"Nggak apa kamu nunggu?" tanyaku. Elvira mengangguk.
"Santai aja, Naya. Gue punya buku di mobil. Bisa baca-baca sambil tunggu lo."
Kutinggalkan Elvira. Di balik pagar, mobil Ayah terparkir. Berarti dia di rumah. Hari Sabtu biasanya Ayah nggak ke mana-mana. Tapi sepertinya dia memang sudah jarang keluar rumah.
Kuusap kap mobil silver itu dengan ujung jari. Ada lapisan debu tipis di sana. Mungkin sudah beberapa hari Ayah nggak memakainya. Tiba-tiba perasaanku was-was. Apa Ayah sehat? Beruntung aku masih menyimpan kunci sendiri, jadi bisa masuk kapan saja. Aku memutar anak kunci, dan pintu terbuka.
Ayah masih di sofa, berbaring miring, diam.
Selama beberapa detik, aku berdiri di ambang pintu. Mataku fokus pada tubuh yang tertutup selimut sampai ke dada. Gelombang ketakutan menghantamku dari dalam. Dia nggak ... maksudku, dia masih hidup, kan? Tuhan, kumohon Ayah masih hidup!
Samar kulihat gerakan naik turun yang teratur. Segera saja hatiku lega, seperti ada ikatan yang terlepas dari sana. Aku bergegas menghampiri Ayah. Dia bergeming, hanya helaan napas yang teratur yang menandakan dia masih hidup. Aku trauma dengan kematian.
"Ayah, ini Naya ..." Bersimpuh di lantai, aku berbisik dekat wajahnya.
Kelopak mata itu terbuka. Netra hitam kelamnya menatapku heran. Semakin heran lagi karena sekarang aku menangis. Aku nggak tahu kenapa jadi menangis. Terlalu banyak rasa dalam hatiku, entah rasa yang mana yang untuk Ayah.
Lelaki itu duduk secepat yang dia bisa, lalu menarikku ke sebelahnya. Kami berpandangan selama beberapa detik.
"Ada apa?" tanyanya sambil memegang pundakku dengan satu tangan. "Kamu nangis kayak ada yang mati saja."
Memang ada yang mati. Azura sudah mati. Tapi Ayah nggak kenal Azura.
"Ayah kemarin doain Naya bahagia." kataku di tengah isak. Semua bermula di sini, rasanya.
Alis Ayah berkerut. Emosiku bangkit lagi. Apa dia lupa pertemuan terakhir kami? Seumur-umur nggak pernah mendoakan kebahagiaanku – sekalinya melakukan, dia lupa begitu saja?
"Ayah memang ingin kamu bahagia, Naya. Terus kenapa nangis?"
Oh, aku salah paham. Ayah bukan lupa. Dia heran kenapa aku malah menangis karena doa-semoga-bahagia-nya.
"Kamu nggak bahagia?"
Aku menggeleng. "Terlalu banyak kematian, Ayah."
Dia mundur, menatapku iba. "Pacar kamu ... meninggal?"
Sekali lagi aku menggeleng. "Dia baik-baik saja."
Ayah menghela napas lega. Mungkin sejenak tadi dia merasakan ketakutanku selama 30 jam kemarin. Kembali dia menatapku. Iba rasanya melihat penampilannya. Nggak terurus. Bau – sudah berapa hari dia nggak mandi? Kucel, pula. Kemana pria gagah yang sanggup membawa puluhan perempuan ke rumah secara bergantian itu?
"Naya minta maaf," bisikku. Kukuat-kuatkan hati menatap matanya. Kalau aku minta maaf, aku harus benar-benar meniatkannya. Jangan buang muka. Jangan menatap yang lain. Begitu prinsipku.
"Minta maaf?" Dia mengernyit.
"Naya bukan anak yang baik. Naya nggak berbakti. Naya membenci Ayah selama ini."
"Tapi---" Sekali lagi dia terdiam. "Tapi itu wajar, Naya. Ayah bukan orangtua yang baik. Kamu anak malang, lahir nggak diharap, besar nggak disayang. Ayah ... " Dia menarik napas, cukup lama baru bisa melanjutkan, "Ayah justru minta maaf."
Lalu setitik air matanya menetes.
Laki-laki ketiga yang pernah kulihat menangis, setelah Kak Arka dan Om Abhi. Ayah menangis! Seumur-umur aku hanya pernah melihatnya marah, sinis, marah lagi, atau melempariku dengan kunci mobil supaya aku masuk ke kamar. Sekarang dia menangis?
"Ayah bohong sama kamu."
Apa lagi ini? Kebohongan apa lagi?
"Ayah bukannya sakit jantung, Naya. Ayah ... sipilis."
Aneh, suaranya nyaris hilang. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Selama beberapa jenak, aku mencoba mencerna informasi barusan. Bukan penyempitan pembuluh jantung, tapi sipilis. Kenapa Ayah bohong? Kenapa aku perlu dibohongi?
Melihatku diam saja, dia mengangkat muka.
"Mungkin itu hukuman dari Tuhan. Ayah menyia-nyiakan anak baik seperti Naya."
Aku anak baik? Itu pujian baru buatku.
"Makanya Ayah ingin kamu bahagia, Naya. Kejar bahagiamu. Jangan lagi pikirin ..." Dia menggelengkan kepala beberapa kali, "... nggak usah pikirin Ayah. Memang semua ada karmanya. Dosa-dosa Ayah sekarang menuntut balas."
Kututup mulutnya dengan tangan. Kupelototi dia dengan galak. Belum pernah aku melakukan ini pada Ayah, tapi untuk segala sesuatu selalu ada yang pertama kali, kan?
"Ayah, dengar Naya."
Kerut di wajahnya mengendur. Kuturunkan tangan, ganti memegang telapak tangannya. Aku nggak peduli dia melarangku peduli, atau mungkin dia mau mati, yang jelas harus kusampaikan isi hatiku padanya.
"Nunggu kabar pacar Naya selamat atau enggak itu cuma dua hari. Rasanya udah mau mati putus asa."
Sungguh, bicara panjang itu bikin capek. Tapi kali ini harus. Siapa tahu kesempatanku cuma hari ini.
"Naya nggak mau Ayah mati putus asa. Maafin Naya karena minggat."
Ada air di pelupuk matanya. Ada air juga di pelupuk mataku.
"Kanaya, Ayah ini pengecut."
"Ayah berani, karena Ayah ambil Naya. Nggak ngebuang." Nggak kayak cowoknya Azura.
Tapi dia menggeleng. Seperti tidak mendengar kalimatku barusan, dia melanjutkan.
"Ayah takut ibumu. Ibu tirimu. Ayah tahu dia pilih kasih. Tapi gimana? Ayah nggak bisa bela kamu, karena Ayah maksa dia nerima kamu."
Teka-teki sikap Ayah mulai terkuak. Jadi gara-gara itu? Karena posisinya lemah di depan Ibu?
"Tapi kenapa waktu Ibu meninggal, Ayah nggak juga sayang Naya?"
"Ayah kacau, Naya. Kamu tahu ... Ayah malu cerita ini. Tapi sejak Ibu meninggal, Ayah sedikit nyalahin kamu." Dia meremas tanganku dalam genggamannya. "Egois. Laki-laki memang egois. Semua harus salah perempuan. Maafin Ayah. Semoga suamimu nanti nggak seperti itu."
Oh, Ariel adalah laki-laki paling lembut yang pernah kukenal. Lembut tapi tegas, seperti kata Azura. Lembut tapi punya prinsip. Dia nggak akan jadi seperti Ayah.
Teringat tujuanku ke sini, aku turun dan bersimpuh di kakinya. Kurapatkan dagu ke dada, menunduk dalam-dalam.
"Restui Naya, Ayah."
Dengan gemetar, dia mengulurkan tangan.. Mula-mula hanya mengambang di atas kepala, tapi kemudian dia menurunkannya dan menyentuh rambutku. Tangannya bergerak, membelai dari depan ke belakang. Lalu diam, menekan lembut puncak kepalaku.
"Ayah doakan kamu bahagia, Kanaya, putri Ayah yang tabah."
Setetes air mataku turun membasahi kakinya. Kemudian setetes lagi. Dan setetes lagi. Dan aku nggak tahu berapa tetes yang sudah turun, ketika tangan Ayah menarikku ke atas. Matanya juga basah.
"Jangan dendam sama Ayah," katanya lirih, "supaya Ayah bisa mati tenang."
"Ayah nggak akan cepat mati. Besok Naya jemput Ayah dan kita ke dokter."
Karena, apa yang bisa dilakukan seorang anak untuk membalas kebaikan orangtuanya yang memberi kesempatan supaya dia hidup?
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Between Us [Completed]
RomanceDitulis oleh evenatka untuk event BerKARya bersaMA Kamaksara, 1 Oktober - 30 November 2019. Terima kasih KamAksara buat event yang luar biasa. Ini novel keempat yang selesai tahun ini - horee! Doakan novel ini naik cetak yah.