Detik berganti menit, menit berganti jam, satu-persatu dari kami mulai mengeluh kelelahan. Untuk sebuah perjalanan, ini benar-benar memuakkan. Niat baik untuk mengembalikan keadaan dunia perlahan-lahan mulai padam, tersapu oleh sugesti-sugesti kotor yang singgah di pikiran, tersapu oleh perdebatan antara baik dan buruk yang jauh di dalam lubuk hati. Kurasa dalam keadaan seperti ini, wajar jika kami tak punya semangat untuk bahagia, bahkan hanya sekedar untuk senyum.
“Tiiing… tiiiing… tiiing…” suara itu berbunyi di telingaku, diikuti oleh radar jam tanganku yang mulai bercahaya, menandakan bahwa sebuah marabahaya yang tak seharusnya ada kini tak jauh dari kami.
“Ssssst” aku menghadap kearah yang lain sambil menyimpan jari telunjukku di depan mulut, berharap mereka tak mengeluarkan suara yang bisa menarik perhatian para zombie sialan itu.
"Merunduk, jalan ke arah bawah sana” bisikku sambil memberi aba-aba ke arah bawah karena tahu beberapa zombie datang dari arah lain.
Aku jalan terlebih dahulu, merunduk, diikuti oleh yang lainnya. Entahlah, aku tak hafal urutannya karena terlalu fokus menjaga gerakan agar tak berisik. Aku menengok ke belakang dan menunjukkan gerakan tangan ‘pelan-pelan’ pada mereka karena aku rasa jalan ke bawah cukup licin. Selangkah demi selangkah kami turun ke bawah walaupun areanya cukup curam.
“Aaa- hmph~!”
“AAAAAAKKK!”
Bisa kau tebak apa yang baru saja terjadi? Kami berdua terjatuh, tergelincir sampai ke bawah. Entah kenapa, tak ada angin ataupun hujan, Ex yang posisinya berada di belakangku tiba-tiba tergelincir dan otomatis menabrakku.
Dan seperti sebuah dongeng awam yang mudah ditebak, kami tergelincir berdua hingga terguling di bawah. Aku hampir berteriak namun kutahan mulutku dengan tanganku, tapi kurasa Ex tak mampu menahan kepanikkannya dan menjerit sejadi-jadinya. Aku tak bisa melihat ekspresi wajah Mark, Dayne, Yuki, ataupun David dengan jelas, namun aku yakin mereka sama terkejutnya denganku. Beberapa batu kerikil dan ranting-ranting pohon yang patah mengenai wajah dan tanganku, membuatku ingin berteriak walaupun sedikit saja. Sepertinya rambutku penuh dengan daun-daun kotor dan semacamnya. Menyebalkan.
Kau tahu apa yang pertama kali aku cek saat sampai di dasar? Ya, jam tanganku. Teriakan Ex pasti mengundang zombie-zombie itu untuk datang kesini. Dan persis seperti dugaanku, zombie-zombie itu mulai mendekat dan terus mendekat. Ex reflek memegang kepalanya yang sepertinya terasa pusing setelah terguling tadi. Aku yang panik langsung bangkit dan memberi aba-aba pada yang lain agar cepat sampai di bawah dan bersembunyi. Mereka berpegangan tangan dan mulai turun lebih cepat. Yaaa walaupun aku sedikit kesal dengan Ex, tapi aku bersyukur karena kini aku tahu kalau tergelincir membuatku cepat sampai di bawah.
Akhirnya setelah beberapa saat, kami pun sampai di bawah. Kami berlari untuk menghindari zombie yang mulai mendekat dan terdeteksi di radar. Walaupun otot pahaku terasa lebih tegang daripada biasanya, kami tetap berlari.
“BRUGH!” Ex tiba-tiba pingsan dan terjatuh.
Keadaan menjadi semakin panik. Keadaan kami yang cukup kelelahan ini tak memungkinkan kami untuk menggendong Ex. Apalagi dengan rasa sakit dan rasa pegal yang sepertinya tak berniat hilang dari tubuh kami. Zombie-zombie itu mulai terlihat diatas, menampakkan diri dan berusaha untuk turun, menyusul kami yang sedang cemas di bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death : Re-50.years
Pertualangan(LANJUTNYA DI S2) Terkadang, penasaran itu bisa membunuhmu. Maksudku, benar-benar membunuh. Sialnya, rasa penasaranku justru menyebabkan kekacauan di seluruh dunia. Makhluk-makhluk sialan itu- ah. Aku bersumpah aku akan menyelesaikan kekacauan ini...