MENUNGGU adalah pekerjaan yang paling membosankan. Begitu kata orang. Tapi bagiku, menunggu bukan sekedar membosankan, tapi juga menyiksa jiwa, raga, dan pikiran.
Menunggu kabar dari Ariel nyaris membuatku bertindak gila. Pergi ke Jepang malam ini juga, lihat nanti saja bagaimana. Yang penting sampai di Jepang dulu. Itu kan gila! Untung saja Kak Arka waras. Dia menahanku di Jakarta.
Menunggu dokter keluar dari kamar bedah bersalin juga membuat kami semua gelisah. Jangankan Om Abhiyasa dan Kak Arka – aku dan Elvira juga nggak tenang.
Kata Kak Arka, Azura mengalami pendarahan hebat. Beruntung bayinya selamat, sekarang sudah di kamar bayi.
"Bayinya baik-baik aja, Kak?" tanyaku begitu bertemu Kak Arka di bangku untuk penunggu di seberang kamar bedah. Kasihan sekali dia, sepertinya belum sempat membasuh muka sekedar menyegarkan badan. Tampangnya kuyu dan lelah. Mungkin aku juga kelihatan seperti itu.
Kak Arka mengangguk sambil mengembus napas berat.
"Bayinya kecil. Nggak sampai dua kilo. Langsung dimasukkan ke inkubator," sahutnya lemah.
"Oh, kasihan ..." Kututup mulut dengan tangan. Sedih membayangkan bayi begitu kurus. Lebih sedih lagi kalau ingat dia bayi yang nggak diinginkan ayahnya, sama seperti aku. Bayi itu beruntung, Azura ingin dia hidup. Ibu kandungku mau menggugurkanku.
"Azura gimana, Pak?" tanya Elvira tiba-tiba.
Kuperhatikan Kak Arka sempat mengerjapkan mata, menatap Elvira. Sepertinya dia baru sadar kalau sahabatku itu ada bersama kami.
"Jangan panggil aku Bapak. Arka saja."
"Kurang sopan rasanya, Pak."
"Nggak apa. Atau panggil Kakak aja, sama kayak Naya." Dia tersenyum padaku, dan aku membalas tanpa semangat.
Elviralah yang membalas senyumnya. Mereka lalu mengobrol tentang Azura dan sang pacar, ayah si bayi yang masih usia bocah itu.
Aku menekuk lutut, menaruh daguku di antaranya. Mataku lelah. Hari ini sudah puluhan kali kuperiksa ponselku, siapa tahu ada kabar. Sekarang ini aku ingin kembali ke apartemen supaya bisa menonton NHK. Aku ingin tahu bagaimana kondisi Jepang, Apa jaringan komunikasinya sudah pulih? Karena kalau sudah, Ariel pasti akan menelepon. Dia pasti tahu betapa khawatirnya aku.
Pintu kamar operasi terbuka. Seorang dokter dengan kostum hijau dengan penutup mulut warna yang sama muncul dari sana. Sontak kami berdiri dengan cepat, siap mendengarkan tentang kondisi Azura. Dadaku berdegup kencang.
"Bapak Arka?"
Kak Arka mengangguk dengan tingkat kewaspadaan tinggi. Dokter usia lima puluhan itu berdeham, mengusap muka, lalu menautkan kedua tangan di belakang punggung. Ada penyesalan di sorot mata, raut wajah, dan gerak-gerik tubuhnya. Apalagi saat dia menggelengkan kepala. Dua kali.
Tanpa sepatah kata terucap dari bibirnya, aku tahu apa yang mau disampaikan oleh dokter itu. Azura sudah tiada.
Aku belum pernah melihat laki-laki menangis sebelumnya. Ayahku nggak pernah menangis. Bahkan Kak Arka pun nggak menangis waktu kakakku meninggal. Dia cuma kelihatan sedih. Tapi saat ini, air mata Kak Arka menuruni pipi dengan deras. Dia membuka kacamata supaya bisa menghapusnya. Om Abhi mendekati kami dengan langkah yang dipercepat. Tangisnya lebih mengibakan. Dokter menepuk pundak Om Abhi, mengucapkan kalimat entah apa, mungkin penyesalan, mungkin penguatan.
Kutubruk Elvira dan menangis di pundaknya. Semua perasaan sedih, marah, cemas, dan takut yang kurasakan sejak pagi ini kutumpahkan di sana. Elvira juga menangis, tapi hanya berupa isak. Aku menangis tersedu, tangis yang belum pernah kuberikan pada siapapun. Tidak untuk Kakak, tidak untuk Ibu.
Tuhan nggak adil!
Azura ingin bayinya hidup. Dia nggak menggugurkan kandungan, biarpun si penyumbang sperma nggak mau bertanggungjawab. Kenapa dia harus mati? Kenapa nggak cowoknya saja yang mati?
Pikiran yang lain mencecar isi kepalaku.
Kenapa aku hidup? Ibu kandung nggak ingin aku hidup. Ibu tiri membenciku. Ayahpun sama saja. Kenapa aku harus hidup? Supaya aku mengalami semua kesedihan ini?
Lalu, kemana Ariel? Apa dia juga sudah mati? Bisa nggak sih, aku menukar hidupku dengan kematian Azura?
"Vira ..."
Kupeluk sahabatku erat. Dia balas memeluk, menepuk punggung dan mengusapnya berkali-kali.
"Ssh ... lo harus kuat, Nay. Kak Arka dan Om butuh lo. Lo yang kuat, ya. Mereka lagi nggak bisa mikir jernih sekarang. Kita harus lebih kuat dari mereka, Nay."
Aku mengangguk, walau air mataku tetap mengalir. Elvira mengeluarkan sebungkus tisu dan memberikannya padaku.
"Ayo," bisiknya.
Dia melepas pelukan dan kami membalik badan. Kak Arka dan Om Abhi masih berpelukan dan menangis. Pemandangan yang memilukan. Kehilangan anak adalah mimpi buruk tiap orang tua. Aku sudah melihat Ibu yang mati perlahan-lahan sejak Kak Karla meninggal dunia.
Rasanya, malam ini adalah malam paling berat yang pernah kualami sepanjang hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Between Us [Completed]
RomanceDitulis oleh evenatka untuk event BerKARya bersaMA Kamaksara, 1 Oktober - 30 November 2019. Terima kasih KamAksara buat event yang luar biasa. Ini novel keempat yang selesai tahun ini - horee! Doakan novel ini naik cetak yah.