Bab 15 - Almost | 2

6.1K 477 1
                                    

Ariel memelukku lebih erat. Tangannya membelai rambutku berulang-ulang. Sekali lagi, aku membuatnya kecewa. Kenapa aku selalu membuat orang lain kecewa?!

"Aku akan nunggu sampai kamu mau nikah sama aku, Pumpkin."

Lelaki sesabar dan se-pengertian ini pasti nggak banyak di dunia, dan aku beruntung mendapatkan satu. Seharusnya aku berterima kasih dan nggak membuat semuanya sulit.

"Aku pasti mau, Ariel. Sabar." Kubelai dada telanjangnya perlahan.

Semesta, tolong aku mencintai Ariel sebesar dia mencintaiku.

Seperti tahu aku sedang gulana, Ariel mencium keningku lama.

"Aku mau ke Jepang besok siang."

Sontak aku menengadah, kaget.

"Urusan kerja?"

"Iya. Temanku di sana bersedia kerja sama dengan perusahaanku. Ya, ngobrol dulu. Sekalian katanya dia mau menikah."

Saat mengucapkan kata terakhir, ada warna iri dalam suaranya. Aku semakin merasa bersalah.

"Kamu mau ikut?" tanyanya tiba-tiba. "Aku pergi kira-kira sepuluh hari. Lumayan lama, memang. Tapi bisa kuatur urusan cutimu dengan HRD."

Soal itu aku nggak ragu. Dia yang punya perusahaan. Nggak perlu izin untuk melakukan apapun. Tapi apa aku siap mengumumkan hubungan dengan pewaris perusahaan ini? Karena kalau sudah maju, nggak akan bisa mundur lagi. Ariel adalah public figure. Hubungan kami pasti menarik perhatian semua karyawan dan juga khalayak umum. Aku akan diamati, dinilai, mungkin dijadikan bahan pembicaraan. Apa aku siap seperti itu?

Tiba-tiba aku dapat alasan.

"Siapa yang jaga Azura? Nanti cowoknya datang lagi."

Rahang Ariel mengeras. Bibirnya terkatup rapat. Dia diam selama beberapa saat, berpikir. Aku membelai dadanya sambil memejam mata.

Maafkan aku, Ariel. Andai aku seberani kamu.

"Kalau begitu, setelah bayinya lahir, aku pindahin dia ke Singapura. Biar dia kuliah di sana."

"Memangnya Azura pasti mau?"

"Harus. Dia kan nggak punya uang. Nggak punya masa depan juga kalau begini terus. Dia harus nurut."

Ariel nggak bisa dibantah, kata Azura dulu waktu pertama kali kami berkenalan. Tiba-tiba aku membandingkannya dengan Ayah. Apa bedanya? Mereka sama-sama suka memaksakan kehendak pada orang lain. Memutuskan untuk orang lain. Hanya saja, Ariel mencintaiku, Ayah tidak.

"Tidur, Pumpkin. Dan tidur di sini selama aku nggak ada. Jangan kecolongan Azura lagi." Ariel mengecup bibirku sebelum menutup mata. Aku merapatkan diri padanya.

"Nggak akan kecolongan lagi."

Padahal aku nggak suka tinggal di sini. Lebih tenang di apartemenku. Tapi demi membuktikan bahwa aku di pihaknya, aku setuju pindah sementara sampai dia kembali. Hanya sepuluh hari saja kok. Apa susahnya.

***

Azura menepati janji. Dia mengetuk pintu kami sebelum pagi. Setelah memakai baju, kubuka pintu sementara Ariel masih tidur. Gadis itu terkejut melihatku di kamar kakaknya. Aku juga malu, merasa jadi contoh yang nggak baik untuknya.

"Bukan seperti yang kamu pikir, Zura. Kakakmu nggak nyentuh aku sama sekali." Mau tak mau aku menjelaskan daripada dia pikir kami sudah melakukan hubungan suami istri sebelum sah.

"Yah, bukan urusan Zura juga." Dia melihat ke sosok di tempat tidur yang masih membelakanginya. "Aku mau ngomong sama Kak Ariel."

Sepertinya ini urusan keluarga, jadi kubuka pintu lebih lebar dan aku keluar.

"Tolong sampein, aku balik ke apartemenku, ya." kataku kemudian.

Azura mengangguk. Aku nggak mau ada di sini dan mendengarkan mereka bicara. Kurasa, mereka butuh privasi.

Di kamar yang makin kelihatan sederhana dibanding kamar Ariel di atas sana, aku berbaring menatap langit-langit. Peristiwa semalam membukakan beberapa hal tentang Ariel. Dia mengerikan kalau sedang marah. Kuingat jantungku berdebar keras waktu dia menyeret cowok malang itu keluar dari kamar. Juga saat dia menunjuk Azura dengan jari gemetar.

Aku belum pernah melihat Ariel marah besar. Di kantor sih dia pernah gusar dan menegur kami, tapi tidak semurka tadi malam. Juga selama hubunganku dengan dia, kami selalu baik, romantis, dan rukun. Seujung kuku pun dia belum pernah marah padaku.

Tapi hidup menikah kan tidak begitu. Aku pasti akan membuat kesalahan, dan dia pasti akan marah. Kalau reaaksinya seperti tadi malam, gimana? Apa aku bisa tahan?

Kuembus napas kuat-kuat. Kepalaku penat sekali. Mungkin kurang tidur, karena aku nggak bisa tenang saat berada dalam dekapan Ariel. Cinta dan rasa tak pantas silih berganti mengambil tempat di hatiku. Please, Lord. Aku nggak bisa begini terus. Ariel ingin memastikan hubungan kami, tapi kalau aku selalu merasa nggak pasti, kasihan Ariel.

Dan aku tahu satu-satunya jalan adalah bicara dengan Kak Arka. Entah kenapa ada yang belum tuntas dari pertemuan kami terakhir di sini. Kak Arka memang sudah mengungkapkan semua isi hatinya. Tapi aku belum. Aku belum jujur pada diriku sendiri di hadapannya. Aku belum izinkan dia tahu semua. Mungkin kalau Kak Arka tahu bahwa aku kemudian jatuh cinta setelah hanya berniat memenangkannya, perasaanku lebih lega. Tapi, entah kapan aku bisa bertemu dia lagi. 

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang