Bab 10 - One Last Thing | 2

6.9K 582 3
                                    

Kukeluarkan kantung plastik besar yang kubawa dari kantor – kantung plastik sampah warna hitam yang digunakan Office Boy kantor kami. Tanpa pikir dua kali, aku meraup hadiah-hadiah itu dan memasukkannya tanpa peduli barang pecah belah atau bukan. Boneka beruang berbagai ukuran dan warna, kotak-kotak cantik berpita yang isinya kemungkinan besar pakaian, asesoris remaja perempuan, bahkan sepatu, pajangan-pajangan imut, cinderamata luar negeri – semua kulempar ke dalam kantung tanpa rasa kasihan.

Tanpa sadar, aku menangis.

Di dinding kamar ada foto aku dan Kak Karla. Kuambil keduanya dan kukeluarkan fotonya untuk disobek-sobek. Lalu serpihan kertas foto dan bingkainya juga kumasukkan ke dalam kantung.

Sekarang kamarku bersih. Meja belajarku memang berdebu. Seprei kami berdebu. Lantai ini juga berdebu. Tapi sudah tak ada yang tersisa dari Kak Karla dan aku. Kini kamar ini hanya ruang kosong tanpa ada sisa-sisa jejak penghuninya.

Kuikat kantung hitam itu dengan seutas tali raffia. Sekarang aku harus membawanya ke tempat pembuangan sampah lingkungan RT kami. Biarlah di sana dibongkar oleh pemulung. Biarlah ini jadi hadiah kejutan untuk mereka. Kalau menuruti kata hati, aku ingin membakarnya saja. Tapi nanti Ayah curiga kalau di tempat sampah rumah kami ada api.

Kumatikan lampu kamar, lalu aku keluar. Ketika pintu sudah terkunci lagi, aku menjedutkan keningku beberapa kali ke atasnya.

Satu.

Dua.

Terus ...

Sampai dua puluh lima.

Untuk 25 tahun kebohongan yang dilakukannya padaku. Dua puluh lima tahun kesia-siaan menyayanginya sebagai kakak, walau dia begitu jauh semasa hidup ataupun mati. Sakit, tapi aku butuh merasakan rasa ini. Kalau nggak bisa merasakan sakit secara fisik, di dalam tubuhkulah yang nyeri.

Lalu aku diam. Pasti keningku merah sekarang, tapi nggak apa. Yang penting, sakitnya hilang sedikit. Aku berbalik dan menuruni tangga, masih pelan-pelan seolah takut ada yang mendengar.

Kakiku baru saja menyentuh lantai, ketika tiba-tiba terdengar pagar rumah dibuka. Sontak aku melihat jam tangan. Baru pukul tujuh, kenapa Ayah sudah pulang? Apa sejak aku kabur, dia jadi pulang lebih awal? Dan sekarang aku harus gimana?

Belum sempat berpikir lebih jauh, pintu depan terbuka. Aku terkesiap menatap sosok di ambang pintu yang juga sedang melotot heran padaku.

"Kanaya?"

Suaraku hilang entah ke mana. Entah kenapa, kali ini aku merasa takut. Biasanya nggak begini. Biasanya semua caci-makinya bisa kuabaikan dengan mudah.

Ayah maju dua langkah, lalu berhenti. Didorongnya pintu hingga tertutup, lalu dia menatapku dari atas ke bawah, seperti sedang melihat apa aku tambah kurus atau gemuk. Aku juga melakukan hal yang sama.

Ayah tambah kurus. Celananya jadi terlalu besar dan kemejanya kedodoran. Rambutnya tambah putih, sudah tidak dicat rupanya. Dulu dia rajin mengecat rambut, mungkin supaya masih terlihat muda dan bisa menggaet perempuan ke rumah.

Secara keseluruhan, Ayah kelihatan menyedihkan. Mana ada perempuan yang mau dengan kakek-kakek bau tanah seperti ini? Lagian, kenapa dia nggak mengurus diri? Duitnya kan banyak! Apa susahnya membeli pakaian yang pas? Apa susahnya ke salon dan merawat kulit tuanya itu? Dasar babon tua! Sama saja seperti Kak Karla! Rusak! Rusak semua! Keluarga setan!

Pikiran itu lepas begitu saja. Aku nggak tahu kenapa aku marah. Serta-merta aku menutup mulut dengan satu tangan, seolah takut kalau kalimat tadi keluar tanpa sadar.

"Kamu mau apa?" Ayah menatap aku dan kantong di tanganku bergantian. "Apa itu?"

"B-barang Naya yang belum diambil, Yah." Jawabku pelan. Semoga Ayah nggak memeriksa isi kantung ini. Dia pasti sadar kalau semuanya hadiah Kak Karla.

Ayah maju lebih dekat, tangannya bersidekap di dada. Sorot matanya ... aneh. Belum pernah dia memandangku seperti itu. Ada rasa iba di sana. Kenapa dia kasihan? Selama ini nggak satupun peduli apa yang aku rasakan.

"Kamu mau pergi lagi, Naya?" Kali ini dia bertanya lebih tenang dan lembut. Badanku gemetar saat aku mengangguk. Kelembutan yang selama ini aku idam-idamkan dari seorang ayah akhirnya kudapat, tapi kenapa sekarang?

"I-iya. Naya punya tempat kos." Jawabku merendah.

Ayah menarik napas, masih sambil berdiri. Posisiku juga nggak berubah sejak tadi: tepat di depan anak tangga terbawah.

"Ke sini. Sebelum kamu pergi, ada yang harus kamu tahu dulu." Dia memberi kode agar aku duduk di sofa tunggal di depan televisi. Sesuatu di wajahnya membuatku nggak bisa membantah.

Kejutan apa lagi yang harus aku hadapi, dear Lord?

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang