Aku dan David melanjutkan perjalanan kami, meninggalkan zombie-zombie yang tergeletak itu. Matahari sudah mulai naik ke atas, membuat rasa lelah kami bercampur dengan rasa haus.
“El, aku haus” kata David sambil melihatku.
“Aku juga” jawabku sambil terus berjalan ke depan.
“Apa kau masih ada air?” tanyanya.
“Sebentar” jawabku sambil membuka tasku dan mencari-cari botol air kecil yang sepertinya aku bawa.
“El, ayo duduk disana” katanya sambil menunjuk sebuah bangku kecil di ujung dekat pohon.
Aku dan David berjalan menghampiri bangku itu. Kami pun duduk dan aku mulai mengeluarkan botol air kecil itu.
“Nih, jangan dihabiskan yah” kataku sambil memberikan botol itu.
“Iya iya” katanya sambil mulai meneguk air dari botol itu.
“Iuuuuh! Sialan kau David, kenapa kau tempelkan mulut botol itu pada bibirmu?!” kataku kesal.
“Lalu aku harus bagaimana? Menempelkannya pada jempol kakiku, hah?” tanyanya sewot.
“Jorok! Ambil saja botol itu. aku masih punya satu lagi” kataku sambil mengeluarkan botol lain yang ukurannya jauh lebih besar dan mulai minum.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kita tau kita di arah mana?” tanyaku setelah minum beberapa teguk air.
“Aku bawa kompas. Aku kan sudah persiapan. Huh, apa jadinya jika aku tidak ada disini” kata David dengan bangganya.
“Tapi kau tidak bawa makanan dan minuman sama sekali” kataku sewot.
Ia pun mengeluarkan kompas dari tasnya. Sementara aku mengeluarkan kotak P3K untuk mengobati luka-luka kami dari duri di semak-semak tadi.
“El, dewi fortuna tersenyum pada kita! Kita sangat beruntung!” katanya tiba-tiba.
“No, David. Dewi fortuna sedang melotot pada kita dengan tatapan marah. Dan bertahan hidup dari serangan zombie itu bukanlah suatu keberuntungan” jawabku padanya sambil sibuk membuka kotak.
“Kita berlari tepat ke arah utara” katanya santai sambil melihat kompas.
“What?! Kita benar-benar beruntung!” teriakku disusul oleh tatapan malasnya padaku.
“Nih, obati lukamu” kataku sambil memberikan kapas, alkohol berkadar rendah, dan plester.
Setelah selesai mengobati luka-luka, kami pun melanjutkan perjalanan kami ke arah utara.
Waktu berlalu begitu cepat. Matahari sudah tenggelam dan bulan mulai muncul. Kini, kami butuh tempat untuk tidur. Yang pasti, tempat yang aman, yang tak terdapat zombie di dalamnya. Setelah beberapa saat berjalan tanpa menemukan rumah satu pun, akhirnya kami memilih untuk tidur di lapangan rumput yang tertutup oleh semak-semak.
.
Hari berganti hari. Sekarang sudah hari ke empat sejak kami pergi dari rumah. Persediaan makanan kami mulai menipis dan kami sudah tak punya air minum lagi. Kami terus berjalan menuju utara, tapi kami tak menemukan siapakah identitas ‘Cakram’. Jangankan identitasnya, bahkan selama kami berjalan, kami tak menemukan siapapun yang masih hidup kecuali zombie-zombie sial yang membuat kami kelelahan. Dinginnya udara, rasa lelah dan letih, rasa lapar dan haus bercampur aduk. Kalau begini, kami bisa mati kelaparan. Dan itulah yang membuat emosi kami menjadi lebih sensitif.“Sial. Bagaimana caranya kita bertahan hidup kalau begini. Cuma dengan petunjuk utara dan cakram, bagaimana caranya kita menemukan dia?!” kataku kesal sambil terus berjalan.
“Jangan salahkan aku, dong!” teriak David padaku.
“Aku tak menyalahkanmu, bodoh! Aku hanya menggerutu sendirian!” balasku keras.
“Jangan panggil aku bodoh! Ini semua ulahmu tau!” katanya kencang.
“Apa?!” bentakku sambil melotot padanya.
“Iya! Ini semua salahmu! Kau yang membuka terowongan gila itu dan membebaskan zombienya! Kita kehilangan Mam karena kau! Kita ada disini, menderita, kelaparan, kelelahan, harus bertahan hidup menghindari zombie-zombie itu karena kau. Semuanya salah kau!” teriaknya marah.
“Kalau begitu, pergilah! Semua makanan yang kau makan itu kau dapat dari siapa? Siapa yang membantumu melawan zombie untuk menyelamatkan hidupmu? Siapa yang memberimu obat saat kau terluka? Siapa?! Memangnya kau pikir aku mau mengurus adik yang tak tau terima kasih sepertimu!” bentakku padanya.
“Oke! Aku pergi!” teriaknya sambil bergegas pergi setelah menatapku dengan pandangan tak percaya.
Aku yang kala itu sedang emosi hanya membiarkannya pergi menjauh dariku. Tak peduli, tak mau mengerti. Memangnya semua itu salahku? Kalau saja ia tak menunjukkan buku usang itu padaku, mungkin aku tak akan jadi penasaran dan nekat mengungkap misteri ini. Apa peduliku? Kenapa aku harus mengejar dan meminta maaf padanya? Itu bukan sepenuhnya salahku!
Aku terus berjalan lurus ke arah utara. Melewati pohon-pohon yang tinggi dan besar. Kelaparan, kehausan, penuh luka. Mengapa nasibku sungguh buruk sekali?
“Deg!”
Aku tiba-tiba teringat David. Kalau dipikir-pikir, aku tak bisa menyalahkan nasib. Ia benar, ini semua salahku. Entah setan apa yang merasuki diriku sehingga aku sangat emosi sampai menyuruhnya pergi. Nasibnya bahkan lebih buruk dariku. Tak bawa makanan dan minuman, tak bawa kotak obat, dan lebih parahnya, senjatanya tak terlalu berguna. Argh! Apa yang telah aku perbuat? Membiarkannya sendirian dalam kelelahan dan kelaparan? Kakak macam apa aku ini? Kini aku mulai menyesali perbuatan bodohku itu.
Sekarang sudah larut malam. Langit yang sudah gelap membuat mood bertambah buruk. Aku pun duduk sebentar di dekat bebatuan besar untuk beristirahat dan makan roti coklat yang hanya tersisa sepotong lagi. Ah,.. setelah ini aku harus makan apa?
“Srkkk”
Ah sial. Suara apa lagi itu?
“Srrrkkk”
“Srrkkk”
“Srrkk”Suara itu muncul lagi. Sepertinya berasal dari semak-semak di ujung sana. Apakah aku harus menghampirinya? Bagaimana kalau itu zombie? Tapi,… seperti biasa, rasa penasaranku lebih besar. Aku pun menghampiri semak-semak itu, dan…
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death : Re-50.years
Aventura(LANJUTNYA DI S2) Terkadang, penasaran itu bisa membunuhmu. Maksudku, benar-benar membunuh. Sialnya, rasa penasaranku justru menyebabkan kekacauan di seluruh dunia. Makhluk-makhluk sialan itu- ah. Aku bersumpah aku akan menyelesaikan kekacauan ini...