Bab 11 - The New Me | 2

7K 576 2
                                    

Akhirnya hubungan ini harus kuceritakan juga. Kalau nggak, selamanya Elvira berpikir Ariel adalah cowok bebas, dan dia bisa terus menyukainya. Dia pasti lebih marah lagi kalau tahu dari Ariel.

"Yang benar?" Matanya melotot, tapi bukan marah. Kelihatannya dia malah semangat. "Udah gue duga pasti Ariel menganggap lo istimewa. Kalau nanyain lo itu di kantor dulu, gesturnya menipu. Pura-pura cuek padahal penasaran."

Aku tersenyum tipis, lega karena Vira menerima berita ini dengan tenang. Kurasa dia cuma mencoret nama Ariel dari daftar cowok jomlo yang dia suka, lalu mencari calon pacar lain. Bagi Vira itu gampang saja. Seandainya aku bisa semudah itu mencoret nama Arka dari hatiku dan hanya fokus pada Ariel.

"Well, kita harus selamatan." Dia mengambil ponsel dan mulai memesan makanan dari aplikasi. "Dan gue tebak, Ariel udah punya apartemen di gedung ini? Dulu kan dia ngebet mau lihat ke sini."

"Iya dia punya. Tapi ..." Aku terdiam. Apa aman cerita tentang Azura pada Vira? Dia bukan ember, sih. Kalau kuminta merahasiakan, pasti bisa.

"Tapi apa? Ngomong setengah-setengah."

"Buat adik perempuannya. Ariel nyembunyiin adiknya karena ayahnya marah. Hamil di luar nikah."

Mata Elvira membulat besar. "No way! Skandal banget nih, keluarga Abhiyasa? Disembunyiin dari publik?"

"Dari ayahnya," ralatku. "Ayah mereka mau ngurung adiknya sampai si bayi lahir. Ariel nggak setuju. Diam-diam tuh adik dibeliin apartemen di sini."

"Such great brother." Vira mengucapkannya dengan nada kagum sekaligus iri. "Kalau aja gue punya saudara, penginnya kayak Ariel."

Aku setuju. Ariel dan Arka adalah tipe kakak idaman. Biarpun mereka tahu Azura bukan anak ayah mereka, tetap saja rasa sayang itu ada. Kenapa Kak Karla nggak bisa menganggapku saudara seayah saja?

Soal Azura bukan adik kandung Ariel, belum kuceritakan pada Elvira. Mungkin nanti saja kalau memang perlu. Semakin sedikit yang tahu, semakin aman rahasia keluarga ini.

"Makanan datang. Gue ke lobby dulu ya, ngambil."

Kamarku bau minyak kayu putih, nggak enak kalau makan di sini. Kuikuti Vira sampai ke dapur. Sambil menunggu dia kembali, kusiapkan meja pantri yang kecil supaya kami bisa makan. Terbayang apartemen Azura yang luas. Siapa yang memasak di dapurnya? Apa Azura bisa masak? Aku baru sadar nggak pernah mengecek keadaan Azura padahal Ariel menitipkannya padaku!

Segera kuambil ponsel, mencari nomor Azura. Sejenak aku bingung. Bilang apa ya? Aku bahkan nggak pernah tanya berapa usia kandungannya. Orang macam apa aku ini!

Akhirnya aku mulai mengetikkan pesan

Hai, Azura. Ini Kanaya.

Semenit kemudian Azura membalas.

Azura: Hai, Kak.

Aku: Baik-baik?

Azura: Perutku berat. Bawaannya ngantuk.

Hm. Aku baru tahu kalau hamil itu bawaannya ngantuk.

Aku: Berapa bulan sekarang?

Azura: Enam.

Astaga! Tiga bulan lagi dia akan punya bayi! Perasaan bersalah makin menguasaiku. Berarti sudah empat bulan berlalu sejak Azura tinggal di Kintamani House. Dan sekali pun aku nggak pernah mengeceknya. Kenapa Ariel nggak pernah menegurku, ya?

Aku: Maaf aku nggak pernah berkunjung. Nanti malam mau ditemani?

Azura: Nggak apa, Kak. Kan ada Kak Arka dan Kak Ariel gantian nginap di sini. Kak Arka lagi ke Surabaya sekarang. Kak Ariel lagi sibuk mau over-apa-itu-namanya sama Ayah.

Aku: Over-apa?

Azura: Nggak tahu istilahnya apa, tapi Kak Ariel bakal pegang perusahaan Ayah, katanya. Kak Arka nggak mau.

Menarik sekali. Sepertinya Azura cukup enak diajak ngobrol. Mungkin sebaiknya aku datang ke tempatnya nanti malam.

Aku: Oh. Boleh aku mampir nanti? Kubawain makanan ya.

Azura: Aku pengin minyak kayu putih, Kak. Punyaku habis.

Minyak kayu putih! Nggak percuma Elvira datang bawain minyak. Segera kubalas dan bilang aku bisa bawain minyak itu.

Elvira sudah naik lagi.

"Nanti aku mau ngecek adiknya Ariel. Rupanya dia lagi sendirian. Ariel nggak datang karena sibuk." Aku nggak cerita soal Arka padanya.

"Oh, oke. Jadi kakak ipar yang baik, deh." Dia mengedip sebelah mata. "Lo beruntung banget bisa dapat Ariel, Nay. Sonya pasti geregetan karena dia udah tebar pesona ke sana ke mari, malah kalah sama lo yang diam-diam aja."

Aku beruntung karena dua penerus Abhiyasa menyayangiku. Dan aku berat menentukan siapa yang lebih aku cintai. Dan seperti kurang rumit lagi, Ayah memintaku menikah dengan calon pilihannya.

"Bawa aja Ariel ke depan ayah lo. Bilang, ini calon lo. Beres, kan? Gue rasa dia nggak akan maksa lo nikah kalau memang belum siap. Yang penting udah punya calon."

Mungkin Vira benar. Tapi aku nggak mau kembali ke sana. Sudah kubilang, aku nggak peduli Ayah sekarang.

"Besok lo ngantor, kan? Inget, gue atasan lo bentar lagi."

"Iyaa ... bos." Aku mencebik. Elvira naik jabatan. Mbak Reni juga. Mereka akan pindah ke lantai 4 dan 5. Jadi tinggal kami berempat di lantai 3, nggak ada yang asyik.

Mungkin sudah saatnya aku lebih fokus bekerja, supaya tahun depan bisa dipromosikan juga. Aku harus punya target, seperti Vira. Soal pasangan hidup saja dia membuat target. Aku harus keluar dari zona diam-diam yang nyaman ini. Aku harus memikirkan diri sendiri sekarang, karena faktanya aku cuma sendiri saja di dunia ini.

Nggak punya saudara, nggak punya ibu, nggak punya ayah.

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang