Bab 12 - Greatly Missed | 3

6.9K 552 6
                                    

Kupukul tangannya di bawah selimut. Ariel tertawa lagi. Sinar matanya jahil, tapi juga penuh sayang. Seketika aku tahu bahwa Ariel nggak akan menyakitiku. Dia nggak akan memaksaku berbuat sesuatu yang membuatku takut.

Dia mencintaiku seperti itu.

"Tidurlah." katanya tiba-tiba. Dia berbaring dan bergerak-gerak beberapa kali sampai menemukan posisi yang nyaman: menyamping sambil memelukku erat. Matanya terpejam. Beberapa kali dia menarik napas dalam-dalam, seperti sedang menenangkan diri.

Aku bergeming dalam dekapannya. Apa dia marah? Kecewa? Kesal?

Aku tahu dia menginginkanku, gairahnya terlihat di mata. Tapi apa aku juga ingin itu? Apa yang aku inginkan sebenarnya? Kenapa saat berdua dengan Ariel, secuil bagian otakku masih memikirkan Kak Arka?

Universe, please help!

Di dalam kepalaku, si baik dan si jahat melakukan percakapan imajiner.

Itu hanya kesalahan, Naya. Kamu kan lagi mabuk.

Tapi aku sengaja mau didekati sama Kak Arka! Aku sengaja ingin bikin dia jatuh cinta!

Itu karena kamu kurang perhatian, kurang kasih sayang, selalu dinomorduakan, selalu nggak penting dibanding kakakmu.

Tapi, aku juga sepertinya jadi suka sama Kak Arka, tahu!

Sekali lagi, itu karena kamu kurang diperhatikan.

Bukan. Aku melakukannya karena Ariel nggak pernah memujiku sebelumnya. Kami cuma teman - begitu yang diisyaratkan Ariel. Kak Arka orang pertama yang bilang aku cantik!

Tapi gimana kalau Ariel cuma takut kamu menjauh kalau tahu dia menyukaimu? Nggak semua cowok mau langsung memuji gebetannya, apalagi nembak. Lagian, bukannya kamu juga suka pada Ariel? Menunggu-nunggu dia kirim pesan? Menunggu-nunggu dia di sekolah? Menontonnya penuh kagum waktu dia main basket? Ayolah, Naya! Kamu cinta sama Ariel, bukan Arka!

Kupejam mata kuat-kuat, seolah dengan begitu aku bisa menghentikan debat dalam diriku dan membuang semua kerumitan di kepala. Kantuk yang tadi menguasai malah lenyap. Aku sibuk mengulang kata-kata 'si baik' yang terakhir.

Iya, aku suka melihat Ariel diam-diam dari jendela kelasku. Sudah lama aku menyukainya, tapi minder. Dia siswa populer, aku cuma kutu. Tapi dia menjadikanku teman curhat di whatsapp!

Aku suka padanya. Aku mencintainya.

Eh, apa aku barusan ngaku cinta dia?

Apakah cinta bisa tumbuh dengan sering bertemu? Sebaliknya, apa cinta bisa hilang kalau kita nggak sering bertemu? Bisakah suatu hari nanti aku melupakan Kak Arka, perbuatannya, dan sejumput cinta tak tulus yang mungkin pernah kurasakan terhadap dia? Bisakah Ariel menggantikan Kak Arka sepenuhnya?

Dada Ariel terasa turun naik di punggungku. Napasnya tenang. Sepertinya dia sudah tidur. Pelan aku berbalik. Kini posisiku berhadapan dengannya. Ujung kepalaku ada di bawah dagu Ariel, jadi aku harus mendongak untuk melihatnya.

Khawatir gerakanku membuatnya terbangun, kuelus lembut rahang yang tegas itu dengan punggung jari perlahan-lahan sambil menatap kelopak matanya. Ariel tidak bangun, pun tidak bergerak - kecuali dada yang masih turun naik perlahan dan teratur.

Sambil terus mengelus, aku mengulang-ulang satu kalimat dan terus menghipnotis pikiranku dengan itu.

Aku mencintainya.

Aku mencintainya.

Aku mencintai Ariel, bukan Kak Arka.

Aku jatuh cinta pada Ariel sejak kami masih remaja.

Aku menunggunya selama ini - bukan menunggu Kak Arka.

Kak Arka hanya sebuah kesalahan.

Kesalahan besar.

Nggak seharusnya aku main-main dengan hati seseorang.

Kamu tolol, Kanaya. Kamu mempermainkan cowok sebaik Kak Arka. Kamu mencintai Ariel tapi menerima perhatian Kak Arka juga! Kamu sengaja membuatnya jatuh cinta. Kamu sama saja dengan kakak tirimu, suka mempermainkan orang! Kamu egois!

Tanpa bisa kutahan, air mataku jatuh. Tuduhan-tuduhan itu menyakitkan, tapi rasanya benar. Kenapa aku ini? Kak Arka sudah minta maaf. Ariel sudah memaafkan. Kenapa aku sulit memaafkan diri sendiri? Kenapa aku terus menyiksa diri dengan tuduhan itu?

Aku nggak sadar kalau isakku terasa oleh Ariel. Tiba-tiba dia mengelus pipiku, menghapus air mata yang turun menetesi lengan yang kujadikan bantal. Aku mendongak, kaget. Dia tersenyum di atas mataku. Begitu tampan, begitu memesona.

"Kalau kamu masih sulit membiasakan diri sama aku, Naya, nggak apa-apa. Aku nggak akan maksa."

Aku makin sesenggukan. Aku ingin mencintai Ariel sebesar dia mencintaiku. Kenapa harus jadi serumit ini?

"Peluk," bisikku di tengah isak.

"Iya."

Ariel menarikku lebih dekat, membenamkan wajahku ke dada. Tangannya mengelus kepalaku dengan sayang. Sesekali dia mengecup rambutku.

Kuhirup dalam-dalam aroma tubuh bercampur sabun yang menenangkan di bawah hidung. Mata terpejam rapat sementara hatiku merapal doa. Aku ingin jatuh cinta sepenuhnya pada lelaki ini. Aku ingin tulus mencintainya. Aku ingin, walau Kak Arka muncul tiba-tiba, hatiku tidak lagi terganggu dengan kehadirannya. Hatiku bisa mantap mengatakan,

Kak, hubungan kita yang dulu adalah kesalahanku. Aku minta maaf.

Tangan Ariel masih membelai rambutku. Kubuat jarak antara kami, lalu aku mendongak.

Ariel membuka mata lagi, tersenyum kecil. Aku tahu dia sudah mengantuk. Aku juga ngantuk. Mungkin jangan malam ini. Masih banyak malam lain kami bisa bersama, kalau kami sama-sama menginginkannya.

Kukecup bibir Ariel sekilas. Terkejut, ia mengangkat daguku dengan jarinya.

"Itu untuk apa?"

"Kangen. Bertahun-tahun." Kuulas senyum untuk Ariel.

"Astaga, Kanaya!" Dia berseru, menarik mukaku lebih dekat. "Biarpun cuma itu yang kamu rasa, aku udah senang, tahu?"

Ariel mengecup bibirku lebih lama dari kecupanku barusan. Mengulumnya hati-hati seolah takut melukai. Lalu dia mencium keningku.

"Selamat tidur, my future wife."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang