"Ngomong-ngomong, waktu pertama kali ke sini, aku udah tanya sama kamu apa mau jadi istriku."
Duh, bulu kudukku merinding. Tapi aku tahu nggak seharusnya begini terus. Hubungan kami harus ada majunya, jangan jalan di tempat terus. Lagipula, Ariel sudah tahu aku nggak perawan lagi. Dan dia fine-fine saja. Seharusnya aku bersyukur dan nggak banyak alasan.
"Iya, aku ingat. Malam yang buruk. Maafin aku."
"Ssh ..." Telunjuknya menempel di bibirku. Dia tersenyum maklum. "Jangan diingat-ingat lagi. Sekarang kamu pacarku."
Kata 'pacarku' itu membuatku bergetar, entah kenapa. Mungkin karena terasa bahwa aku ini benar-benar kekasih Ariel. Miliknya. Cintanya.
"Aku masih merasa kotor."
"Jangan." Ditutupnya mulutku dengan tangan. "Jangan pernah lagi bilang kamu kotor, kamu nggak pantas, kamu nggak perawan, dan macam-macam. Aku sayang kamu, Naya, bukan karena kamu perawan. Tapi karena kamu Kanaya Karenina, cewek pendiam yang suka ngintipin aku ganti baju di ruang loker---"
"Aku nggak pernah ngintip!" Protesku terdengar sangat kencang. Ariel terbahak-bahak. Ya Lord, tawanya sangat enak di telingaku. Matanya menyipit saking gelinya dia tertawa.
"Oh, bukan kamu ya. Siapa dong yang suka ngintip waktu itu? Aku tahu soalnya kelihatan dari cermin ada kepala cewek di balik pintu. Cuma kubiarin aja. Toh aku nggak buka celana." Dia tersenyum menggodaku.
Kuhentak tangan dari genggamannya, kesal. Kok bangga sih diintip cewek?
"Duh, kesayanganku yang biasanya tenang ini bisa juga ngambek."
"Bukan marah." Aku memonyongkan bibi, jengkel karena dia menggoda terus.
"Jadi apa dong?"
"Nggak tahu."
"Cemburu?" Ariel menyeringai senang.
Mukaku terasa panas. Pasti pipiku merah karena Ariel tertawa lagi.
"Cemburu untuk kejadian belasan tahun lalu?" tanyanya nggak percaya. Matanya membulat, bergerak-gerak menatap kedua pupilku.
"Bodo amat."
Kali ini Ariel benar-benar membungkuk sambil tertawa. Aku mendelik kesal, kedua tanganku bersidekap. Apa yang lucu? Iya, aku cemburu! Ada cewek yang mengintip Ariel saat ganti baju. Aku merasa ... kecolongan.
Astaga Lord! Kenapa aku jadi begini posesif? Kenapa hal seperti itu membuatku marah, sedang Ariel saja nggak mempermasalahkan tentang kegadisanku?
Ariel juga kecolongan, Naya. Kamu harusnya sadar diri.
Oke, oke. Aku nggak boleh cemburu buta begitu. Kutarik napas dalam-dalam, berusaha melepas perasaan cemburu kuat yang sempat menguasai.
Akhirnya tawa Ariel reda. Dia duduk lagi dengan benar dan menarikku lebih dekat. Tadinya aku mau meneruskan aksi ngambek, tapi senyum Ariel menghipnotisku.
"Aku suka kamu cemburu. Tandanya, kamu cinta sama aku."
Aku diam saja.
"Bilang dong, Pumpkin." Ariel mendekat ke telingaku, berbisik. Getar suaranya membuat bulu kudukku merinding.
"Apa?"
"Bilang kamu cinta aku." Dia menyurukkan kepalanya ke balik leher dan mencium tengkukku. Otomatis tubuhku jadi miring. Setengah bagian tubuh Ariel bisa dibilang berada di atasku.
"Nggak, ih!"
"Nggak mau atau nggak bisa?" Sekali lagi dia berbisik dan aku benar-benar kewalahan. Ariel begitu pandai memancing gairahku.
"Nggak bisa." Aku tertawa, sengaja menggodanya. Rasain. Tadi dia membuatku cemburu, sekarang giliranku membuatnya penasaran.
Ariel berhenti mencium. Ditaruhnya kepalaku di lengan, sehingga aku benar-benar berbaring beralaskan tangan. Matanya bersinar-sinar. Sepertinya dia senang karena aku mengajaknya bercanda.
"Keras kepala," bisiknya. "Bilang kamu cinta aku, Naya."
"Hadiahnya apa?"
Begitu kalimat itu terucap, aku tahu aku salah bicara. Ariel tersenyum penuh kemenangan.
"Bilang dulu."
Lalu dia menarik tanganku dan membawanya ke bibir. Sambil menjilati punggung tangan, pandangannya tidak lepas dari mataku. Tubuh kekar Ariel berada di atas tubuhku. Walau kami masih sama-sama memakai baju, gairah di matanya begitu jelas.
"Katakan, Pumpkin." Dia berbisik, lalu mengecup tanganku lagi. Lidahnya bermain di sana selama beberapa detik, kemudian naik ke pergelangan tangan. Bibirnya terus menjelajahi sepanjang lengan.
Aku merintih. Mataku sudah menutup, nggak sanggup menatap lelaki ini yang sedang mencumbuku dengan lembut. Aku ingin mematuhi permintaannya, tapi gengsi.
"Nggak bisa."
"Bisa, Naya. Aku cinta kamu, Ariel. Bilang begitu."
Bibirku malah terkatup rapat. Aku nggak mau membuatnya senang.
"Nggak mau."
"Aku nggak akan menyakitimu, kok."
Tapi sambil mengatakan itu, Ariel mengangkat kedua tanganku ke atas. Sekarang aku ada dalam kendalinya. Dia merangkak ke atasku dan menciumi lengan atasku. Rasanya geli dan seksi.
"Katakan, Pumpkin," ulangnya untuk kesekian kali sambil menggenggam erat jemariku di atas kepala.
Kami saling menatap. Hasratnya atas aku sangat kuat. Aku juga menginginkan dia. Entahlah soal pernikahan dan anak, tapi aku mencintainya.
"Aku ..." Kuberanikan diri mengucapkan kata-kata yang dia tunggu. Ariel tersenyum saat aku memulai. Dia mengecup bibirku satu kali, lalu menatapku lagi.
"Terusin."
Harus bisa, Naya. Nggak ada salahnya bilang cinta.
"Aku cinta kamu," ucapku cepat seolah itu adalah dosa yang harus kusembunyikan. Tapi anehnya, aku merasa nyaman.
Selama dua detik, Ariel menatapku tak percaya. Astaga. Sebegitu penting ternyata ungkapan ini baginya.
"Akhirnya kamu bisa juga bilang cinta, gadis keras kepala." Dia tersenyum. "Ini hadiahnya."
Lalu dia menindihku sampai aku tak bisa bergerak dan memagut bibirku tanpa ampun.
Ternyata, mengakui cinta itu menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Between Us [Completed]
Roman d'amourDitulis oleh evenatka untuk event BerKARya bersaMA Kamaksara, 1 Oktober - 30 November 2019. Terima kasih KamAksara buat event yang luar biasa. Ini novel keempat yang selesai tahun ini - horee! Doakan novel ini naik cetak yah.