Di bawah langit senja yang berwarna jingga, kami pun melanjutkan perjalanan kami. Burung-burung masih bisa terbang tinggi, saling berkejar-kejaran dengan cahaya matahari yang semakin lama semakin tenggelam. Namun, belum sampai 5 menit kami berjalan, langkah kami terhenti karena melihat sosok mirip malaikat maut sedang berdiri di bawah pohon yang cukup rindang di atas bukit kecil sana.
“Ex… apa itu?” tanyaku sambil membenarkan kacamataku dan menunjuk makhluk berjubah hitam yang membawa rantai sabit di punggungnya.
“A-aku juga tak tau, Mam” katanya gelagapan.
“Apa kita akan mati,…?” tanyaku bingung. Bagaimana bisa kami melihat malaikat maut kecuali jika kami akan mati?
“A-aku juga tak tau, Mam” ia mengulang ucapannya.
“Tapi,… apakah malaikat maut memakai rantai sabit? Yang aku tau, ia hanya membawa sabit yang panjang” kataku.
“A-aku juga tak tau, Mam” untuk ketiga kalinya, ia mengulang ucapannya.
Tiba-tiba makhluk itu menoleh ke arah kami. Ia melambaikan tangannya dan mulai menghampiri kami yang berada tak jauh dari bawah bukit.
“AAAAK LARI UNTUK HIDUPMU!” teriakan Ex yang sangat kencang membuatku terkejut. Kami pun lari ke arah berlawanan dari keberadaan makhluk menyeramkan itu. Makhluk ini tentu 10 kali lipat jauh lebih seram dari zombie. Jika kau bertemu zombie, masih ada kemungkinan selamat jika kau melawan. Tapi untuk malaikat maut? Apakah kau akan melakukan perlawanan pada makhluk yang akan mencabut nyawamu?
Kami berlari sangat kencang sambil berteriak tak karuan, tak peduli jika teriakan kami akan mengundang para zombie untuk datang. Yang pasti, aku dan tentunya Ex masih ingin hidup. Apakah kami akan benar-benar akan mati? Apakah Tuhan mengirimkan malaikat maut tadi untuk mencabut nyawa kami? Tapi, aku masih ingin hidup! Aku dan Ex terus berlari sejauh mungkin sampai kami kelelahan. Tapi sepertinya, malaikat maut itu tak mengikuti kami. Apakah ia akan muncul tiba-tiba seperti yang ada dalam buku cerita lamaku? Ugh, membayangkannya saja sudah membuatku merinding.
“Untunglah,… hhhh,.. kita,.. hhh,.. selamat,.. uhukk uhukk” kataku dengan nafas yang terengah-engah. Kalau dipikir-pikir konyol juga ‘selamat’ dari kejaran malaikat maut. Atau dia memang tak berniat mengejar, ya?
“Iya,… hhh,… Mam,…” jawab Ex yang juga kelelahan.
Matahari sudah benar-benar terbenam sekarang. Senja sudah berganti menjadi malam. Cahaya bulan di timur sana samar-samar terlihat. Angin dingin mulai berhembus, merasuki tubuh kami. Persediaan air di botol kami sudah benar-benar habis, dan tubuh kami butuh tempat untuk beristirahat. Langkah yang tak tahu harus kemana, perut yang kelaparan, tubuh yang kelelahan, ditambah lagi dengan ancaman yang bisa datang kapan saja membuat kami mulai putus asa.
“Mam, lihat kesana!” kata Ex sambil menunjuk suatu rumah dari kayu dengan lampu yang menyala di ujung sana.
Kami pun berjalan menghampiri rumah dengan nuansa klasik itu. Dindingnya terbuat dari kayu jati dan lampu depannya masih menyala. Kami mulai menaiki anak-anak tangga kecil di depan rumah dan mengetuk pintu.
“Tok tok tok”
“Tok tok tok”
“Mungkin Mam kurang keras mengetuknya” kata Ex tiba-tiba.
“TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK” aku mengetuk pintu benar-benar keras. Rasanya dibanding seseorang yang datang untuk bertamu ke rumah yang tak dikenal, lebih seperti mengetuk pintu karena dikurung di dalam kandang ular untuk minta keluar.
Akhirnya kami pun masuk ke dalam rumah itu. Bukan karena pemilik rumah keluar dan membukakan pintunya untuk kami, tapi karena pintunya memang tidak dikunci. Rumah ini masih sangat bagus, tak seperti rumah tua yang aku temukan dulu bersama David. Listriknya masih menyala, perabotannya masih rapih, dan ruangan-ruangannya tak terlihat berdebu. Kami pun langsung mencari dapur untuk mendapatkan air dan makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death : Re-50.years
Приключения(LANJUTNYA DI S2) Terkadang, penasaran itu bisa membunuhmu. Maksudku, benar-benar membunuh. Sialnya, rasa penasaranku justru menyebabkan kekacauan di seluruh dunia. Makhluk-makhluk sialan itu- ah. Aku bersumpah aku akan menyelesaikan kekacauan ini...