Dua

2K 248 3
                                        

Kami bertiga pun kembali ke dalam rumah. Aku pun langsung berlari menuju kamar mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran yang ada di badan dan bajuku. Setelah mandi aku pun kembali ke kamarku di atas untuk tidur sebentar. Yaaah, kau tau, tidur itu hanya sebuah rencana karena akhirnya adikku datang dan menggangguku yang sedang berada di tempat tidur.

  “El, mana bukuku yang kemarin?” tanyanya.

  “Ada di laci meja yang kedua” jawabku masih berada di tempat tidur sambil menghadap ke arah tembok.

  “Mana?” tanyanya dengan suara laci yang dibuka-tutup.

  “Ada disitu! Masa kau tidak bisa lihat, sih?” kataku padanya, masih dalam posisi berbaring menghadap tembok.

  “Aku tak bisa menemukannya, El! Cepat bantu aku mencarinya” katanya padaku, masih dengan suara laci yang dibuka-tutup.

  “Oh my God, kau sungguh menggangguku” kataku sambil beranjak dari tempat tidur dan menghampirinya.

  “Bercanda. Sudah kutemukan” katanya menyengir sambil menunjukkan buku usang itu padaku.

  “Bisakah kau berhenti menggangguku, David?! Kau sangat menyebalkan” omelku padanya.

  “Hahahaha iya iya maaf. Aku kan cuma bercanda” katanya.

  “Ngomong-ngomong, aku melihat sesuatu di lubang tadi” kataku pada David.

  “Oh c’mon, El. Jangan bahas soal bakteri lagi” katanya.

  “Bukan, kali ini bukan bakteri. Aku tau lubang seperti itu pasti penuh dengan bakteri, tapi kali ini aku tidak akan membicarakannya. Aku melihat papan kayu besar yang sepertinya menutupi sesuatu” jawabku panjang lebar.

  “Ng? Apa kau yakin?” tanyanya.

  “Iya. Aku yakin sekali. Rasanya papan itu menyembunyikan sebuah misteri” kataku yakin.

  “Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?” tanyanya lagi.

  “Aku dan kau akan kembali kesana dan mengungkap misteri itu pada esok sore” kataku.

  “No, El. Aku tak mau kembali kesana dan bertemu anjing nyonya Betty lagi!” kata adikku keras.

  “Aku juga tak mau bertemu anjing rabies sialan itu lagi! Tapi kita harus mengungkap misteri ini, David!” kataku dengan suara keras juga.

  “Tidak, kau saja yang pergi. Aku akan diam di rumah” katanya.

  “Oke! Aku akan pergi sendiri saja, huft!” kataku sewot.

  “Ya sudah!” katanya sambil bergegas meninggalkan kamarku.

Keesokkan sorenya, aku benar-benar kembali ke kebun belakang yang luas itu sendirian. Aku tersangkut diantara rasa takutku akan kotor dan rasa penasaranku dengan misteri itu.

Akhirnya rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku. Aku pun berjalan memasuki kebun itu dan loncat ke dalam lubang yang kemarin. Tanganku meraih papan kayu lebar itu dan menariknya. Tapi sialnya, paku-paku yang menempel di papan itu membuatku kesusahan untuk menariknya. Aku pun perlahan-lahan mundur dan aku maju menendang papan itu dengan sekali hentakan. Papan itu pun terbelah menjadi beberapa bagian. Dan aku hampir tidak percaya dengan yang aku lihat. Siapa yang tau bahwa di sana ada terowongan rahasia?

Aku pun merangkak untuk masuk ke terowongan itu. Semakin lama aku masuk, semakin besar lah terowongan itu hingga aku berhasil ke tahap dimana aku bisa berdiri di dalamnya. Terowongan itu gelap, dingin, dan sepertinya dindingnya terbuat dari bebatuan. Untungnya aku membawa korek api untuk berjaga-jaga.

  “Csssh!” 1 batang korek api menyala dan langsung kubakar kayu panjang yang tergoler di samping kakiku ini. Aku pun lanjut menelusuri terowongan ini dengan obor yang menjadi satu-satunya alat peneranganku. Samar-samar, aku mendengar sesuatu yang meraung-raung dan aku harap itu bukanlah anjing nyonya Betty. Sekarang aku berada diantara keinginanku untuk masuk atau tidak. Pikiranku seolah-olah berkata “Kamu yakin akan terus masuk? Itu tempat yang kotor, tidak diketahui, dan mungkin saja berbahaya” tapi sisi satunya berkata “Masuklah. Kamu sudah sampai sejauh ini. Apakah kamu tidak penasaran dengan apa yang ada disana?”.

Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun memutuskan untuk melanjutkan penelusuranku. Aku berjalan lebih jauh dan lebih jauh lagi masuk ke dalam terowongan yang tidak diketahui ini. Suara samar-samar itu terdengar lebih jelas sampai di titik dimana aku yakin bahwa itu adalah suara raungan. Bulu kudukku mulai berdiri namun tak menghentikan langkahku untuk terus maju sampai mendapatkan apa yang ada disana.

Hampir 20 menit aku berjalan, hingga akhirnya aku sampai disebuah pintu besi yang menjadi pembatas antara aku dan suara raungan itu. Dan disinilah aku merasa sangat dilema. “Apa yang harus kulakukan? Setelah ini bagaimana?” batinku berbicara. Setelah beberapa menit berdiam dan mendengarkan suara raungan itu. Aku memutuskan untuk tidak membukanya. Yang di dalam sana sesuatu yang --- entah apa itu tidak boleh keluar dari sana. Aku tegaskan sekali lagi, TIDAK BOLEH.

Saat aku berbalik untuk kembali, sialnya api oborku mati dan oborku terjatuh. Dan ini adalah keadaan dimana aku tak bisa melihat sama sekali. Aku pun menyalakan korek api kembali untuk mencari oborku yang entah dimana itu, namun sayangnya api korek api itu hanya bertahan sebentar dan aku bahkan tak sempat mencarinya. Akhirnya aku menyalakan korek api untuk mencarinya saja dan mengambilnya dalam keadaan gelap gulita.

  “Cshhhh”
  “Cshhhh”
  “Cshhh”

Itu korek api ketigaku yang aku nyalakan hanya untuk mencari obor. Dan naasnya, korek api yang tersisa di kantungku hanya tersisa 1 batang lagi. Aku pun berusaha mencari oborku dengan cepat sebelum korek ketigaku ini mati, dan,…

  “Gotcha!” aku menemukannya. Aku pun segera mengambilnya. Saat tanganku hampir menjangkaunya, korek sial ini mati lagi.

  “Tak apa, tak apa. setidaknya sekarang aku tahu dimana obor itu berada, tepat di depan pintu besi itu. Mencari di gelap gulita tidak terlalu sulit, mungkin?” batinku berbicara.

  “Srrrrr”

  “Aku yakin obor itu di sekitar sini” batinku berbicara lagi.

Aku pun terus mencari-cari obor di gelap gulita seperti orang buta. Dan akhirnya aku mendapatkannya. Dengan cepat aku mengambil satu-satunya korek yang tersisa di kantungku dan membakar ujung kayuku dan…

  “Ups tunggu, apakah aku baru saja menggeser sesuatu?” pikirku spontan.

  “SIAL”

Mulutku ternganga. Mataku sepertinya tidak berkedip. Aku bersumpah, ini lebih menakutkan dibanding anjing nyonya Betty. Ini 10 kali lebih menakutkan dibanding anjing milik nyonya Betty! Aku bahkan tak percaya apakah ini benar-benar terjadi. Aku tak tahu makhluk apa yang ada di depanku ini. Wajahnya hancur penuh darah dan tubuhnya, eugh! Aku bahkan tak bisa menjelaskannya. Makhluk sial apa ini?!

  “Kakek kita dulu pernah berperang melawan zombie!”

  “Kakek kita dulu pernah berperang melawan zombie!”

  “Melawan zombie”

  “Zombie”

  “ZOMBIE!”

Dan kini, satu-satunya yang aku pikirkan adalah---
Lari.
Lari.
Lari.
Aku berlari sangat cepat --- secepat yang aku bisa. Zombie sialan itu mengejarku sambil meraung-raung. Untungnya, lariku lebih cepat dari langkahnya yang sedikit terpatah-patah entah karena bentuk tubuhnya yang patah-patah atau memang semua zombie berlari seperti itu? Entah berapa banyak kuman, bakteri, dan virus-virus berbahaya dan,.. ugh, ini bukan waktu untuk memikirkan hal semacam itu! Aku berlari, dan terus berlari. Tak peduli bahkan bila kakiku sudah terasa sakit dan tak mampu berlari lagi, aku harus tetap pergi menjauhi zombie itu. Dan saat aku hampir melihat jalan keluar tiba-tiba…

  “Brugh!!!” aku tersandung batu yang tak tahu sejak kapan ada disitu. Kacamataku terlempar entah kemana.

  “Ka-kacamata” kataku panik sambil merangkak-rangkak mencari kacamata. Samar-samar aku melihat bayangan zombie itu mulai mendekat ke arahku. Perlahan,… dan perlahan,…

  “Apa aku akan mati disini?” batinku bertanya.

Life in Death : Re-50.yearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang