AKU menutup resleting kedua tas travelku dan menaruhnya di lantai. Napasku memburu, khawatir Ayah pulang sebelum aku pergi. Tapi rasanya tidak. Ayah selalu pulang menjelang tengah malam – hari apa pun itu. Jadi seharusnya, aku aman-aman saja.
Sekali lagi, kupandangi kamar tidur yang telah kupakai selama 25 tahun ini. Kamar seluas enam belas meter persegi - cukup luas untuk dipakai sendiri. Namun, ada dua tempat tidur di dalamnya, terpisah oleh meja belajar, masing-masing di sisi kiri dan kanan.
Kuhela napas, memandang satu tempat tidur yang tak pernah kupakai. Ada rasa sedih menggelayut di hati. Rasanya, aku meninggalkan dia di sini, terkurung bersama kenangan manis - bila ada - dan buruk kami bersama.
Karla Karenisa. Cantik, pintar, berkulit putih, ceria. Sangat bertolak belakang dengan deskripsi diriku. Kebanggaan Ayah dan Ibu, kesayangan para guru, dan cewek rebutan para siswa laki-laki dari adik kelas sampai kakak kelas semasa sekolah. Namun, kecelakaan merenggut nyawanya. Karla pergi seketika pada malam ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Sweet seventeen party menjadi tragedi bagi keluarga kami.
"Naya pergi, Kak. Tapi Naya akan selalu ingat Kakak." Aku berbisik lirih. Walau tak seorangpun yang bisa mendengarkan suaraku saat ini, tetap saja aku bicara sepelan mungkin.
Kupandang tempat tidur yang sudah rapi itu. Sepreinya merah muda, warna kesukaan pemiliknya. Bantal dan guling kususun di tengah dan ada banyak boneka dan benda-benda lain yang masih dibungkus plastik, kususun di sana. Sebenarnya, tempat tidur itu selalu rapi. Walau ia sudah meninggal sebelas tahun yang lalu, aku tetap merawat barang-barang peninggalannya – hadiah ulang tahun ke 17 yang tak sempat dibuka - dan mengganti sepreinya setiap kali aku mengganti seprei tempat tidurku sendiri.
Sebelum air mata turun lebih deras, segera aku mengangkat kedua tas pakaian ke luar kamar dan meletakkannya di ruang tamu. Barangku memang tidak banyak. Aku betah dengan pakaian yang itu-itu saja selama mungkin. Pertama, aku tak pernah tambah gemuk, jadi tak perlu membeli pakaian baru. Kedua, karena aku sudah lama berencana menyewa apartemen sendiri. Gaji sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan real estate memang lumayan besar, tapi tetap saja aku harus hidup hemat.
Sekali lagi, aku memandang ke seluruh sudut rumah. Keputusanku sudah bulat: mulai malam ini aku akan tinggal di apartemenku sendiri. Sudah bertahun-tahun aku menyimpan sakit dan pilu di hati sejak Kak Karla meninggal – tapi yang paling utama: sejak ibuku juga meninggal setahun setelahnya.
Bagaimana tidak sakit hati?
Sepeninggal Kakak, aku telah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik versi diriku. Memang aku tidak pintar, tapi juga bukan juara terakhir di sekolah. Aku berusaha membuat ayah ibuku bangga, atau paling tidak, membuat mereka sadar bahwa masih ada aku, si anak bungsu, yang mendadak menjadi anak satu-satunya.
Tapi sepertinya usahaku sia-sia. Ibu tidak pernah pulih dari kesedihannya, sampai ia jatuh sakit karena tidak mau makan. Setiap malam, ia bergumam ingin bertemu Karla. Rasanya aku ingin menarik tangan Ibu dan menaruhnya di dada: INI AKU! AKU HIDUP! JANTUNGKU MASIH BERDETAK!
Sia-sia.
Ibu meninggal tahun berikutnya. Meninggal karena sedih, kata para tetangga dan kerabat. Kami menguburkannya di liang yang sama dengan Kak Karla.
Lalu, apakah ayahku kemudian sadar bahwa aku masih ada?
Ya, kalau kebetulan aku belum tidur saat dia terhuyung pulang dalam pelukan perempuan bayaran. Dia akan melemparku dengan kunci mobil, menyuruhku masuk ke kamar, supaya dia dan perempuan itu bisa – ah, kalian tahulah.
Dan itu terjadi selama delapan tahun terakhir. Entah sudah berapa perempuan yang dibawa Ayah pulang, aku tak pernah menghitungnya lagi.
Suara klakson terdengar di depan pagar rumah. Aku terkejut, karena tidak mengira secepat itu Elvira tiba. Kulirik sekilas jam di ambang pintu kamar ayahku. Pukul tujuh lima belas. Aku memang meminta Vira datang sebelum pukul setengah delapan.
"Nayaaaa!" Suara nyaring Vira terdengar dari luar pagar rumah yang tidak tinggi. Segera aku mengambil tas selempang, memasukkan sepatu ke dalam kantung plastik, dan mengangkat kedua tas dengan satu tangan. Dengan tangan yang lain, aku membuka pintu depan.
Vira berkacak pinggang, menatapku dengan alis terangkat tinggi.
"Segitu doang barang lo?"
Aku mengangguk, tersenyum tipis.
"Buset dah! Kalo gue yang pindah, gue rasa perlu pake mobil box!"
Tanpa menyahut, aku mengunci pintu depan. Di depan pagar, kutatap rumah berlantai dua itu sekali lagi. Rumah yang cukup besar, namun sepi karena hanya dihuni oleh dua orang yang tidak saling bicara.
"Udah, nanti lo nangis, lagi. Ayo buruan." Vira mengoceh lagi.
Dia benar. Semakin cepat aku pergi, mungkin kegalauanku hilang. Ada rasa tidak enak, memang, meninggalkan rumah tanpa pamit. Tapi aku tidak yakin Ayah akan mengizinkanku hidup sendiri, walau dia tidak peduli-peduli amat padaku.
Vira membuka bagasi sementara aku mengunci pagar. Tanpa memandang rumah lagi, aku membuka pintu mobil dan duduk di sebelah sahabatku.
Sepuluh menit kemudian mobil Honda City hitamnya melaju di Jalan Pramuka, membawaku pergi dari semua kenangan pahit, sedih, dan buruk selama sebelas tahun terakhir.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Between Us [Completed]
RomanceDitulis oleh evenatka untuk event BerKARya bersaMA Kamaksara, 1 Oktober - 30 November 2019. Terima kasih KamAksara buat event yang luar biasa. Ini novel keempat yang selesai tahun ini - horee! Doakan novel ini naik cetak yah.