Tiga Puluh Tujuh

671 115 0
                                    

Aku tak tahu mengapa aku terbangun di pagi buta seperti ini. Aku mengucek mataku dan melihat yang lain masih tertidur. Well, kurasa di jam-jam seperti ini hanya aku yang bangun.

  “Mandi” tiba-tiba kata itu muncul di pikiranku.

Kurasa sekarang mandi tak akan jadi masalah, atau membuat badanmu pegal-pegal saat nanti kau tua. Aku pun mengambil alat mandi dari tas David dan mulai membangunkan Ex dan Yuki.

  “Ex, Ex, bangun!” bisikku kencang sambil menggoyang-goyangkan badannya.

  “Ng? Ada apa, Mam?” katanya masih mengantuk.

  “Ayo kita mandi. Yang lain masih tidur” jawabku tergesa-gesa.

  “Ah tidak, sekarang masih dingin” jawab Ex menolak.

  “Huft, kalau begitu Mam bangunkan Yuki saja” jawabku.

  “Yuki, ayo kita mandi” kataku pada Yuki yang masih tertidur pulas.

  “…” ia tak menjawab.

  “Yuki!” bisikku semakin keras.

  “…” ia masih juga tak menjawab.

Well, kurasa ia memang tak bisa dibangunkan saat tertidur pulas begini.

  “Ya sudah aku mandi sendiri saja” kataku sambil beranjak pergi.

Aku pun pergi menjauh dari mereka, mencari tempat yang aman untuk mandi. Ah, lagipula siapa sih yang mau mengintipku mandi? Air sungai terasa lebih dingin daripada biasanya. Mungkin faktor cuaca. Aku pun turun ke sungai dan mulai membersihkan badanku.

Setelah beberapa menit berendam di air sungai yang tentunya masih jernih itu, aku pun bangkit dan mulai memakai pakaianku. Namun tiba-tiba…

  “El! Kau dimana?!” teriak David dari jauh. Merepotkan saja.

  “Iya aku disini!” kataku sambil menghampirinya segera setelah aku selesai memakai pakaianku.

  “Kau mandi? tanyanya sambil berkacak pinggang.

  “Ya iyalah. Memangnya kau tak lihat rambutku basah begini?” tanyaku kesal sambil menggosok-gosok rambutku dengan kain, berharap rambutku akan cepat kering.

  “Sini alat mandinya. Aku juga mau mandi” kata David ketus.

  “Nih” aku memberikan alat mandi itu.

Setelah semua selesai mandi dan memakai pakaiannya, kami bersiap-siap untuk makan camilan. Ya, sebenarnya hanya sebagai pengganjal perut karena kami tak boleh boros soal makanan. Beberapa kue kering sebesar setengah jari cukup untuk mengganjal perut kami.

Kami pun melanjutkan perjalanan, tentu saja dengan berjalan. Melewati jalan-jalan setapak yang penuh dengan batu, melewati pohon-pohon tua yang sebentar lagi gugur, melewati bukit-bukit yang membuat kami sedikit kelelahan. Yaaa walaupun aku bilang ‘sedikit’, tetap saja kini aku penuh dengan keringat. Aku terus mengecek jam tanganku, kalau-kalau ada zombie yang terdeteksi di sekitar kami. Terkadang kami beristirahat sejenak, sekedar minum air mineral untuk menghilangkan dahaga kami.

Sejujurnya, aku tak suka naik mobil seperti kemarin tapi aku lebih tak suka berjalan-jalan tanpa tujuan seperti ini. Berada di dalam mobil terlalu lama dengan pikiran yang kacau dan hati yang panik membuatku mual, tapi berjalan seperti ini jelas lebih buruk karena kami sama sekali tak punya perlindungan, apalagi dengan kenyataan bahwa Mark kehabisan pelurunya.

Life in Death : Re-50.yearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang