Tiga Puluh Satu

721 111 2
                                    

Setelah matahari benar-benar terbenam dan langit jingga yang indah mulai sirna, Mark pun menghentikan mobil, sekedar mengistirahatkan lengan dan punggungnya yang seharian sibuk menyetir. Cahaya-cahaya tipis di ufuk barat mulai larut, sama larutnya dengan rasa nyaman berdiam di mobil. Aku keluar dari mobil dan duduk di atas batu sambil menatap dari ketinggian.

Aku menarik nafas panjang, mencoba menghilangkan rasa mual di sepanjang kerongkonganku. Kubiarkan angin malam menerpa rambutku. Seperti kata orang, pikiran-pikiran yang membebanimu mulai bermunculan saat malam hari, ketika sunyi menghampiri dan kamu merasa sepi. Pikiran-pikiran sederhana yang mengganjal, lalu membuat kamu tak bisa tidur di malam hari, hingga akhirnya kamu terjaga sampai fajar tiba. Mataku kosong, begitu juga hatiku, hampa. Jujur, aku sudah lelah dengan kehidupan ini.

Berjuang, bertahan, melarikan diri, tapi siapa yang bisa menjamin kalau kau akan selamat? Siapa yang bisa menjamin kalau dengan perjuangan ini, dunia bisa kembali seperti semula? Siapa?! Pikiran-pikiran negatif mulai menghantuiku. Bagaimana kalau perjuangan ini berakhir sia-sia? Bagaimana kalau rasa lelah ini berujung kematian, bukan kemenangan? Aku menunduk tanpa sadar, meremas keras kepalaku hingga rambutku menjadi acak-acakan. Pada saat-saat seperti ini, tak apa kan jika aku menangis?

  “Aih!” kataku kaget saat sebuah kaleng basah menyentuh pipi kananku. Itu Mark. Ia pun duduk di sebelahku.

  “Mau minum?” katanya sambil memberikan minuman kaleng berisi soda itu.

  “Yeah, thanks” kataku sambil mengambil minuman kaleng itu.

Setelah beberapa teguk, aku pun kembali terdiam dan menatap ke arah langit malam. Tak ada bintang malam ini, hanya awan-awan tebal yang berusaha menutupi sinar bulan. Suasana hening dan Mark tak terlihat seperti ia akan bicara.

  “Kau tak mau bertanya ada apa denganku?” kataku membuka percakapan segera setelah aku mengusap bekas air mataku. Entahlah, aku tak tahu harus berkata apa.

  “Sepertinya tak ada yang harus ditanyakan. Yang aku tau, yang membebanimu pasti lebih besar dari sekadar masalah cinta” kata Mark sambil terkekeh.

  “Hahaha” aku tertawa lemas, “Cinta?” aku bertanya memastikan.

  “Kau tau, kita semua anak muda, dan biasanya usia-usia seperti kita pasti pernah memikirkan soal cinta, termasuk kau” kata Mark.

  “Hmmm,… sesekali aku memikirkannya, yaa tentu saja sebelum para zombie keparat itu menyerang. Tapi aku tak begitu tertarik memiliki seorang pacar atau yang lainnya” jawabku sambil meneguk minuman soda itu lagi.

  “Huh? Kenapa?” tanyanya penasaran.

  “Aku sendiri juga tak tau. Entahlah, rasanya membiarkan orang melihat benda-benda privasiku, atau mengekangku kesana-kemari bukan cara yang baik untuk menghabiskan waktu masa mudaku” jawabku.

  “Tapi apakah kau tak pernah merasa bosan atau semacamnya? Maksudku, hmm, tak memiliki seorang pacar bukankah sangat membosankan? Tak ada teman untuk mengobrol, atau berjalan-jalan, atau menghabiskan waktu?” katanya penasaran dengan pemikiranku soal pacar.

  “Kurasa bosan lebih baik daripada membiarkan orang lain datang, menghancurkan hatimu, dan pergi begitu saja. Lagipula aku punya kucing untuk menemaniku mengobrol” jawabku sambil mengingat kucing putihku yang sepertinya sudah mati.

  “Lalu, bagaimana kau akan menikah dan mempunyai keturunan?” kata Mark.

  “Aku tak berencana menikah tahun ini. Lagipula, suatu saat aku yakin akan ada laki-laki yang menghampiriku dan bersedia menjadi suamiku” kataku sedikit canggung membicarakan hal seperti ini. Sejujurnya aku tak begitu suka bahasan macam ini karena yaaa, entahlah, aku tak peduli.

  “Yeah,… suatu saat nanti ada” kata Mark.

Setelah itu, suasana hening kembali. Terlalu hening sampai suara angin malam saja bisa terdengar di telinga kami. Dan aku rasa, aku tak berniat membuka percakapan lagi. Aku harap ia juga tak berniat untuk mengajakku bicara. Tapi tiba-tiba…

Life in Death : Re-50.yearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang