Bab 8 - Unexpected Visit | 1

8.5K 716 3
                                    

WALAUPUN aku dan Ariel sudah resmi pacaran, aku nggak terlalu menunjukkannya di kantor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

WALAUPUN aku dan Ariel sudah resmi pacaran, aku nggak terlalu menunjukkannya di kantor. Kami makan siang masing-masing, atau sekalian serombongan. Pokoknya tidak pernah berdua saja. Tapi Ariel sering memberi pesan supaya kami pulang bareng, kecuali dia ada urusan lain.

Hari ini adalah salah satu hari pulang bareng kami. Dia sedang menungguku di dalam mobil ketika aku sampai di basement.

"Tinggal dua hari lagi aku berkantor di sini. Senin nanti di Sudirman. Aku pasti kangen kamu, nih." Dia mengelus kepalaku.

Aku hanya tersenyum kecil.

"O iya, gimana reaksi Om Abhi waktu tahu Azura udah nggak di rumah Tante?" tanyaku setelah mobil Ariel keluar dari gedung kantor.

"Ayah nggak tahu kalau Azura di rumah Tante Bea."

Mulutku membentuk huruf O. Aku baru paham bahwa sudah lama betul Azura disembunyikan dari ayahnya.

"Apa Om nggak nyari?"

"Nyari, dong. Tapi seperti yang aku bilang, Ayah nggak punya petunjuk tentang ke mana Azura pergi. Teman-temannya nggak tahu. Cowoknya itu juga nggak tahu. Tante Bea pura-pura nggak bisa dihubungi. Aku belagak nggak tahu juga." Dia terkekeh.

Aku membuang pandangan ke jalan. Tiba-tiba aku teringat ayahku. Apa dia pernah mencari sejak aku pindah? Sama seperti Om Abhi, ayahku juga nggak punya petunjuk ke mana aku pergi. Dia pun nggak pernah tahu di mana kantorku. Yang dia tahu, aku pergi tiap pagi dan sudah di rumah saat dia kembali. Dia nggak pernah bertanya apapun.

"Tapi ayahmu masih mencari Azura, kan." Kalimatku berupa pernyataan, bukan pertanyaan.

"Iya. Tapi sekarang sepertinya dia pasrah. Sudah hampir tiga bulan sejak Azura kubawa ke rumah Tante. Kondisi Azura cukup bikin aku sedih. Dia menangis sampai airmatanya habis. Jarang mandi, padahal di kamarnya ada kamar mandi. Dikurung begitu kan bisa bikin gila!"

"Kenapa Om tega sama Azura?" tanyaku heran. Sungguh, aku nggak habis pikir ada orangtua mau mengurung anaknya, padahal putri semata wayang. Kukira ayahku adalah yang terburuk. Ternyata masih ada lagi yang lebih buruk. Sejelek-jeleknya perlakuan Ayah padaku, dia nggak pernah mengunciku dari luar. Dia 'hanya' menyuruhku tetap di dalam kamar saat seorang perempuan melayaninya di ruang keluarga kami.

Kukira aku akan segera mendapat jawaban, tapi ternyata Ariel perlu menarik napas dalam-dalam lebih dulu. Ini membuatku yakin bahwa keluarga Abhiyasa tidak sebaik yang kelihatan dari luar. Pasti ada sesuatu dalam keluarga ini, yang membuat Ariel agak berat membuka mulut sekarang.

"Azura itu adikku satu ibu lain ayah." Ariel tetap menatap ke depan saat mengatakan kalimat yang membuatku terkejut setengah mati. Aku memang mengharapkan kejutan, tapi jelas bukan seperti ini.

Ibu Ariel ... selingkuh? Sudah sekaya itu masih juga selingkuh?

"Oh ..." Aku kikuk sekali, nggak tahu harus merespon bagaimana. Tapi sekarang rasanya aku bisa mengerti kenapa Ariel nggak pernah cerita tentang adik perempuan.

"Aku masih tujuh tahun waktu itu. Aku tahu ada yang salah dengan ayah ibuku. Mereka nggak pernah lagi duduk sama-sama waktu malam hari. Orang sesibuk Ayah memang nggak bisa diharap bisa makan malam sama anak-anaknya jam tujuh malam, tapi dia selalu sudah di rumah pukul sepuluh. Aku ingat, karena aku hanya mau tidur kalau Ayah sudah pulang."

Kepalaku mengangguk pelan-pelan. Kintamani House sudah dekat. Ariel menghela napas, seperti ragu ingin belok ke apartemen, atau lurus saja supaya dia bisa melanjutkan cerita.

"Kamu nggak harus cerita, Riel." Aku menatapnya. "Itu rahasia keluarga, soalnya."

"Aku nggak keberatan kamu tahu, Naya. Kan kamu bakal jadi bagian keluargaku."

Bagian dari keluarga Abhiyasa.

Ariel serius banget ingin menikahiku. Sedangkan aku belum tahu apa benar-benar siap menjadi adik ipar Kak Arka. Aku merasa buruk sekali. Kenapa aku belum bisa mencintai Ariel sebesar cintanya untukku sih ? Kurang apa coba, laki-laki ini? Sonya dan Elvira baru dua orang yang aku tahu pasti meliriknya. Belum lagi divisi lain. Dan pilihan Ariel tetap jatuh padaku, si itik buruk rupa yang pendiam, tidak menarik, tidak berbakat. Begitulah dulu cap yang diberikan ayah ibuku padaku. Such great parents, right?

Ariel memutuskan untuk mengecek Azura. Aku menemaninya karena dipaksa.

"Kamu harus akrab dengan dia. Kalau ada apa-apa, dia nggak boleh sungkan minta tolong. Taruhannya nyawa ibu dan bayi," ujarnya serius.

Aku mau ketawa tapi nggak tega. Ariel cemas seperti seorang suami saja. Tapi wajar sih. Azura nggak punya siapa-siapa selain kedua kakaknya dan Tante Bea. Dan aku, sekarang. Rasa penasaranku timbul. Seganteng apa sih cowoknya Azura, sampai-sampai gadis itu nekad berbuat bodoh?

Sama seperti aku bodohnya. Bedanya, aku nggak sadar melakukan itu gara-gara alkohol. Hampir saja ingatan tentang Kak Arka dan aku kembali ketika pintu elevator terbuka dan Ariel menarikku ke luar.

Tanpa sadar aku mengembus napas lega. Ariel menoleh, heran.

"Capek?" tanyanya, salah memahami helaan napasku.

Cepat aku menggeleng. Dia menarik pundakku dan memeluknya erat. Wangi parfum dari kemejanya hanya tinggal lapisan terakhir, tapi tetap saja enak. Parfum asli memang begini. Sampai malam pun masih tercium lembut wanginya.

Ariel menempelkan kartu magnetik ke pintu apartemen Azura.

"Tuh, Kak Ariel datang." Terdengar Azura berseru dari arah kamar tidur ketika pintu apartemen terbuka.

Ariel menoleh padaku dengan kening berkerut heran.

"Ada yang datang rupanya." Dia berbisik lalu mendahuluiku ke dalam. Mendadak aku cemas. Jangan-jangan ...?

"Arka? Lo kapan balik?" Ariel berseru kaget dari kamar Azura.

Aku terpaku di ruang tamu.

Ya Lord! Arka di sini!

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang