Bab 18 - Wishes | 3

5.6K 520 0
                                    

Duh, siapa yang membuka hubungan kami? Kak Arka atau Azura? Gugup begini jadinya.

"Iya, Om. Saya satu gedung dengan Azura."

Sengaja pertanyaan ke duanya nggak kujawab. Om Abhiyasa mengangguk perlahan. Dia menoleh kepada Azura yang sedang tersenyum. Kelihatannya mereka sudah baikan. 

"Saya marah sama mereka berdua," ucap pria itu sambil tetap memandang Azura, tapi aku tahu dia sedang bicara padaku. Di sebelah, Kak Arka bergerak-gerak gugup. "Masa mereka bawa pergi Azura nggak bilang-bilang?"

Oh, tentang itu. Aku diam saja, nggak berkomentar apa-apa. Itu adalah urusan keluarga mereka, aku nggak ingin ikut campur.

"Soalnya kan Ayah mau kurung dia di kamar, sampai dia melahirkan. Kalau Azura depresi, gimana?" Kak Arka membela diri, tapi tetap dengan intonasi rendah yang mengalah.

"Kalian ini terlalu lugu. Kenal Ayah apa enggak? Mana pernah Ayah tega sama Azura!"

"Yah, kita kan nggak pernah tahu batas kesabaran orang." sahut Kak Arka kalem.

Lelaki tua itu nggak menjawab lagi. Aku kagum mendengar kalimat Om Abhiyasa barusan. Dia nggak pernah tega sama Azura, padahal itu bukan putri kandungnya! Mendadak hatiku pedih. Andai almarhum Ibu punya sikap yang sama. Andai dia memperlakukan aku sebagai anaknya dengan cara yang pantas. Tapi percuma berandai-andai, Ibu sudah meninggal.

Tapi Ayah masih hidup.

Harusnya masih ada kesempatan untuk berbaikan. Rekonsiliasi, istilahnya. Memulihkan hubungan yang retak. Siapa tahu saja kan, usia Ayah nggak lama lagi? Bukannya mau mendahului Tuhan, tapi orang selalu mengantisipasi hal-hal kayak begini.

Tapi, memangnya perlu banget?

Seperti biasa, versi buruk diriku muncul dan mencela kelemahan si versi baik. Kebencian dan sakit hati mulai merambat. Kalau ingat lagi betapa sepinya interaksi di antara kami selama 25 tahun ini, sepertinya terlalu muluk juga mengharapkan perbaikan hubungan.

"Kamu mau pulang? Biar aku antar."

Aku terkejut memandang Kak Arka. Dia tersenyum tulus.

"Ayah mau lamaan dikit sama Zura. Masih sempat ngantar kamu pulang."

"Tapi aku bukan mau ke apartemen," sahutku. Alis Kak Arka berkerut. "Aku mau ke rumah Ayah dulu."

Lelaki itu tersenyum lega.

"Masih rumah yang dulu? Aku masih ingat. Ayo, keburu malam."

Om Abhiyasa mengangguk ketika aku pamit. Azura tersenyum lelah. Kuduga sempat ada drama di kamar ini sebelum aku masuk tadi, ketika dia bertemu ayahnya. Untung aku lagi di luar.

Kak Arka mendahului membuka pintu. Kami berjalan bersisian sampai ke mobil. Canggung, tapi hatiku sudah tenang, nggak segalau dulu.

"Boleh tahu kenapa tiba-tiba pulang?" tanyanya ketika kami sudah melaju di jalan raya.

"Nggak kenapa-kenapa. Ingin tahu keadaannya aja."

"Ayahmu sakit?"

Aku mengangguk.

"Sakit apa? Udah ke dokter? Siapa yang merawat?"

"Penyempitan pembuluh jantung." Malas menjawab dua pertanyaan lainnya. Mana kutahu apa Ayah sudah ke dokter atau belum. Dan kenapa aku harus peduli siapa yang merawatnya? Coba panggil saja perempuan-perempuan yang dulu menikmati uang ayah. Siapa tahu ada yang masih ingat. Mendadak hatiku getir dan pahit.

Tenang, Naya. Kamu mau jenguk dia. Tumbuhkan sedikit saja rasa kasih pada orang tua itu.

Dua jam kemudian kami berhenti di depan pagar rumah yang sama-sama kami kenal. Sekilas terlintas memori ketika Kak Arka masih dekat denganku. Di sinilah dia selalu menurunkanku: di depan pagar. Aku nggak pernah mau menyilakannya masuk. Dia mantan kakakku, pasti Ayah heran kalau tiba-tiba aku dekat dengannya.

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang