Bab 22 - Just In Time | 2

6.2K 539 3
                                    

Tante Verena menyandarkan punggung ke sofa, membuka sarung tangan, lalu menaruhnya di pangkuan. Aku juga bersandar, namun tetap berhadapan dengannya. Jarak kami agak jauh sekarang. Aku bisa melihat dia secara keseluruhan. Hari ini Tante Verena memakai gaun selutut dari bahan yang sangat halus dan bagus. Ada payet-payet perak di bagian bawah gaunnya, seperti titik-titik salju. Juga di bagian dada, membentuk pola kepingan es yang terpotong setengah. Tante Verena bisa jadi model fashion, menurutku.

Dulu di pemakaman, rambutnya dibiarkan jatuh lurus begitu saja. Sekarang rambut coklat tembaga itu dibuat bergelombang di bagian bawah dan kepalanya dihiasi jepit mutiara yang sedang model itu - jepit Korea. Tapi aku yakin mutiaranya asli.

"Ariel itu keras kepala," katanya setelah menghela napas.

Aku diam saja, menggigit bibir. Penilaian yang sama seperti Azura. Aku sedih karena mereka mengenal Ariel begitu baik, tapi mereka sendiri nggak dekat. Sayang sekali.

"Dia ngotot mau adopsi Azura."

Mula-mula aku bingung. Ariel mengadopsi Azura? Tante bicara tentang mantan suaminya, atau tentang anaknya? Tapi sepertinya aku mengerti. Ariel menamai bayi itu sesuai nama ibunya. Azura. Pilihan yang sangat cerdas. Aku suka nama itu dan senang karena masih akan bisa menyebutnya lagi.

"Azura ... nama bayinya Azura?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk. "Sudah diadopsi sama Ariel, Tante?"

"Belum." Dia mengigit bibir. "Tante larang. Tante kasih syarat sama dia: nikah dulu, baru adopsi. Masa mau merawat bayi tanpa istri?"

Ya, ya. Aku setuju. Tapi, gimana bilangnya, ya? Mungkin ibu ini belum tahu kalau Ariel sedang menjauhiku. Sudah sebulan belakangan, kami nggak berhubungan. Aku kangen setengah mati, tapi nggak berani memulai apapun.

"Ariel lalu cerita tentang kamu. Kerja di sini, tinggal di Kintamani House, tetanggaan sama Azura. Kamu ikut merawat dia," - tiba-tiba dia meraih tanganku dan menekannya di sofa - "terima kasih, ya." Lalu dia kembali ke posisi semula. "Kamu juga ada waktu Azura meninggal."

Sebutir air menetes dan membasahi pipinya yang mulus dan licin.

"Maafin saya, Tante ..." ucapku spontan, nggak tahu minta maaf untuk apa. Yang jelas aku iba padanya. Sepertinya minta maaf adalah ungkapan dukacita juga.

Dia menggeleng sambil mengusap pipi dengan punggung jari. Kelihatan masih sedih. "Ah, bukan salah kamu kok, Sayang. Tante lebih salah lagi karena nggak pernah ada untuk Azura."

Panggilan 'sayang' itu membuatku makin kangen Ariel.

"Anak itu tuh ... keras kepala banget. Dia bilang kamu nggak seharusnya ikut tanggung jawablah, ini lah, itu lah ... aaah, Tante gemas." Dia merengut.

Aku juga gemas. Kesabaranku sedang diuji oleh Ariel.

"Umm ... dia takut saya mati melahirkan, Tante," kataku takut-takut.

"Ah, iya. Itu ada alasannya, tahu." Matanya tiba-tiba berkabut. "Tante hampir mati waktu melahirkan Azura. Ariel yang paling ketakutan waktu itu. Kalau Arka kan lebih pendiam, jadi dia nggak terlalu nunjukin perasaan. Ariel sempat lho, nggak nerima Azura. Tapi lama-lama sayang juga, apalagi sejak Tante ninggalin mereka."

Akhirnya topik itu tiba. Tapi dasarnya introver, aku nggak mau bertanya biarpun kata-kata sudah di ujung lidah.

Dia tersenyum, tapi seperti terpaksa. Matanya berkedip beberapa kali, seperti mau mengeringkan netra yang sudah basah.

"Itu syarat dari ayah mereka, Sayang. Pilihannya antara Tante atau Azura yang tinggal dengan mereka. Ya, Tante milih pergi, karena masa depan Azura lebih baik kalau dibesarkan sama keluarga itu. Daripada dikasih ke orang lain. Iya kan?"

Aku manggut-manggut, mulai paham. Aku nggak mengira Om Abhiyasa bisa sekejam itu. Semoga Ariel nggak mewarisi ini dari ayahnya.

"Sayangnya, keputusan Tante salah. Azura seharusnya tetap sama Tante karena seorang ibu punya radar lebih tajam dari siapapun. Misal Tante nggak ninggalin Azura, rasanya dia nggak akan senakal itu." Dia menggedikkan bahu, menunduk menatap jemarinya yang lentik. "Tapi udah terlambat. Azura kurang pendampingan. Ini karma buat Tante, iya kan? Dia anak haram, dan ngelahirin anak haram lagi ..." Suaranya semakin kecil.

"Tapi kan pilihannya -"

Dia tersenyum lagi. "Memang nggak ada keputusan yang betul-betul bagus, ya. Kita cuma bisa milih yang terbaik di antara yang buruk."

Iya, benar. Kadang-kadang kita memang cuma punya beberapa pilihan buruk. Butuh hikmat untuk memilih pilihan terbaiknya.

"Kanaya," untuk pertama kalinya, Tante Verena menyebut namaku. "Tante memang bukan ibu yang baik. Tapi cukup kenal, lah, sama anak sendiri." Dia beringsut sedikit, mendekatiku. Tangannya membelai punggung tanganku, "Ariel cuma butuh diingetin, Sayang. Umur bukan kita yang atur. Dan kalo cuma gara-gara takut kita mati, memangnya kita nggak boleh dikasih kesempatan jatuh cinta, punya bayi, bahagia jadi ibu?"

Kami saling menatap dengan pengertian yang tiba-tiba terjalin. Dia perempuan bijak yang pintar. Sayangnya, dia pernah membuat kesalahan dalam pernikahan.

"Kamu bisa menguatkan Ariel. Tante punya rencana, sekaligus undangan buatmu." Lalu dia mengedipkan mata dengan jenaka.

Hah?

"Undangan apa?"

"Oh, pokoknya ada deh. Minggu depan, ya. Nggak lama, kan? Banyak yang harus kami siapin."

Kami?

Mata biru itu menyorotkan kasih dan pengertian. Di balik penampilannya yang glamor yang membuat kita sungkan mendekat, Verena Jesslyn sebenarnya sangat terbuka dan berhati tulus. Seluruh isi hatinya terbaca lewat mata.

"Tante nggak mau merusak kejutannya. Datang aja, ya. Ariel jemput kamu. Sabtu sore jam lima kamu sudah siap, bisa?"

Gugup, aku mengangguk. Dia memakai sarung tangannya lagi, lalu berdiri. Aku ikut berdiri. Tangannya terentang, dan ragu-ragu aku mendekat. Dia memelukku erat. Wangi lembut parfumnya sangat enak di indera penciumanku.

"Dia masih sayang kamu, Kanaya. Percayalah sama Tante. Biasanya insting seorang ibu itu nggak jauh-jauh salahnya."

Kuaminkan dalam hati ucapannya yang terakhir ini.

***

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang