Bab 19 - Di Ambang Batas | 1

6.1K 490 1
                                    

DERING ponsel mengagetkanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DERING ponsel mengagetkanku. Suaranya sangat mengganggu. Seketika mataku terbuka, dan untuk beberapa saat berusaha mengingat kenapa kepalaku pusing.

Ah, iya. Semalam aku tidur dalam keadaan marah. Kalimat terakhir Ayah itu yang membuatku marah, sampai-sampai airmataku keluar dan aku membisu selama perjalanan pulang dengan Kak Arka.

Gara-gara ucapan semoga bahagia.

Hampir saja mataku terpejam lagi ketika ponsel kembali berbunyi. Astaga, hari apa sih sekarang? Apa aku harus kerja? Seingatku ini hari ...

Jumat!

Sial! Aku terlambat!

Kutendang bantal dan segera duduk di tepi tempat tidur. Gerakan tiba-tiba itu membuatku makin pusing, jadi aku mengambil waktu beberapa saat untuk duduk supaya jantungku menyesuaikan iramanya.

Ponsel masih bordering, Aku mengernyit. Itu bukan dering alarm, tapi panggilan telepon. Arielkah? Aku sampai lupa kalau kemarin malam dia juga nggak menelpon.

Tapi nama di layar bukan Ariel, melainkan Kak Arka. Ada apa pagi-pagi dia menelpon? Apa Azura ---

Gemetar tanganku menekan tombol jawab. Suaraku serak karena baru bangun tidur, ditambah kecemasan di luar kendali.

"Naya? Ariel ada hubungi kamu nggak?" tanyanya cepat. Dia kedengaran cemas banget.

"Belum. Kenapa Kak?" Aku ketularan cemas. Ada apa dengan Ariel?

"Jepang gempa, Naya!"

Kak Arka berusaha menekan suaranya supaya nggak berteriak, tapi kalimat itu tetap seperti bom di pagi hari.

Rasanya jantungku berhenti berdetak. Ariel di lokasi gempa? Lord! Please jangan bercanda!

"K-kapan gempanya?" Suaraku nyaris seperti orang tercekik. Tenggorokanku kering sekali.

"Kemarin. Bodohnya, kita nggak ada yang nonton berita. Damn!" Kak Arka meninju sesuatu di ujung sana. Aku berusaha mencerna kalimat barusan.

Sekarang aku tahu kenapa Ariel nggak menjawab panggilanku semalam. Kenapa aku nggak punya insting untuk mencari berita tentang Jepang? Kok goblok sekali aku ini! LEMOT BANGET!

Airmataku turun begitu deras. Aku nggak sanggup menahannya. Baru saja merasa lega karena sudah bisa memberi kepastian hubungan kami, malah berita ini yang kudapat!

God, jangan bercanda!

God, tolong selamatkan Ariel!

God, aku harus gimana?

Jantungku seperti berkejar-kejaran di dalam dada. Otakku berhenti berputar, nggak bisa memikirkan apa-apa.

"Kamu mau ke kantor? Biar aku antar. Jangan pergi sendiri."

Sumpah, hari ini aku nggak akan bisa kerja. Tapi masa aku di sini saja? Aku butuh diskusi dan dengar kabar!

"Jemput aku, Kak!" Aku berseru, putus asa. Kakiku lemas sekali.

"Tunggu, ya."

Selama menunggu, aku berkeliaran di apartemen seperti orang gila. Semua barang yang sekiranya perlu kubawa seandainya bisa terbang ke Jepang hari ini juga, aku bawa. Iya, aku punya pikiran seperti itu. Terbang saja ke Jepang! Aku ingin cepat tahu gimana kabar Ariel, berapapun harga yang harus aku bayar.

Kak Arka muncul hampir satu jam kemudian. Mukanya kusut dan tegang.

"Sudah siap? Kita ke kantormu."

"Tapi aku nggak bisa kerja..."

"Bukan kerja, Naya. Aku udah minta ruang khusus di sana. Kita bebas diskusi dan telepon ke sana kemari, cari kabar tentang Ariel. Nggak mungkin di rumah sakit. Azura nggak boleh tahu."

Benar juga. Kak Arka begitu sistematis. Aku mengunci apartemen dan mengikutinya ke mobil. Langkah kami begitu terburu-buru, bibir kami membisu. Hanya satu nama yang ada di pikiran kami saat ini: Ariel.

Ketika aku tiba di lantai 6, lantai khusus untuk rapat direksi, Elvira sudah menunggu dengan wajah penuh simpati. Sementara Kak Arka segera menuju ruang rapat II yang tidak terlalu besar, gadis itu memelukku erat. Aku membeku dalam pelukannya. Ada apa ini? Apa ada kabar buruk?

"Ra, nggak ada berita duka, kan?" tanyaku dengan suara gemetar. Kepalanya menggeleng. "Belum ada kabar duka, kan?" ulangku memastikan. Sekali lagi kepalanya menggeleng. Dadaku lega, seperti ada ikatan yang terlepas darinya.

Elvira meregangkan pelukan, namun tangannya tetap di pundakku.

"Gue cuma dengar dari Pak Arka kalau Pak Ariel masih di Jepang pas gempa semalam, Nay. Gue langsung ingat lo. Gue pikir lo lebih tahu."

Aku menggeleng. Elvira menuntunku ke ruang rapat II. Ternyata di dalamnya sudah bukan berupa ruang rapat lagi, tapi ruang tunggu eksekutif. Seperangkat sofa baru – aku belum pernah melihat sofa ini sebelumnya – sudah tertata di sana. Om Abhiyasa duduk di salah satu sofa, di sebelah Kak Arka. Berdua mereka sibuk menelpon entah siapa saja, dan sebuah televisi menayangkan berita utama Tokyo.

Aku duduk di salah satu sofa, dekat dengan televisi. Elvira menarik kursi dan duduk di sebelah. Mata kami fokus pada layar 32 inch itu.

Gempa Tokyo, Kamis siang pukul 13. 47, 6.2 Skala Richter.

Jantungku rasanya mencelus melihat tayangan di saluran NHK. Gedung-gedung tinggi bergoyang, rumah-rumah penduduk atapnya rubuh, jalan aspal retak. Kekacauan lalu lintas dan ribuan orang berkumpul di jalan. Wajah-wajah ketakutan, anak-anak menangis, orang-orang berdoa – semua membuat ketakutanku makin dalam.

"Kedubes Jepang belum bisa dihubungi, Yah." Kak Arka menaruh ponselnya di atas meja.

Aku dan Elvira reflek menoleh. Belum ada kabar apapun dari Ariel. Duniaku berhenti berputar.

"Kamu nggak punya teman di Jepang?"

Om Abhi menatap putranya dengan raut putus asa. Hatiku trenyuh. Gimana rasanya nggak tahu kabar keselamatan anak? Lihat wajahnya, dibanding tadi malam, dia makin kelihatan tua!

Gimana perasaan ayahmu, Naya? Dia juga nggak pernah tahu kabarmu.

Otakku mulai bekerja. Perasaan iba pada Om Abhiyasa membuatku teringat pada Ayah. Tadi malam dia meminta nomor telepon kantor, dan aku nggak kasih. Kalau aku kenapa-kenapa, ke mana dia menelpon? Nomor ponselku pun mungkin saja nggak bisa dihubungi. Seperti nomor Ariel.

"Coba lagi telpon Ariel, Nay," usul Elvira tiba-tiba.

Kukeluarkan ponsel dan kukirimkan pesan whatsapp. Tidak terkirim. Kutekan nomornya untuk menelpon, nada panggil sibuk. Kuturunkan ponsel, kepalaku menggeleng lemah.

"Nggak bisa dihubungi sama sekali, Ra." bisikku dengan air mata mengambang di pelupuk.

Elvira menarikku ke pundaknya, dan dalam dekapan sahabatku, aku menangis. 

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang