Bab 9 - Kita Perlu Bicara | 3

7.8K 621 13
                                    

"Jadi ... Kakak pulang?" Suaraku lebih mirip bisikan karena simpati yang kurasakan padanya makin dalam.

"Iya, sendirian. Dia dan cowok itu pulang bareng. Menurut teman-temannya yang kutanyai setelah kecelakaan, Karla dan si cowok masuk ke mobil dan berencana meneruskan di kamar hotel. Kamu tahu? Mereka mati dalam keadaan setengah bugil. Nyetir sambil petting, kata orang-orang. Jijik sekali aku mendengarnya."

Aku menutup wajah dengan tangan. Citra Kak Karla rusak! Rusak!

"Kak ..." Entah kenapa tangisku pecah. Rasa kasihan muncul begitu saja untuknya. Untuk sejenak, aku lupa kalau selama ini aku marah karena dia memerawaniku. Untuk kali ini saja, aku ingin berempati.

Kak Arka menatapku, sendu. Dia tersenyum setengah terpaksa.

"Aku udah nggak suka sama dia sejak itu, Naya. Datang ke pemakamannya cuma demi menghormati dia dan menjaga kata-kata orang saja. Teman-teman tahu kami pacaran. Kalau aku nggak muncul, pasti banyak omongan sumbang."

Betul juga. Bisa-bisa dia dituduh membunuh Kak Karla karena cemburu. Ah, pikiran apa ini. Pokoknya memang sudah sewajarnya dia hadir dan berduka.

"Waktu melihatmu di rumah kami, aku nggak ngira kamu adalah Kanaya yang pernah diceritakan Ariel padaku. Kupikir Kanaya yang lain lagi. Dunia terlalu kecil, ya?" Dia tertawa getir. "Tapi jujur saja, aku udah suka waktu lihat kamu berdiri dengan gugup di ruang tamu kami, pakai seragam putih abu-abu."

Astaga, dia masih ingat!

"Dan kamu ingat kan, aku duluan nembak daripada Ariel."

Kepalaku tunduk dalam-dalam, tanganku memainkan ujung blus hitam yang kupakai.

"Kakak bikin aku nggak perawan lagi." Aku berbisik, getir dan kecewa menguasai hati.

Untuk beberapa saat, Kak Arka terdiam. Dia mendongak, menatap langit-langit. Napasnya begitu lambat, seolah sedang menenangkan diri. Lalu akhirnya dia menatapku dengan penuh penyesalan. Jemarinya saling meremas karena gugup.

"Aku minta maaf, Naya, Tapi kupikir kamu sadar waktu itu."

"Sadar?" Aku melotot, marah. Sakit hati dan kecewa yang selama ini kupendam akhirnya keluar juga. "Kakak tahu aku mabuk!"

Sorot mata Kak Arka semakin redup. "Maaf, Naya. Tapi aku benar-benar pikir kamu benar-benar mau melakukannya. Kamu sangat menawan, dan aku menyerah." Dia menggeleng kuat-kuat dua kali. "Kamu tahu apa prinsipku soal pacaran, kan? Karla saja nggak pernah kucium di bibir."

"Jadi kenapa?" Aku terisak. "Kenapa sama aku, Kakak tega?"

Tanpa kusadari, dia sudah duduk lebih dekat. Diturunkannya kedua tanganku, lalu ia mengarahkan wajahku tepat ke arahnya. Dari balik kacamata frameless yang membuatnya terlihat begitu dewasa dan tampan, ia menatapku lekat-lekat.

"Aku benar-benar minta maaf untuk malam itu. Tapi sumpah, sampai sekarang aku berani jamin bahwa aku melakukannya bukan karena nafsu, tapi cinta." Dia tersenyum miris. "You know that I love you, Naya. Dan masih sampai sekarang."

"Jangan."

Aku menutup mata rapat-rapat. Dadaku sesak. Pengakuan seperti ini adalah yang paling kutakutkan. Kurasakan dua bulir air menuruni pipi. Kurasakan punggung jari Kak Arya menghapus air mataku dengan lembut.

"Kamu nggak pernah kasih kesempatan aku menjelaskan."

"Aku takut ..."

"Sama aku?"

Kuanggukkan kepala satu kali. "Aku takut Kakak bikin aku mabuk lagi dan kita main lagi."

"Astaga, Naya!" Dia melongo. "Aku nggak pernah berencana ngambil keperawananmu dalam keadaan mabuk! Aku betulan sayang kamu, Nay. Kamu juga kan?"

Kebungkamanku membuatnya bingung.

"Kamu nggak pernah benar-benar sayang aku?"

Aku membuka mata dan terkejut karena dia sedang menatapku dengan sorot mata kebingungan.

"Jawab jujur," desaknya.

Dengan berat, aku menggeleng satu kali. Rasanya seperti seorang terdakwa.

Ekspresi wajahnya penuh rasa tak percaya. "Jadi kenapa kamu mau aku dekati? Kenapa kamu menerima aku?"

Apa aku harus kasih tahu alasannya? Bahwa awalnya aku cuma ingin menantang diri dengan merebut cintanya dari Karla? Dia pasti lebih kecewa lagi.

"Kakak bakal sakit hati."

Kak Arka menghela napas. "Truth hurts, Naya. But lies are worse."

Isakku pecah. Aku merasa diriku begitu jahat dan kejam. Dengan mata basah, kupandangi lelaki yang kelihatan berusaha tegar ini. Kalimatku berikutnya keluar dalam satu tarikan napas.

"Cuma ingin tahu apa aku bisa menyaingi Kak Karla."

Dia memandangku tanpa emosi, mengangguk lambat-lambat, lalu menghela napas.

"Terima kasih sudah jujur. Aku ngerti."

"Maaf, Kak ---" Kucoba menjelaskan tapi kalimatku hanya sampai di tenggorokan. Otakku meneruskan kalimat itu dalam hati. Maaf Kak, tapi aku juga sudah jatuh cinta padamu jauh sebelum malam itu. Cuma nggak yakin sama perasaanku karena niat awal yang buruk.

"Ssh ... jangan minta maaf." Telunjuknya menempel di bibirku. "Aku ngerti. Kita nggak akan bahas ini lagi."

Matanya, ya Lord! Matanya penuh cinta dan sakit hati.

"Baik-baiklah sama Ariel. He loves you deeply, I know."

Air mataku mengalir makin deras.

"Maaf, Kak ..." 

Sekali lagi aku berbisik penuh sesal. Nggak seharusnya aku menjadikan dia semacam piala bergilir yang harus kurebut. Nggak seharusnya aku main-main dengan hati seseorang.

Setelah dia pergi, aku mengurung diri dalam kamar mandi. Kubuka keran air besar-besar, lalu duduk di lantai tanpa membuka pakaian. Kutekuk kaki sampai ke muka. Air dari pancuran menyiram kepalaku yang penat, menghapus air mata yang tak bisa kubendung.

Kenapa cinta harus serumit ini?

Kenapa aku harus bertemu Ariel dan Kak Arka dan jatuh cinta pada mereka berdua?

Bisakah hatiku memilih, siapa yang sebenarnya kucintai?

*** 

*** 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang