KARENA kesibukannya di kantor pusat, Ariel tidak bisa selalu datang ke apartemen Azura – apalagi apartemenku. Tapi dia tak pernah absen menelpon. Setiap jam makan siang dia menghubungi aku. Setiap dua minggu dia datang ke Kintamani House. Kami lebih sering menghabiskan waktu berdua di depan televisi. Ariel membelikan satu supaya aku punya hiburan saat dia nggak datang.
"Kemarin dokternya Azura bilang, si jabang bayi sudah besar dan sehat." Aku melapor. Dokter kandungan itu datang ke apartemen sesuai perjanjian dengan Azura dan Ariel. Kalau kakaknya tidak ada, Azura selalu memanggilku untuk menemani.
"Oh, ya. Udah delapan bulan ya? Berarti konsulnya dua minggu sekali sekarang."
"Iya. Dua minggu lagi, lalu seminggu sekali sampai bayinya lahir." Aku sudah hafal jadwal Azura. Jatuhnya pada Jumat malam, jadi aku pasti ke apartemennya selesai makan malam – kalau dia memanggil.
Ariel menarik napas lambat-lambat. Kuperhatikan wajahnya. Ada sesuatu di sana yang membuatku penasaran. Kuelus tulang pipi Ariel dengan punggung jari. Aku suka melakukan ini. Sensasinya sampai ke perut. Brewok tipisnya begitu seksi.
"Mikirin apa?" tanyaku karena dia diam terus.
"Kalau bayinya lahir, menurutmu aku harus kasih tahu pada Ayah atau enggak?"
Aku harus jawab gimana? Hubunganku dengan ayah sendiri saja berantakan. Mana mungkin aku memberi nasihat bagus kalau aku sendiri nggak lakukan?
"Menurut kamu sendiri?" Balik bertanya rasanya lebih aman.
"Well, kalau dia tahu dari orang lain mungkin aku jadi salah dua kali. Menyembunyikan Azura aja aku harusnya nggak boleh."
"Daripada Azura dikurung. Kamu bilang kasihan."
Ariel nggak menyahut. Dia malah menarikku lebih dekat.
"Pumpkin, menurutmu, kamu ingin punya anak berapa?"
Aku mendelik mendengar panggilan baruku. Pumpkin. Ada-ada saja. Aku tahu itu gara-gara dulu aku pernah bilang paling suka musim gugur, karena di Indonesia nggak ada musim gugur. Ariel suka musim panas karena dia suka berenang. Itu saja pun bisa jadi obrolan seru di whatsapp ketika kami remaja.
"Entah," jawabku malas. Bicara soal pernikahan saja aku masih kurang nyaman, apalagi anak.
"Satu? Nanti jadi manja, ya." Ariel mengggoyang kaki di atas lutut. Sebelah lengannya terjulur di punggung sofa, dan aku bersandar di sana. "Atau dua? Paling pas memang dua. Kalau tiga, nanti kamu capek ngurusnya."
Ariel membelai rambutku dengan sayang, menatapku dengan sorot matanya yang teduh. Kepak sayap kupu-kupu di dalam perutku mulai terasa. Ini dia. Aku menunggu reaksi ini: sensasi senang ketika seseorang jatuh cinta. Rasa itu, gelenyar aneh yang enak di seluruh tubuh.
Romantisme ala Ariel kadang lucu, tapi nggak pernah gagal membuatku salah tingkah seperti sekarang.
"Aku takut melahirkan, Riel."
"Kamu boleh operasi kalau takut melahirkan normal." Ariel menarikku lebih dekat. Kini kepalaku bersandar di dadanya. Siaran televisi masih menunjukkan program memasak dari Australia.
"Aku bukan takut melahirkannya," ralatku. Ariel menatapku bingung. "Aku takut punya anak."
"Kenapa?"
"Nggak tahu gimana jadi orangtua yang baik. Nggak punya panutan, kamu tahu kan." Kusembunyikan wajahku di dadanya, malu bercampur takut.
"Hei, hei ..." Ariel berusaha membuat jarak di antara tubuh kami. Setelah berhasil, dia menangkup kedua pipiku. "Jangan cemas dulu sama apa yang belum terjadi, Naya. Kita sama-sama belajar. Justru karena udah tahu contoh buruknya, kita jadi tahu apa yang sebaiknya nggak kita lakukan, kan?"
Kayaknya memang mudah. Apa yang tidak kusuka dari sikap Ayah dan Ibu, jangan dilakukan. Tapi tetap saja aku takut. Gimana kalau aku malah jadi ibu yang buruk?
"Azura saja yang belum dua puluh, nekad mau membesarkan anaknya. Tanpa suami."Ariel menyugar rambutku. "Kamu kan punya aku. Aku nggak akan ninggalin kamu, Pumpkin."
Sorot mata Ariel menunjukkan dia begitu percaya diri dan serius. Dia yakin hubungan kami akan bisa sampai ke pelaminan, sedang aku masih bergumul dengan semua perasaan bersalah dan rasa tak pantas jadi istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Between Us [Completed]
RomanceDitulis oleh evenatka untuk event BerKARya bersaMA Kamaksara, 1 Oktober - 30 November 2019. Terima kasih KamAksara buat event yang luar biasa. Ini novel keempat yang selesai tahun ini - horee! Doakan novel ini naik cetak yah.