Rasa sakit yang teramat sangat membangunkanku. Aku pun membenarkan kacamataku dan melirik kearah jari tangan kiriku. Jari kelingkingku dibalut perban tebal, dan,... sejak kapan ukurannya sependek ini? Setengah dari panjang asli kelingkingku?
"Ex?! Dimana kau?!" teriakku ke segala arah. Sebenarnya aku dimana? Dan Ex dimana?
"Aku disini, Mam!" katanya sambil menghampiriku. Dua jari kakinya terbalut perban.
"Ex, kakimu kenapa?" tanyaku padanya.
"Mmmm,... aku memotongnya. Zombie-zombie kemarin berhasil menggigit jari kakiku. Jari kelingking Mam juga, aku memotongnya. Kalau tidak, virusnya akan menyebar dan kita berdua akan berubah menjadi zombie, Mam" jelasnya.
"Kemarin?" tanyaku kaget.
"Iya, kemarin" jawab Ex.
"Berapa lama aku pingsan, Ex?" tanyaku.
"Satu setengah hari" jawabnya.
"Oh shit, lama sekali. Zombie-zombie itu pasti semakin bertambah banyak sekarang" batinku berbicara.
"By the way, maafkan aku Mam. Hidung Mam jadi punya bekas luka" katanya.
"Tak apa. Aku lebih suka memiliki bekas luka di hidung dari pada mati dan berubah menjadi zombie" kataku.
Aku pun mengambil tasku untuk mengeluarkan kotak P3K. Tapi, seberapa keras pun aku mencari, kotak kecil itu tak kutemukan.
"Ex, lihat kotak P3K milikku?" tanyaku pada Ex.
"Ada di belakang sana. Kemarin kan kupakai untuk membalut luka potong" katanya.
Aku pergi ke pohon besar yang ada di belakang sana, tepatnya ke kotak P3K yang tergeletak di bawah pohon besar itu. Aku pun mengeluarkan kapas dan alkohol untuk membersihkan luka pada hidungku. Walaupun darahnya sudah mengering, luka itu tetap harus dibersihkan. Lukanya terlihat biasa saja, tapi sepertinya cukup dalam. Kalau begini, bisa-bisa bekas lukanya akan jadi permanen seperti luka guru Iruka di serial kartun Jepang yang sering ditonton David.
"Apa kita akan melanjutkan perjalanan? Aku sudah cukup beristirahat" kataku setelah selesai membersihkan luka itu.
"Okay" katanya sambil bersiap-siap mengambil tasnya.
Aku pun berdiri dan mengambil tasku. Kami mulai berjalan lagi untuk mencari orang yang dapat membantu kami menghancurkan virus zombie. Kami berjalan dan terus berjalan, melewati jalan bebatuan, melewati pohon-pohon yang menjulang tinggi, melewati jalan setapak. Bukan hal yang aneh karena disini memang masih daerah hutan, bukan gedung-gedung pencakar langit dan pabrik-pabrik yang penuh asap. Kalau dipikir-pikir,... apakah zombie itu sudah masuk daerah perkotaan?
Matahari sudah mulai tertutup awan. Suasana sore hari yang menyejukkan membantu mengurangi rasa lelah dan letih. Kami pun duduk sebentar di bawah pohon yang cukup rindang untuk sekedar beristirahat. Menikmati angin sepoi-sepoi yang mungkin menjadi terakhir kalinya. Aku sangat bersyukur karena di tengah dunia yang kacau, aku masih bisa menghirup udara yang segar. Apa jadinya jika aku ada di kota?
Setelah beristirahat sebentar, kami pun melanjutkan perjalanan kami. Namun, samar-samar suara raungan mengerikan itu terdengar lagi, membuat bulu kuduk kami berdiri. Suara raungan yang terdengar riuh itu dengan cepat mendekat ke arah kami. Kami terjebak di antara insting harus berlari, atau tetap bertahan melawan zombie-zombie itu. Suara itu semakin mendekat, dan semakin mendekat. Dan akhirnya, keputusan kami bulat. Tetap bertahan dan terus melawan mungkin ide yang lebih baik. Setidaknya, kami mengurangi virus-virus zombie itu walaupun mungkin hanya 0,1%. Yah, intinya lebih baik dari berlari menjauhi mereka dan bertemu zombie-zombie lain. Mau tak mau, siap tak siap, kami akan melawan zombie-zombie itu.
Aku sudah siap dengan gergaji mesinku yang menyala, berderu kencang. Sedangkan Ex sudah siap dengan kedua cakram baja tajam yang sudah ia genggam di tangannya. Begitu juga dengan zombie-zombie itu yang mulai terlihat menghampiri kita. Jumlahnya tak sebanyak kemarin, tepatnya tak sebanyak satu setengah hari yang lalu. Mungkin sekarang hanya 14 atau 15 zombie, dan kami masih bisa menanganinya. Aku mulai menebas mereka dengan penuh rasa kesal, marah, takut, dan panik yang bercampur aduk menjadi satu. Gergaji mesin yang berputar sangat cepat itu membelah tubuh mereka, menghancurkan kepala mereka, hingga aku yakin tak ada lagi gerakanku yang tak berarti. Sementara Ex sendiri mulai melemparkan kedua cakramnya pada kepala zombie-zombie itu yang tentunya selalu mengenai sasaran. Kedua cakram itu menjadi alat pemenggal kepala untuk para zombie itu. Kami, yang dipenuhi keinginan untuk bertahan hidup terus melakukan perlawanan terhadap serangan-serangan zombie yang ingin menggerogoti tubuh kami. Keringat mulai bercucuran, mengalir di wajah dan tubuh kami.
"Mam? Kau baik-baik saja?!" tanyanya membelakangiku sambil terus melempar cakram baja itu.
"Yeah. Bisakah kau tanyakan itu nanti, Ex? Aku sedang sibuk disini" jawabku yang juga membelakanginya sambil terus menebas zombie itu dengan gergaji mesinku yang lumayan berat.
Akhirnya, kami berhasil menumbangkan semua zombie itu. Zombie-zombie itu tergeletak di tanah yang penuh dedaunan, begitu pula kami yang tergeletak karena kelelahan. Nafas yang terengah-engah, mata yang seolah otomatis terpejam, tangan dan kaki yang terkulai lemas karena memegang senjata dan menopang tubuh yang sudah sedari tadi ingin terjatuh. Rasanya seperti habis berlari maraton sejauh 10 km, yaaah walaupun sebenarnya aku tak pernah berlari maraton sejauh 10 km. Daun-daun kering yang sudah menguning mulai berguguran ke atas tubuh kami, terbawa oleh angin yang tenang. Untuk beberapa saat, yang ingin kulakukan hanya berbaring, membiarkan daun-daun kering itu menutupi tubuh kami, menutup mata untuk sekejap sambil membayangkan bahwa semua kejadian tak menyenangkan ini tak pernah terjadi.
.
Mataku terbuka, tapi semuanya terlihat kuning. Tunggu,... kuning? Aku pun langsung duduk dan seketika itu juga daun-daun kering itu berjatuhan dari wajah dan tubuhku. Aku pikir aku tertidur lama sekali sehingga daun-daun kering itu sudah menimbun wajahku. Yaah, tentu itu hanya pemikiranku saja karena saat aku melihat ke kanan, Ex sedang sibuk mengumpulkan daun kering itu dan aku yakin semua daun itu ia gunakan untuk menutupi wajahku."Mam sudah bangun?" tanyanya.
"Belum, aku masih tidur" jawabku sambil berbaring lagi.
"Oh,... cepat bangun ya, Mam" katanya sambil menutupi wajahku dengan daun kering itu satu-persatu.
Aku pun duduk lagi lagi, menjatuhkan daun-daun kering yang Ex telah susun sedemikian rupa. Aku harap daun-daun kering itu tak membuat kulitku gatal-gatal.
"Loh, Mam sudah bangun lagi?" tanyanya menyebalkan disusul oleh tatapan malasku padanya.
"Kita lanjut berjalan lagi, Ex. Aku harap kali ini kita dapat tempat tidur dan air karena aku ingin mandi" kataku sambil mulai berdiri disusul oleh Ex yang ikut berdiri.
"Oke, Mam" jawabnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/160996321-288-k26612.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Death : Re-50.years
Adventure(LANJUTNYA DI S2) Terkadang, penasaran itu bisa membunuhmu. Maksudku, benar-benar membunuh. Sialnya, rasa penasaranku justru menyebabkan kekacauan di seluruh dunia. Makhluk-makhluk sialan itu- ah. Aku bersumpah aku akan menyelesaikan kekacauan ini...