Bab 7 - Azura | 2

9K 736 4
                                    

Baik, kalau begitu. Aku merasa seperti lagi merencanakan sebuah kejahatan bersama komplotan. Kutatap Tante dan Ariel, yang juga menatapku seperti meminta tanggapan. Tapi aku bisa bilang apa?

"Aku harus setuju, kan?" Kulontarkan pertanyaan retoris.

"Nggak harus, tapi kalau kamu bersedia, kami benar-benar terima kasih."

"Well, itu kan uangmu. Bebas mau beli rumah di mana aja, kan?"

"Yang kami harap lebih dari itu, Naya." Kali ini Tante yang bicara. Dia menatap mataku seolah minta tolong. "Kalau nggak repot, kami harap kamu mau memeriksa Azura sesekali."

Aku meneguk ludah. Memeriksa Azura? Tapi dia sedang hamil! Aku mana bisa? Maksudku, aku juga belum pernah hamil!

"Memeriksa dia masih hidup apa enggak, gitu." Ariel menambahkan.

Sekali lagi ia Tante menghardiknya. Aku melirik Azura. Gadis itu tertunduk dalam-dalam, diam saja walau diejek kakaknya. Mungkin sejak kecil mereka sudah biasa seperti itu, makanya sekarang nggak sakit hati lagi. Nggak seperti aku dan Kak Karla yang jarang berinteraksi.

Aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Jujur saja, aku merasa dimanfaatkan. Tebersit sedikit kecurigaan terhadap ketulusan Ariel mengatakan cinta padaku siang ini. Apa dia benar-benar cinta, atau supaya aku mau menolong adiknya?

"Bisa, kan?" desak Ariel. "Nggak harus setiap pagi dan malam gitu. Dua tiga kali seminggu juga cukup."

"Mmm ..." Sekali lagi mataku melirik gadis cantik di sebelahku. "Azura, kamu ... mau?"

Dia menatapku tanpa ekspresi, lalu mengangguk. "Kak Ariel itu bukan tipe yang bisa dibantah," ucapnya, lebih mirip pernyataan.

Aku tersenyum miring, membenarkan Azura. Kelihatannya dia anak yang menyenangkan. Dan kalau dia menyenangkan, mungkin aku nggak perlu melihat keadaannya juga.

Kutolak tawaran Tante untuk makan malam di rumahnya. Ya Lord, aku mana pantas duduk makan bersama mereka! Jangan-jangan peralatan makan Tante pun terbuat dari kristal! Memegang sendoknya pun aku pasti gemetar.

Untung Ariel nggak mendesakku ikut makan.

"Terima kasih sudah mau ikut nolongin," Ariel meraih tanganku dan menggenggamnya di atas tongkat persneling. Hangat mengalir dari jemarinya ke lenganku. "Besok kamu nggak usah kerja. Temani aku membeli kamar untuk Azura, ya."

"Besok Jumat kan? Bukannya rapat dengan Pak Gatot?"

"Sudah kuundur jadi hari Senin."

Yah, dia bosnya. Pak Handi saja tak berani membantah, apalagi Pak Gatot.

Ariel tetap memandang ke jalan, tidak menoleh padaku. Diam-diam kunikmati siluet wajahnya dari samping. Rahang yang tegas itu ... rasanya ingin kubelai. Teringat ciuman kami yang terakhir, jantungku berdebar keras. Apakah nanti dia mau mampir lagi? Haruskah kutawarkan, atau nggak apa kalau nggak usah?

"Jangan lihat-lihat begitu. Aku jadi nggak konsen."

Sial! Aku ketahuan!

Kubuang pandangan ke samping, menikmati lampu di sisi jalan dan membaca papan-papan penanda. Ariel tertawa dan mengacak rambutku tiba-tiba.

"Kamu minim kata-kata, ya. Dari dulu lebih suka diam. Aku terus yang ngajak ngomong."

"Mungkin karena aku pendiam?" Aku menoleh sambil mengangkat alis. Sekali lagi Ariel tertawa.

"Dan aneh aja aku bisa tertarik sama cewek pendiam dari dulu. Mungkin aku bosan sama kecerewetanku sendiri, ya?"

"Meneketehe."

Keningnya berkerut. "Apa itu?"

Giliranku yang terheran-heran. "Masa nggak tahu? Meneketehe, manakutahu."

Ariel mengangguk-angguk. "Oh, gitu. Ya, meneketehe kalau gitu. Kan aku lama di Jepang. Nggak pernah dengar keluarga atau teman-teman ngomong istilah kayak itu."

"Ya udah sekarang jadi tahu."

"Aku boleh mampir?"

Tiba-tiba saja kami sudah tiba di dekat apartemen. Astaga, apa aku lebih banyak melamun? Sampai nggak sadar kalau kami sudah hampir tiba.

"Kalau aku boleh menolak, tolong jangan."

Tumben, Ariel diam saja. Mungkin karena dia juga capek. Dia memasukkan mobil sampai ke depan lobby. Sebelum membukakan kunci pintu, dia meraih jemariku lagi. Bola matanya yang kecoklatan menatapku serius.

"Aku sayang Azura, tapi caraku memang aneh. Beda dengan Arka yang lebih lembut. Azura lebih patuh pada Arka, sebenarnya. Dia takut sama aku."

Nggak heran. Dengan mulut Ariel setajam tadi, Azura pasti lebih memilih ngobrol dengan Kak Arka.

Kak Arka.

Aku menggigit bibir saat nama itu terucap di hatiku. Ya ampun, seharusnya aku nggak seperti ini lagi. Semua sudah berlalu sejak waktu itu! Sekarang aku pacarnya Ariel – jadi tolong, hatiku, bergetarlah hanya untuk Ariel!

Setelah Ariel pergi dan aku membaringkan diri di kasur, otakku mulai bekerja dan mencerna semau ucapan di rumah tantenya Ariel tadi.

Azura di Kintamani House. Satu lantai denganku.

Ariel akan bisa datang sewaktu-waktu.

Tapi Kak Arka juga bisa datang sewaktu-waktu.

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang