Bab 10 - One Last Thing | 3

7K 605 2
                                    

Sudah lama sekali aku tidak duduk di dekat Ayah. Terakhir kali adalah ketika Ibu meninggal. Demi kesopanan dan kepantasan, waktu itu aku selalu ada di sisinya sampai kami kembali dari pemakaman. Sejak itu, komunikasi secara tidak resmi putus.

Jangan dikira aku nggak pernah ingin tahu kenapa diperlakukan begitu beda sama Kak Karla. Aku pernah tanya kok. Dan mereka, ayah dan ibu, malah melengos.

Jadi sekarang waktu Ayah bilang ingin cerita sesuatu, aku yakin ini jawaban yang kutunggu. Karena selama ini, cuma itu pertanyaan besarku.

Ayah duduk di sofa yang lebih panjang, kakinya diangkat ke lutut. Tangannya memanjang di punggung sofa.

"Ayah tahu kamu pasti banyak pertanyaan selama ini, Naya." Ayah membuka percakapan dengan nada serius. Suaranya dalam dan berat. Dia menatapku takut-takut. Sekali lagi, ini ekspresi baru setelah tatapan iba tadi.

"Cuma satu aja, Ayah."

"Kenapa kamu kayak dianak-tirikan, ya kan?"

Aku mengangguk.

Ayah diam beberapa menit. Bagiku itu sangat lama karena sebetulnya sudah ingin pulang. Rumah ini tidak menyenangkan buatku.

"Itu karena kamu bukan anak Ibu. Kamu ... " Ia berdeham beberapa kali, lalu melanjutkan. "Anak haram Ayah."

Entah kenapa, aku nggak begitu kaget. Mungkin karena sebetulnya alam bawah sadarku sudah menduga ini sejak lama. Soalnya, apalagi alasan seorang ibu yang nggak sayang anaknya? Pasti karena anak itu bukan anak kandungnya!

Juga, sepertinya aku sudah siap dengan kemungkinan ini karena cerita Ariel tentang Azura. Perbedaan kami, Azura nggak terlalu dibenci oleh ibu Ariel.

"Naya?"

Aku tersentak. Kutatap Ayah yang sedang memandangku heran dan cemas.

"Ya. Naya udah duga."

Kami saling berpandangan, seperti dua lawan yang sedang menghitung gerakan lawan. Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana. Hatiku dingin. Mati rasa. Aku nggak lagi bisa merasakan sedih atau kecewa. Mungkin itu karena seumur hidup aku kenyang merasakannya.

"Jadi ibu Naya, siapa?" Like hell! Kenapa aku pengin tahu? Memangnya mau cari?

Ayah menunduk, menatap karpet di bawah meja.

"Riani, arsitek Ayah yang pertama." Suaranya begitu pelan, seperti sedang melamun.

Waktu masih SD, aku pernah ke kantor Ayah beberapa kali. Jadi kucoba mengingat perempuan bernama Riani ini, tapi sia-sia. Setahuku staf arsitek Ayah laki-laki semua.

"Dia nggak mau punya anak. Dia lupa minum pilnya."

Nggak pernah kusangka akan melakukan pembicaraan seperti ini dengan ayahku. Bertanya soal PR saja dicuekin.

"Di mana Riani sekarang?"

Ayah menggeleng. "Habis kamu lahir, dia langsung mau kasih ke orang untuk diadopsi. Ayah nggak setuju. Ayah mengambilmu." Dia berkata dengan nada lebih bangga.

Cih. Seolah itu sudah cukup baik saja. Hei, itu masih kurang! Ayah mengambilku tapi nggak sayang aku!

"Tapi Ibu nggak setuju. Jadi kami bikin perjanjian. Kalau kami punya dua anak darinya, kamu akan kami serahin ke lembaga adopsi. Nyatanya Ibu nggak bisa punya anak lagi, jadi dia setuju kamu tinggal di sini."

Tapi dia hanya menerimaku secara fisik. Hatinya nggak pernah bisa kumiliki. Perhatiannya nggak pernah bisa kudapat. Aku seperti hantu di rumah ini. Ada, tapi nggak terlihat oleh siapapun.

Mungkin itu sebabnya aku jadi sangat pendiam, walau kepalaku sering penuh dengan percakapan.

"Ayah sakit." katanya tiba-tiba setelah hening yang cukup lama. Aku mengangkat muka dan menyelidiki wajahnya. Mataku bertanya, 'sakit apa?'

"Ada penyumbatan pembuluh jantung. Sekarang Ayah jadi harus jaga makan dan nggak boleh banyak kegiatan."

Dia menatapku lagi. Lama. Matanya berkaca-kaca.

"Naya, Ayah bukan orangtua yang baik. Contoh yang buruk. Sepantasnya kamu benci Ayah."

Jangan khawatir, Ayah. Aku sudah melakukannya selama ini.

"Tapi Ayah mohon satu hal."

Apa? Mau minta apa dariku? Sekali lagi hanya mataku yang bertanya.

"Menikahlah. Sebelum Ayah meninggal."

Hah?

"Ayah sudah punya calon kalau kamu belum punya pacar, Naya. Dia baik, kaya, ganteng. Dia pengusaha yang bantu perusahaan Ayah waktu mau bangkrut dulu. Dia sudah nggak sabar ingin ketemu kamu."

Dadaku turun naik dengan cepat. Napasku memburu. Apa Ayah nggak punya hati juga sepertiku? Baru saja dia minta maaf karena sudah jadi ayah yang buruk --- sekarang dia bilang sudah punya calon suami untukku? Bahkan sudah menjanjikan aku pasti mau nikah sama calonnya itu?

Tanpa aba-aba, aku berdiri dengan cepat dan berlari ke pintu. Teriakan Ayah nggak bisa menghentikan langkahku. Ayah pasti nggak bisa lari. Juga dia kan sakit jantung. Ketika pagar sudah kukunci lagi dari luar, dia sudah berdiri di ambang pintu. Jarak kami sekitar empat meter.

Aku menatapnya dengan rasa sakit hati yang luar biasa. Aku baru saja sadar bahwa baginya, aku ini hanya barang. Nggak usah diajak bicara, cukup ada saja di rumah. Kalau sudah nggak dibutuhkan, aku bisa dijual pada orang lain.

"Naya," panggilnya lirih.

"Jangan cari Naya lagi."

Lalu aku berlari menyusuri jalan tanpa peduli beberapa pejalan kaki menoleh heran padaku. Bungkusan hadiah tadi ketinggalan, tapi biar saja. Aku nggak akan ke sana lagi.

Nggak akan, biarpun Ayah mau mati.



Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang