Dua Belas

921 159 0
                                    

Pagi telah tiba,… atau mungkin siang? Entahlah, yang pasti saat aku bangun, Ex sudah tak ada di tempat tidurnya. Aku pun duduk dan mengucek mataku, memakai kacamata, dan ketika mataku sudah dapat melihat dengan jelas, aku yakin bahwa sekarang sudah siang. Aku pun bangkit dan mulai mencari-cari orang.

  “Haloooo!” teriakku ke seluruh ruangan.

  “Kemana semua orang?” batinku berbicara.

  “Ex! Mark! Dayne!” teriakku ke seluruh isi rumah. Tak ada yang menjawab.

Aku pun pergi ke luar rumah, melirik ke kanan dan ke kiri untuk mencoba menemukan mereka. Aku menuruni anak tangga dan mencoba mencari ke--- mungkin gudang karena kupikir aku mendengar sesuatu dari arah sana. Sekarang aku ada di depan pintu yang sepertinya pintu gudang. Bingung antara memilih masuk atau tidak. Ketika tanganku mulai mencapai gagang pintu, tiba-tiba,…

  “BAAAA!” teriaknya sambil menepuk punggungku kencang. Membuatku ingin memaki.

  “Siapa sih?!” teriakku sambil menoleh ke belakang. Ternyata itu Dayne.

  “Hahahahaha” tawanya membuatku jengkel.

  “Yang lainnya kemana?” tanyaku.

  “Ex ikut Mark berburu ke hutan karena senjata mereka memang dirancang untuk berburu. Biasanya Mark hanya mendapat ayam atau burung, tapi aku harap kali ini ia mendapat sapi” katanya.

  “Memangnya Mark pakai senjata apa?” tanyaku.

  “Ng,… senapan apa ya,… aku tak begitu tau sih jenisnya. Lagipula aku juga tak tertarik untuk tau” jawabnya.

  “Sejak kapan mereka berangkat?” aku bertanya lagi.

  “Sejak tadi pagi-pagi sekali. Tepatnya sejak kau masih terbaring dan berjalan-jalan di alam mimpimu” katanya menyindir.

  “Kau juga pasti masih tidur. Jika tidak, kau pasti sudah ikut berburu dengan mereka, bukan?” kataku.

  “Hei hei hei,… aku tak sepertimu yah. Aku sudah bangun sejak pagi tadi, dan aku tak mungkin berburu hewan dengan rantai sabitku” katanya tak terima.

  “Begini saja,  bagaimana kalau kau membantuku mencuci senjata? Setidaknya kau jadi lebih berguna ‘kan?” katanya mengejek lagi.

  “Huh iya iya” jawabku. Lagipula, tak ada salahnya membersihkan senjata. Aku juga harus membersihkan gergaji mesinku, bukan?

Aku pun kembali ke depan dengan gergaji mesinku. Sementara Dayne sudah menunggu dengan spons, selang air, dan rantai sabit yang tergeletak di depannya. Aku menghampiri Dayne dan ikut duduk di sebelahnya sambil membersihkan gergaji mesinku dengan spons basah.

  “Hei, umurmu berapa?” tanyanya tiba-tiba.

  “18 tahun. Kenapa?” aku bertanya balik.

  “Mmmm, nothing” jawabnya.

  “Kau memang tinggal dengan Mark saja atau bagaimana?” sekarang giliran aku yang bertanya.

  “Awalnya aku tinggal dengan Mark dan ayahnya. Tapi virus zombie membunuh ayahnya Mark” jawabnya.

  “Apa kau tau awal mula virus ini berasal?” tanyaku padanya.

  “Tidak. Memangnya kau tau?” ia bertanya balik.

  “Tentu, karena akulah penyebabnya” jawabku sambil menatapnya.

  “El, bercandaanmu itu tak lucu” katanya.

  “Apakah aku terlihat seperti orang yang sedang bercanda, Dayne?” tanyaku serius.

  “What the hell, El! Bagaimana caranya kau---“ ucapan Dayne terpotong.

  “Aku yang membuka terowongan berisi zombie yang dipenjarakan kakekku. Aku yang membuat keadaan menjadi kacau. Aku yang mengulang kejadian 50 tahun silam” kataku penuh tekanan.

  “Apa kau gila? Apa kau tau bagaimana susahnya kami bertahan hidup karenamu? Terutama Mark, apa kau tau bagaimana sedihnya ia saat kehilangan ayahnya?!” katanya hampir berteriak.

  “Dan apakah kau tau sedihnya aku kehilangan ayahku dan ibuku? Sedihnya aku kehilangan adikku yang sekarang entah dimana, entah masih bisa bertahan hidup atau tidak, sedihnya aku bertahan dari semua keadaan ini? Kau dan saudaramu itu masih punya rumah aman yang bisa ditinggali, masih punya air, masih punya makanan. Sedangkan aku?” kataku penuh penekanan dan emosi.

  “Siapa yang tau kalau di terowongan gelap itu terdapat zombie? Siapa yang tau?!” lanjutku dengan suara keras.

  “Bagaimana pun kau harus bertanggung jawab, El. Keadaan dunia sekarang sedang kacau. Dan kau adalah satu-satunya orang yang harus mengembalikannya ke keadaan yang semula” kata Dayne, mungkin itu hanya nasehat tapi terdengar seperti sindiran di telingaku.

Aku pun bangkit dan mengambil gergaji mesinku yang masih basah itu. mulai berjalan ke arah hutan dengan langkah yang cepat.

  “Hei! Mau kemana kau?!” teriak Dayne dari belakang.

  “Membunuh zombie. Mengembalikan keadaan seperti semula” kataku kesal sambil terus berjalan.

Aku benar-benar berjalan ke arah hutan untuk membunuh zombie, bukan sekedar gertakan. Tak peduli dengan gergaji mesinku yang baru saja dibersihkan, aku akan tetap membunuh zombie-zombie itu. Lagipula sekarang ini aku sedang kesal, jadi keinginan bertahan hidupku akan meningkat pesat, membuatku bisa melawan zombie-zombie itu sendirian, mungkin.

Setelah berjalan cukup jauh ke dalam hutan, aku mulai menyalakan gergaji mesinku. Mencoba menarik para zombie dengan suara deru gergaji mesinku. Satu dua zombie mulai datang. Kutebas kepala mereka dengan mudahnya. Zombie-zombie lainnya mulai berdatangan. Entah mengapa tiba-tiba gergaji mesinku terasa ringan sekali, tak seperti biasanya. Memudahkanku untuk menebas zombie-zombie tu. Inikah yang dinamakan sihir amarah?

Semakin lama, zombie lain pun semakin banyak menghampiriku. Aku yang sedang dalam mode ‘gila’ dengan semangatnya mengayunkan gergajiku ke kanan dan ke kiri, berharap mereka akan mati dan semua akan kembali seperti semula. Zombie-zombie itu mulai tumbang dan tergeletak di tanah. Namun tiba-tiba dua buah cakram mendarat di leher zombie yang akan kutebas dan beberapa peluru mendarat di kepala zombie-zombie lainnya.

  “SIALAN APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” teriakku seperti orang gila.

  “Hah?” tanya Ex bingung sambil saling menatap dengan Mark.

  “PERGI SANA! BIAR AKU YANG SELESAIKAN INI!” aku berteriak sangat kencang pada mereka yang ingin menolongku.

  “Aku pikir Mam sedang dalam bahaya” kata Ex bingung.

  “Aku juga berpikir begitu” kata Mark yang sepertinya juga bingung.

  “Apa aku terlihat seperti orang yang membutuhkan pertolongan?” tanyaku sambil menjambak kepala salah satu zombie yang sudah terpenggal oleh gergaji mesinku.

  “Ng….” gumam mereka bingung.

  “Tunggu apalagi? Sana pergi!” kataku kesal sambil terus menebas zombie yang lainnya.

Mereka pun pergi masih dengan ekspresi wajah yang bingung. Sementara aku masih sibuk menebas zombie-zombie itu. Setelah semua zombie itu tumbang dan tergeletak, aku pun mematikan gergaji mesinku dan mulai pergi ke bawah pohon besar diujung sana untuk beristirahat. Mungkin aku bisa dengan mudah menebas zombie itu dalam keadaan marah, tapi sekarang badanku menjadi pegal-pegal. Kakiku pegal, tanganku pegal, kepalaku juga pegal. Kupikir aku akan beristirahat sebentar disini.

Life in Death : Re-50.yearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang