“Krrrr”
“Oh my God! Ada orang yang selamat bertahan hidup dari zombie?” batinku berbicara.
“Hei,.. hei!” kataku pada perempuan yang sedang tergeletak --- atau tertidur di balik semak-semak itu.
“Sebentar, Mam. 5 menit lagi” katanya dengan suara khas mengantuk.
“’Mam’ pantatmu” jawabku sewot.
“Oh, kau bukan Mam-ku” katanya sambil mengucek matanya.
“Serius deh, ada apa sih dengan orang ini” pikirku.
Perempuan berambut gelombang bermata emas itu pun bangun dan melihat ke arahku.
“Eh tunggu,.. Mam?” tanyanya.
“Apa sih yang Mam?” aku bertanya balik dengan kesal.
“Mam!” katanya sambil berlari padaku.
“Apa sih?! Aku bukan ibumu tau!” kataku sambil melangkah mundur menjauhinya.
“Oh bukan yah… habisnya kau mirip sekali dengan Mam-ku” katanya.
Kalau ada David disini, aku pasti akan bertanya “Apakah aku terlihat setua itu?”. Ah, lagi-lagi aku ingat adikku itu.“Oke, yang pertama, aku bukan ibumu. Dan yang kedua, aku baru berumur 18 tahun! Bukankah itu penghinaan?” tanyaku padanya.
“Bukan, aku bilang begitu karena kau memang benar-benar mirip ibuku. Aku sempat mengira ibuku kembali menjadi muda lagi” katanya.
“Ouh shit, kau bau sekali, Mam. Sudah berapa hari sih kau tak mandi?” lanjutnya sambil menutup hidung ketika aku mulai menghampirinya.
“Masalah untukmu?” tanyaku sewot.
“Sini ikut aku” katanya.
Aku pun mengikutinya dari belakang. Entah mau pergi kemana, tapi sepertinya aku tetap harus mengikutinya. Tak sampai 5 menit berjalan, kami pun sampai. Sungai. Ya! Sungai dan air terjun! Sudah berapa lama aku tak melihat air bersih?
“Ini adalah sebuah jackpot, iya kan, David?” batinku berbicara.
Ah, David… aku rasa ia akan senang sekali melihat ini. Bagaimana keadaan ia sekarang?
“Di air bagian kanan sebelah sana, kau bisa mandi. Kalau di arus air terjun sebelah kiri, itu air bersih untuk minum. Jadi jangan mandi disana ya, Mam” katanya.
“Iya iya” kataku sambil bergegas ke arus bagian kanan untuk mandi karena aku tak peduli penyakit rematik yang ditimbulkan dari mandi saat malam hari.
Setelah selesai mandi dan memakai pakaian, aku pun mengambil botol minumku untuk kuisi air dari arus sebelah kiri. Kalau tak sekarang, kapan lagi aku bisa dapat air bersih? Tiba-tiba, perempuan tadi menghampiriku.
“Mam…” katanya.
“Coba berhenti panggil aku ‘Mam’, aku bukan ibumu tau” kataku sewot.
“Okay. Ayo kita kembali kesana dan buat api unggun, Mam” katanya disusul oleh tatapan malasku.
Kami pun kembali ke tempat semula, tempat aku menemukan ia yang sedang tertidur. Ternyata ia menyimpan cukup banyak kayu bakar di antara semak-semak. Mungkin ia sudah beberapa hari disini dan sering membuat api unggun. Aku pun mengambil beberapa kayu bakar untuk dibuat api unggun, sementara ia sibuk mencari korek api di dalam tasnya yang cukup besar. Dari sini, aku bisa melihat banyak makanan dan air minum yang ia simpan di dalam tasnya.
“Mam lapar?” tanyanya.
“Nggak” jawabku gengsi disusul oleh bunyi perutku yang lapar.
“Mam suka kentang rebus?” tanyanya.
“Ng,… suka sih,…” jawabku ragu-ragu tak bisa menyembunyikan rasa laparku.
Ia pun mulai membakar kayu bakar itu dengan korek apinya, kemudian menaruh beberapa kentang yang sudah dikupas ke dalam panci berisi air yang digantungkan di atas api unggun.
“Sebentar” kataku sambil mengambil garam dan merica yang entah apa gunanya aku bawa ke dalam tasku.
Aku pun mulai memasukkan garam dan merica itu ke dalam panci.
“Mam kesini sendirian?” tanyanya.
“Begini yah, berhenti panggil aku ‘Mam’. Namaku itu El” kataku.
“Cuma El?” tanyanya lagi.
“Iya…” kataku bohong.
“Sama dong! Namaku juga cuma Ex!” katanya semangat.
“Hah? Ex? Mantan?” tanyaku bingung.
“Aku juga tak tau. Aku cuma tau namaku itu Ex” jawabnya.
Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya kentang itu pun matang. Senyum bahagia tak bisa aku sembunyikan. Aku pun mengambil silet kecil di tasku dan mulai memotong-motong kentang itu menjadi bentuk dadu-dadu kecil. Perempuan bernama Ex itu pun memperhatikanku.
“Mam-ku kalau makan kentang itu langsung” katanya.
“Tapi aku kan bukan ibumu” jawabku enteng.
“Hmmm…” gumamnya.
Kami pun memakan kentang rebus itu sampai habis. Setelah kenyang, kami sedikit berbincang. Ah bukan, sebenarnya bukan aku yang ingin berbincang, tapi ia yang menanyaiku pertanyaan tanpa henti.
“Jadi Mam kesini sama siapa?” tanyanya.
“David…” jawabku sedih. Ah, aku ingat ia lagi. Semoga kau baik-baik saja.
“Siapa?” tanyanya.
“Adik laki-lakiku” jawabku.
“Terus sekarang ia kemana?” tanya Ex.
“Aku juga tak tau…” jawabku tak bersemangat.
Untuk beberapa alasan, aku menceritakan kejadian bagaimana aku berpisah dengan David. Aku bahkan memberitahu tentang --- aku yang menjadi penyebab segala kekacauan virus zombie. Kau tahu? Bercerita seperti ini membuatku semakin merasa bersalah.
“Tak apa, Mam… mungkin ini memang harus terjadi” katanya.
Aku bersyukur ia bisa mengerti aku, tak seperti aku yang tak mengerti adikku. Ugh, aku harap David baik-baik saja dimana pun ia berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death : Re-50.years
Adventure(LANJUTNYA DI S2) Terkadang, penasaran itu bisa membunuhmu. Maksudku, benar-benar membunuh. Sialnya, rasa penasaranku justru menyebabkan kekacauan di seluruh dunia. Makhluk-makhluk sialan itu- ah. Aku bersumpah aku akan menyelesaikan kekacauan ini...