Sembilan belas

794 134 0
                                    

Aku terbangun di suatu tempat yang,… entahlah aku pun tak tahu dimana ini. Putih bersih, dan banyak alat-alat yang terbuat dari besi. Walau samar-samar, aku yakin bahwa sekitar 4 meter dariku ada beberapa orang yang berkumpul. Entahlah, mungkin ini efek dari gas tadi.

  “Uh dimana ini?” tanya Ex tiba-tiba. Sepertinya dia juga sudah sadar.

  “Entahlah, Ex. Aku juga tak tau” kataku lemas. Orang-orang itu mulai menghampiri kami.

  “Haaaai~!!” kata salah satu dari mereka yang rambutnya diponi dengan senyum lebar dan lesung pipi di wajahnya.

  “Hah? Hai? Setelah dibius oleh gas dan dibawa ke tempat tidak dikenal dia mengatakan Hai?” batinku berbicara

  “Dimana ini??” tanyaku pada mereka sambil memegangi kepalaku yang masih terasa pusing.

  “Ini di lab kimia milik kami” jawab yang berambut panjang lurus dengan gaya kepang.

  “Hah? Milik kalian,… maksudnya benar-benar milik kalian? Padahal kalian masih kelihatan muda” kata Ex sedikit bingung.

  “Aaah,… bukan sih. Karena sekarang keadaan dunia sudah tidak beraturan, mungkin pemilik lab ini juga tak akan marah kalau tau tempatnya diambil oleh kami” jawab perempuan yang rambutnya diurai. Entahlah, lagipula siapa mereka?

  “Kalian siapa?” tanyaku pada mereka.

  “Aku Jesica” kata perempuan berambut ikal yang dikuncir kuda itu.

  “Aku Hani” kata perempuan yang berambut panjang lurus dengan kepang belakang. Wajahnya terlihat sedikit menyebalkan.

  “Honey? Honey maksudmu honey madu?” tanyaku yang sedikit agak aneh.

  “Hani, hani. H-A-N-I. Sudah jelas?” tanyanya. Woah, jarang sekali ada nama seperti itu.

  “Aku Fauzia” kata perempuan dengan rambut diurai.

  “Aku Yuki!!!” kata perempuan berponi dengan lesung pipi yang selalu terlihat ceria. Entahlah, memang ia seperti itu atau bagaimana.

  “Yuki? Kau orang Jepang?” tanya Ex antusias.

  “Bukan, aku bukan orang Jepang. Tapi kakekku keturunan Jerman” kata Yuki menyengir disusul oleh tatapan malasku dan Ex.

  “Aku El, ini Ex” kataku sambil menunjuk Ex.

  “Yang disana itu…” belum selesai aku bicara, sudah terpotong lagi. Mengapa orang-orang senang memotong pembicaraan orang, sih?

  “Argh,… dimana ini?” tanya Mark yang baru tersadar sambil memegangi kepalanya. Yah, aku tahu rasanya, Mark.

  “Nah, yang itu Mark” kataku sambil menunjuk Mark, mencoba melanjutkan perkenalan tanpa menggubris pertanyaan Mark.

  “Yang diujung sana adalah Dayne” kataku sambil menunjuk ke ujung, ke arah Dayne yang masih belum sadar. Awalnya aku mengira ia masih pingsan karena efek gas itu, tapi setelah mendengar ia mendengkur sangat keras, aku yakin kalau dia hanya tidur saja.

  “Jadi,… bagaimana kalian bisa menemukan kami di gedung terbengkalai seperti itu?” tanyaku pada mereka.

  “Ehm,… setiap malam, kami, kecuali Fauzia berpatroli untuk mencari orang-orang di kota yang masih hidup. Memasuki gedung-gedung terbengkalai dan beberapa pondok rumah tak terurus. Kebetulan saja malam ini aku bertemu kalian” kata Jesica panjang lebar.

  “Kenapa Fauzia tak ikut berpatroli?” tanya Ex.

  “Karena ia yang menjaga lab ini. Kalau semuanya pergi, kami khawatir ada yang masuk” jawab Hany. Entahlah, aku lebih suka menyebutnya begitu.

  “Sebenarnya ada satu orang lagi. Dia laki-laki dan masih cukup kecil tapi tetap bersikeras ikut berpatroli. Ia juga dulu ditemukan oleh kami, tapi sekarang ia sedang tidur di kamar belakang sana” kata Fauzia sambil menunjuk ke belakang sana.

  “Bagaimana dengan senjata kami?” tanya Mark yang dari tadi menyimak.

  “Karena lab ini harus bersih, jadi senjata kalian kami simpan di belakang untuk dicuci dulu” kata Jesica. Ah, menjaga kebersihan mengingatkanku pada diriku yang lama.

  “Aku sangat bersyukur bisa bertemu kalian. Terima kasih karena mau menampung kami” kataku senang.

  “Ah iya iya, lagipula memang niat kami mencari korban selamat” kata Fauzia tersenyum.

  “Kalian bisa tinggal disini. Lab ini cukup luas, tapi kalian harus mau tidur di satu ruangan yang sama. Jangan khawatir, ruangannya luas kok” kata Jesica.

  “Sini, aku antar” kata Hany, diikuti oleh aku, Ex, dan Mark yang menggendong Dayne. Mark selalu mendapat tugas menggendong, ya?

Setelah beberapa langkah berjalan, akhirnya kami sampai di ruangan tempat kami akan tinggal. Putih, bersih, dan luas dengan beberapa single bed yang berjajar rapi. Ah,… aku sangat bersyukur masih bisa tinggal di tempat seperti disaat keadaan dunia sudah kacau balau.

  “Ex, aku akan tidur disini” kataku sambil menyimpan tas disamping kasur yang paling ujung.

  “Aku disebelah Mam” kata Ex sambil menyimpan tasnya di kasur sebelahku.

  “Dimana aku harus menyimpan anak ini?” tanya Mark sambil menggendong Dayne yang sepertinya masih tertidur.

  “Simpan saja di sebelah Ex” jawabku sambil mengeluarkan baju dari tas, bersiap untuk mandi.

  “Okay” jawabnya sambil meletakkan Dayne di atas kasur.

Setelah selesai mandi, aku pun kembali ke kasur untuk tidur. Yaah, walaupun sebenarnya seharian ini aku pingsan, tapi entah kenapa tubuhku masih terasa lelah. Begitu pula dengan Ex yang sudah bersiap-siap tidur. Sedangkan Mark, kurasa dia lebih memilih untuk mengecek senjatanya terlebih dahulu. Aku merebahkan diri di kasur, dan mencoba menutup mata. Yah, aku harap aku dapat terlelap dengan mudah dan mendapat mimpi indah.

Life in Death : Re-50.yearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang