Bab 18 - Wishes | 1

6K 559 0
                                    

SETIAP pulang kantor aku mampir di rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SETIAP pulang kantor aku mampir di rumah sakit. Sebelum Maghrib biasanya aku sudah tiba di kamar Azura, yang sudah pindah ke ruang VIP. Dan biasanya juga, Kak Arka belum datang. Selepas makan siang dia selalu pulang untuk merawat ayahnya. Dia menugaskan salah satu asisten rumah tangga mereka untuk menjaga Azura selama kami tidak bisa menemani Azura. Bisa saja sih aku nggak datang, tapi aku senang-senang saja melakukannya. Apartemenku nggak jauh, cuma butuh setengah jam untuk pulang. Kalau pakai ojek bisa lebih cepat.

Alasan aku datang yang sebenarnya karena ingin tahu tindakan medis apa saja yang Azura terima dan bagaimana kondisi bayinya. Aku ingin tahu apa dia bisa melahirkan per vaginam atau cesar. Baik aku dan Kak Arka sama-sama irit bicara, tapi kalau kepada dokter kandungannya Azura, aku lebih banyak tanya. Yah, mungkin karena aku perempuan dan suatu saat nanti akan hamil juga.

Membayangkan diriku mengandung anak Ariel membuatku tersenyum dan berdebar karena semangat. Sekarang, ide untuk menikah dengan Ariel bukan lagi hal yang mengerikan atau terlalu muluk untuk terjadi. Ide untuk hamil juga sama. Aku malah sudah bisa membayangkan kelak kami dikelilingi anak-anak yang lucu.

Pokoknya, sejak aku dan Kak Arka menyelesaikan urusan hati kami, aku lebih tenang dan damai. Perasaanku pada Kak Arka nggak dimulai dengan niat yang tulus, dan aku terjebak sering bertemu dengannya, sehingga mungkin aku mengalami 'cinta lokasi', perasaan suka yang tumbuh karena sering bertemu. Sedang dengan Ariel, aku duluan menyukainya. Sebelum dia menyapaku di ruang loker itu pun aku sudah suka dia. First love never dies, kata Azura.

Ah, jadi kangen Ariel. Kayaknya kalau dia pulang nanti, aku mau melamar dia menikah, bukan sebaliknya. Tapi masih tiga hari lagi Ariel pulang. Kepingin rasanya menyiapkan sesuatu yang menunjukkan kalau sekarang aku siap menikah, tapi apa? Masa sih aku yang membeli cincin pertunangan?

"Ih, kenapa Kak Naya senyum-senyum sendiri?" tegur Azura tiba-tiba

Aku tersentak dari lamunan. Astaga, sudah berapa lama pikiranku bertualang sampai nggak sadar Azura sudah bangun? Sudah berapa lama dia memperhatikanku diam-diam? Usil juga dia.

Cepat aku duduk di tempat tidur dan membetulkan selimut kain yang membungkus kakinya. Bibir Azura yang pucat tersenyum.

"Ngebayangin aku punya anak. Kayaknya lucu, ya," sahutku.

"Punya anak dari siapa dulu?" Azura menelengkan kepala, ekspresinya penuh curiga. Lucu amat mukanya. Sudah bisa bercanda, jadi aku rasa dia baik-baik aja.

"Sama Kak Ariel, dong!"

"Asyik! Zura suka Kakak milih Kak Ariel. Dia itu keras dan galak. Cuma Kak Naya aja yang bisa bikin dia jadi lembut sedikit."

"Masa sih?"

Azura mengangguk sambil mengangkat bokongnya supaya bisa duduk lebih tegak. Kubantu dia menegakkan separuh bagian tempat tidur. Setelah posisinya nyaman, dia menatapku serius.

"Kak, kalau Zura kenapa-napa ---"

"Ssh! Ngomong apaan sih?" Aku memotong kalimatnya. Paling nggak suka pokoknya, kalau ada yang ngomong seperti itu. Kayak mendahului Tuhan saja.

"Serius ih, Kak. Zura cuma pengin mastiin aja Kakak tahu apa yang Zura mau."

"Memangnya Zura mau apa?" tanyaku, masih dengan nada malas membahas.

"Zura lebih suka kalau anak Zura dibesarin sama Kak Ariel, bukan Kak Arka."

Aku tertegun. Ini menarik. Kenapa Ariel dan bukan Kak Arka? Kak Arka kan lebih tua! Lebih dewasa juga. Caranya menolongku mengenali penyebab aku selama ini mendua hati beberapa malam lalu juga sangat dewasa, menurutku. Tapi Azura lebih memercayai Ariel.

"Alasannya?"

Gadis itu tersenyum lagi. "Pokoknya ya Kak ... Zura pengin anak Zura punya contoh yang tegas. Galaknya tuh karena sayang, bukan benci. Yang nggak ngikutin aja apa maunya anak padahal yang diminta belum tentu bagus."

Aneh rasanya mendengarkan kalimat-kalimat itu dari bibir seorang anak yang belum lagi genap sembilan belas. Mungkin hamil di luar nikah dan menjalani tanpa ayah si bayi membuat Azura lebih dewasa.Tapi tetap saja aku nggak suka topik kayak begini. Seperti sudah sekarat saja.

"Oh, gitu." Begitu saja tanggapanku.

"Iya, Dan Kak Naya juga harus siap jadi ibu bayi Zura." ucapnya sambil menatapku serius. Mendadak aku merasa tegang sekaligus takut.

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang