Setelah berlari cukup jauh, kami pun berteduh di sebuah rumah tua yang sepi dan kemungkinan sudah tidak ditinggali. Rumah itu tidak terurus. Tak ada listrik, penuh dengan debu, perabotan tua yang sudah usang, dan jaring laba-laba yang menghiasi sudut-sudut rumah. Dan sekarang aku sudah tak mungkin memikirkan tentang bakteri dan lain-lain. Satu-satunya yang kupikirkan adalah bertahan hidup.
“David, setelah ini kita akan kemana?” tanyaku.
“Sebentar, aku harus memeriksa buku ini dulu” katanya sambil mengeluarkan buku usang kemarin dari tasnya.
“El, tolong pegang senter ini” katanya sambil memberikan senter padaku. Aku pun memegang senter itu untuk menerangi buku yang akan dibaca oleh adikku.
“Utara dan cakram” kata adikku tiba-tiba setelah membaca beberapa bagian dari isi buku itu.
“Cuma itu?” tanyaku.
“Ya, cuma itu. Kau pikir aku bisa membaca sisa tulisan ini? Aku bahkan tak mengerti bentuk-bentuk huruf yang aneh ini” katanya kesal.
“Oh my God, bagaimana kita bisa mencari seseorang di seluruh muka bumi ini hanya dengan petunjuk sekecil itu?” keluhku pada David.
“Aku tak tau, El. Pokoknya habis ini, kita jalan saja ke arah utara” jawabnya.
“By the way, kau bawa makanan? Aku lapar sekali” lanjutnya.
“Ya, hmmm, tapi tak banyak” jawabku sambil mengeluarkan sebuah roti untuknya.
Ia pun mengambil roti tersebut dan mulai memakannya. Mungkin ia terlalu terburu-buru sehingga tidak membawa makanan sama sekali.
“Kau tak mau makan, El?” tanya David sambil mengunyah rotinya.
“A-aku,… hmmm… aku tidak lapar” jawabku bingung yang sebenarnya lapar juga. Untuk beberapa alasan aku memilih untuk menghemat persediaan makanan secara ekstrim karena makanan yang tersisa di tasku hanya sedikit.
Setelah adikku selesai makan, kami pun pergi tidur di sofa berdebu yang terletak di ruang tengah. Semakin malam, semakin dingin pula udaranya, mungkin karena faktor hujan deras yang dari tadi tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Setelah beberapa menit, kami pun terlelap.
.
Aku terbangun di pagi buta dalam keadaan panik seperti ini karena suara raungan-raungan itu. Secepat itukah penyebaran virus zombie sampai-sampai dalam kurun waktu beberapa jam, zombie-zombie itu sudah sampai sini?“David, hei, David, bangun” bisikku pada David sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
“Ada ap---“ katanya keras.
“Ssssssttt, jangan berisik. Zombie-zombie sialan itu ada di luar” kataku masih berbisik.
“What the--- kau serius?!” tanyanya sambil ikut berbisik.
“Ya, sekarang kita harus keluar lewat pintu belakang” bisikku padanya.
Kami pun mengambil tas kami dan berjalan mengendap-ngendap ke pintu belakang. Naasnya, pintunya macet, atau mungkin terkunci? Kami pun berusaha mendobrak pintu itu dengan kencang, namun usaha kami sia-sia.
“David, sepertinya zombie-zombie itu tau kita ada disini” kataku panik.
“Kenapa kau berpikir begitu?” tanyanya.
“Karena sekarang mereka ada di depan jendela dan melihat kita dengan tatapan laparnya” jawabku sambil menatap David.
“Ah shit!” ia memaki. “Bisakah kau menahan mereka? Aku akan merusak engsel pintu ini dengan tongkat kastiku” lanjutnya.
“Semoga” kataku sambil mengeluarkan gergaji mesinku.
“1…”
“2…”
“3…, Mulai!”Zombie-zombie itu berhasil menghancurkan pintu depan. Mereka mulai berlari menghampiriku dengan rakusnya. Aku, yang masih memiliki keinginan untuk hidup, dengan ragu-ragu mulai mengayunkan gergaji mesinku. Ke kepalanya, ke perutnya, ke dadanya, ke semua bagian tubuhnya. Darah mulai menciprat ke berbagai arah. Semakin lama, semakin banyak pula zombie yang berdatangan. Kini aku tak akan ragu lagi. Demi hidupku dan demi hidup adikku, aku bersumpah akan menghabisi zombie-zombie keparat ini. Sementara aku sibuk dengan zombie-zombie ini, David sibuk dengan engsel pintu dan tongkat kastinya. Ia memukul-mukulnya sekuat tenaga, berharap engsel itu akan lepas, dan pintu pun akan terbuka.
“David, zombie-zombie ini mulai menyusahkanku! Bisakah kau cepat sedikit?” tanyaku padanya yang berada di belakangku.
“Sebentar, sebentar!” katanya.
“David…!” kataku panik saat salah satu zombie hampir mengenai tanganku. Beruntung, aku masih bisa menghindar.
“Sebentar, El! Aku butuh waktu!” teriaknya yang sama-sama panik.
“David…!” kataku sambil berusaha menyingkirkan zombie-zombie yang berada di daerah kakiku.
“Sebentar!” katanya sambil terus memukul-mukul engsel pintu itu.
“David…! Kumohon!” kataku beberapa zombie lainnya muncul dari pintu depan.
“OKAY!” teriaknya saat pintunya terbuka.
Aku dan David pun berlari secepat yang kami bisa. Menabrak semak-semak, menginjak tanah-tanah becek bekas hujan, melewati jalan bebatuan. Apapun asalkan kami selamat.
“David! Kita berlari ke arah mana?! Bukannya kita harus ke arah utara?” tanyaku berteriak sambil berlari-lari.
“Persetan dengan utara! Aku masih mau hidup!” balasnya berteriak sambil terus berlari.
Kami pun berlari, dan terus berlari menjauhi zombie-zombie lapar yang mulai tertinggal itu. Kami yang masih panik itu terus berlari ke depan dan akhirnya menabrak semak-semak yang penuh dengan duri. Duri-duri pada semak itu mulai menimbulkan luka di kulit kami. Di wajah, tangan, kaki, luka itu ada dimana-mana. Darah mulai menetes dari luka-luka itu. Tapi bagian terburuknya adalah, saat kami keluar dari semak, yang kami lihat hanyalah sekumpulan zombie. Bukan, bukan 1 atau 2. Empat? Lima? Enam? Atau mungkin sepuluh? Wajah mereka hancur tak karuan. Urat-urat di kulitnya berubah menjadi hitam. Mulut-mulut mereka dipenuhi oleh darah. Zombie-zombie itu menghampiri kami dengan cepat, dengan tatapannya yang menyeramkan.
“SIAL!” teriak kami berdua.
Kami terpaksa maju menghadapi zombie-zombie itu karena tak mungkin kami akan kembali masuk ke dalam semak-semak berduri itu. Aku mengayunkan gergaji mesinku pada zombie-zombie itu. Aku tak akan membiarkan mereka menyentuhku, atau adikku. David juga mulai mengayunkan tongkat kastinya sekuat tenaga. Walau tak begitu efektif, setidaknya ia bisa bertahan. Aku terus maju dan menumpas mereka sebisa mungkin. Zombie-zombie itu mulai berjatuhan, tergeletak di tanah yang masih basah. Keringat membasahi pipiku yang penuh dengan luka, begitu juga adikku yang sedang kelelahan itu. Perih. Rasanya perih sekali, tapi tak seburuk kenyataan harus bertahan hidup di tengah-tengah dunia yang sudah kacau ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death : Re-50.years
Przygodowe(LANJUTNYA DI S2) Terkadang, penasaran itu bisa membunuhmu. Maksudku, benar-benar membunuh. Sialnya, rasa penasaranku justru menyebabkan kekacauan di seluruh dunia. Makhluk-makhluk sialan itu- ah. Aku bersumpah aku akan menyelesaikan kekacauan ini...