba-tiba di saat sedang berbincang ringan dengan sang nenek, ibunda Aldo bertanya dengan kalimat yang membingungkan seperti itu.
"Maksudnya, budhe?" tanya balik Sela dengan sapaan budhe, sapaan semua orang di sekitar sini untuk beliau.
Seperti ragu akan mengungkapkan kalimat berikutnya, Asih melihat ke suaminya juga Aldo yang duduk di dekatnya. "Kamu... Bersedia menerima lamaran Aldo tempo bulan? Memang, pada saat itu bukan acara lamaran resmi tapi, Aldo mau membuktikan itu padamu dengan membawa kami untuk lamaran resmi."
Sela terkejut. Sungguh! Kali ini dia sangat terkejut.
"Kamu kan sudah berteman lama bahkan dari kecil dengan Aldo, dia serius dengan kamu Sela. Tidak ada yang perlu di khawatirkan dari Aldo. Kebutuhan finansial, kebutuhan rohani, dan lain-lain, Insyaallah Aldo bisa memenuhi semua itu." ucap Asih dengan yakin.
"Begini Sela, bukan berarti kami memaksa atau mengemis agar kamu mau. Tapi, coba kamu lihat. Aldo benar - benar tulus dengan mu."
"Tapi budhe-" kalimat Sela terhenti saat Aldo menyela dengan cepat.
"Atau kau masih mengharapkan pria itu? Pria yang kau tunggu selama ini, bukan?" ucap Aldo membuat kening Sela mengkerut menandakan gadis itu tengah bingung.
Bagaimana bisa Aldo seolah mengetahui semua masalah pribadi yang ia alami? Mungkinkah ada mata - mata yang pria itu sewa untuk memata-matainya?
"Pria yang kutunggu? Siapa? Kapan? Bagaimana bisa kau tahu?" ucap Sela yang mulai kesal dengan ucapan Aldo.
Begini, Aldo tiba - tiba datang lalu sang ibunda melamar Sela untuk Aldo. Kemudian Sela mulai menolak tapi justru Aldo membuat emosi Sela naik seketika.
"Benar bukan? Kau menolak ku hanya untuk pria yang sedang kau tunggu, tapi ia tak kunjung datang. Sudahlah Sela, memang seberapa pentingnya dia bagimu? Mengapa kau tidak mencoba untuk mulai menerimaku?" ucap Aldi secara gamblang tanpa malu dengan hadirnya orang tuanya.
"Kumohon. Stop." ucap Seka yang mulai jengah.
"Aku juga tahu, pria itu bukan pria baik-baik, Sela. Dia-"
"Cukup!" sentak Sela yang mulai menunjukkan ekspresi mata berkaca - kaca. "Kurasa kau sudah melebihi batas mu disini. Itu masalah pribadiku. Tidak peduli seseorang yang sedang kutunggu akan kembali atau tidak. Aku pun tidak peduli seberapa jahatnya pria itu. Setidaknya..."
Sela menjeda kalimat panjangnya yang penuh penekanan.
"Setidaknya dia tidak suka mengurusi masalah pribadi orang lain. Maaf pakdhe, budhe, Sela sudah keterlaluan." ujar Sela dengan suara rendah dan dalamnya juga air mata yang sudah mengurai di pipi Sela.
Nenek Sela sungguh bingung dengan apa yang Sela katakan sejak tadi. Nenek Sela tak habis pikir dengan kelakuan sang cucu yang menurutnya sangat tidak sopan. Sebab berdebat di depan orang tua apalagi tamu, itu sungguh tidak memiliki adab.
Merasa situasi sudah tidak kondusif, kedua orang tua Aldo saling mengode untuk segera pamit kepada nenek Sela.
"Ekhem. Sela, eyang Lastri atas nama Aldo saya minta maaf setulus-tulusnya. Dan, sepertinya kami harus segera pamit."
"Seharusnya saya yang minta maaf, Sela sudah tidak sopan."
"Tidak apa-apa, eyang Lastri. Nak Sela, jangan lupa dimakan oleh-olehnya." ucap ibunda Aldo dengan mengusap pipi Sela.
Merasa tidak enak hati, dengan masih berurai air mata Sela memeluk ibunda Aldo dengan erat sembari meminta maaf berkali kali.
"Sela minta maaf budhe." salah satu dari sekian banyak ucapan maaf yang keluar dari mulut Sela membuat ibunda Aldo pun turut mengeluarkan air mata.
Sementara Aldo, dia masih duduk dengan menundukkan kepala juga tangan yang menjambak rambutnya sendiri sebagai pelampiasan frustasi patah hatinya.
"Iya, nduk. Kita pamit ya?" ucap ibunda Aldo yang diangguki Sela. Sekali lagi ibunda Aldo mengusap pipi Sela dan membersihkan dari sisa air mata. Lalu tiba - tiba ibunda Aldo mencium kening Sela juga pipi Sela.
"Assalamualaikum." ucap papah Aldo.
"Waalaikumsalam."
≈≈≈
Beberapa saat setelah keluarga Aldo pulang, Sela masih saja mengurung dirinya di dalam kamar. Masih setia memeluk gulingnya juga air mata yang masih berurai. Jam terus berdenting mengiringi tangis Sela yang semakin lama justru makin menjadi.
Diam dan mencoba terus berpikir positif dan jernih.
Mungkinkah penantian panjangnya akan berhenti dengan Aldo?
Atau Aldo yang harus mengalah melihat Sela bisa bahagia dengan Will?
Entahlah. Sela takut untuk mengetahui jika kelak masa depannya tidak seindah bayangannya. Jika tidak dengan Will sekali pun, setidaknya ia bukan milik Aldo seutuhnya.
Mendung di langit berganti dengan hujan yang turun membasahi bumi ini. Masih dengan posisi nyamannya Sela terus menangis bahkan terkesan mendayu - dayu.
Dilihatnya kembali, foto album polaroid yang menjadi saksi bisu dimana Sela dan Will mengabadikan momen - momen indah bersama meski sebentar saja. Sempat terlintas di pikiran Sela, ingatan bagaimana dulu Will memperlakukannya pada saat awal bertemu.
"Jauh berbeda dengan yang terlihat di foto ini." gumam Sela yang terus membuka lembaran foto tersebut.
Tiba tiba...
"Mungkinkah aku harus melakukannya?"
≈≈≈
Gomawo💢
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Mafia Series)
ФанфикWELCOME BACK TO MY STORY 🚫Warning! Cerita ini hanyalah cerita yang udah sering di tulis. Tapi berhubung aku udah buat dan AKU MALES BIKIN LAGI, jadi jangan lupa FOLLOW my account!!⛔ •••••••••••• Ada apa dengan mafia dan hijab? Apa hubungan keduanya...