Bab 4 - This is the Moment | 1

12.1K 1K 9
                                    

ARIEL menatapku tenang, sementara jantungku berdetak sangat kencang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ARIEL menatapku tenang, sementara jantungku berdetak sangat kencang.

Tangannya bersidekap di dada sambil duduk di seberang meja kerjanya. Sesuai perintah, aku datang ke lantai 5, lantai khusus level manager. Sengaja aku langsung duduk di depan ruang kerja Ariel begitu tiba di kantor. Aku nggak mau kalau anak-anak lantai 3 melihatku naik ke lantai 5.

"Kamu kenapa? Benci sama aku?" Ariel bertanya dengan suara pelan.

Aku benar-benar berharap kami nggak melakukan percakapan ini di sini, di ruangan yang kacanya tembus pandang. Sedikitpun aku nggak berani mengangkat muka untuk menatap laki-laki di depanku. Aku malah menatap ke bawah, merasa kotor.

"Saya nggak benci Bapak. Saya justru menghormati Bapak."

"Berhenti ber-'saya-Bapak' dengan aku, Kanaya!" Ariel menekan suaranya begitu rendah, membuatku melirik ke atas, menatapnya. Pandangan Ariel sangat menusuk. Aku tahu, aku bersikap menyebalkan.

Jadi rasanya memang harus kujelaskan padanya, aku bukan Kanaya yang dia kenal dulu.

"Maaf, Pak. Tapi saya harus begitu. Saya nggak ingin ..." Aku terdiam. Aku nggak ingin apa? Nggak ingin dia mulai bicara denganku lagi? Nggak ingin kami kerja sekantor? Nggak ingin dia kembali?

"Kamu nggak ingin orang tahu kalau kita dulu pernah pacaran?"

Kepalaku terangkat. "Kita pernah pacaran?" tanyaku lugu. Sumpah, selama mengenalnya di SMU, dia nggak pernah bilang I-Love-You! Kami hanya begitu saja, berteman secara rahasia. Jadi kapan tepatnya kami resmi pacaran?

Mata Ariel menyiratkan senyum, tapi mukanya penuh rasa bersalah dan malu. Reaksi dan kombinasi yang aneh.

"Aku memang nggak pernah nembak, tapi obrolan kita hampir tiap malam lewat whatsapp – masa kamu nggak ngeh sih, itu tanda aku suka kamu?"

Ini orang tolol atau apa?

"Nggak tahu." Jawabku singkat. "Aku anggap kamu cuma cowok kesepian yang butuh teman ngobrol."

Tiba-tiba dia tersenyum penuh kemenangan.

"Akhirnya kamu bisa beraku-kamu."

Wajahku panas. Duh, kenapa bisa keceplosan begitu sih!

"Maaf. Ralat. Saya kira Bapak waktu itu cuma butuh teman buat ngobrolin hal-hal yang nggak bisa diceritakan di depan para penggemar."

Ariel terbahak. Tawanya menggema di ruang seluas sepuluh meter persegi ini. Dari sudut mata, bisa kulihat beberapa manajer yang lewat di depan ruang Ariel. Semoga mereka nggak berpikir macam-macam. Eh, tentu nggak macam-macam, dong. Aku kan bawahannya Ariel. Wajar-wajar saja kalau dipanggil ke ruangannya.

"Kanaya, kamu itu polos banget sih? Apa nggak pernah tahu kalau cowok berusaha cari topik tiap malam untuk ngobrol sama satu cewek, itu tanda dia tertarik?"

Kalau aku dengar ini delapan tahun lalu saat kami mulai berhubungan, aku pasti kaget. Tapi sekarang semua itu sudah basi.

"Enggak." Sumpah, itu jawaban jujur.

"Oke. Berarti kamu benar-benar kuper."

Hina saja, Ariel. Hina saja.

"Maaf Pak, kalau udah nggak ada yang bisa kita bahas, saya mau kembali kerja. Laporan saya belum beres, besok sudah harus dikirim ke email Bapak, kan?"

Ariel menatap mataku tajam. Sorotnya menyiratkan rasa kesal, marah, tapi sekaligus tertantang.

"Nanti sore pulang bareng, ya."

"Kalau saya menolak?"

"Kamu lupa bicara dengan siapa?" Wajahnya penuh kemenangan.

"Asisten Manager, saya kira?"

"Betul. Tapi aku bisa keluarin kamu dari kantor ini kapan aja, Kanaya."

Aku melongo. Maksudnya apa? Dia mengancam? Memangnya seorang asisten lebih tinggi dari kepala HRD?

"Kamu bingung? Nanti sekalian aku jelasin. Makanya, kita pulang bareng."

Jadi, sepanjang hari di lantai 3, aku sulit konsentrasi. Vira bolak-balik bertanya kenapa aku baru muncul jam 9.30. Padahal aku sudah tiba sejak pukul setengah delapan, saat kantor masih sepi. Tapi dia nggak tahu. Nggak ada yang tahu. Aku menunggu sampai pukul sembilan kurang di pantry lantai 5. Terniat!

"Vir, Pak Ariel jadi nyari rumah deket-deket sini?" tanya Sonya saat kami baru selesai makan siang. Tadi kami pesan makanan karena mengejar deadline laporan yang harus diserahkan Mbak Reni pukul lima nanti. Sonya main ke kubikel kami sambil duduk di meja Vira. Aku kembali mengerjakan laporan sambil mendengarkan mereka bicara.

"Bapak belum hubungin gue. Masa sih harus ngingetin duluan. Ketauan nafsunya." Vira tergelak.

"Gue ada info tuh, rumah disewain. Deket rumah gue. Pak Ariel serius nggak sih?"

"Tanya aja," sahut Vira santai. "Deket rumah lo, buset! Niat banget nyariinnya."

"Kan tiap hari lewat. Ya kali gue sengaja nyariin." Sonya tertawa. "Tapi kalo Pak Ariel betulan serius nyari rumah, gue info deh. Cuma satu jam kurang dari sini."

"Sama dong kayak tempatnya Naya. Dia juga dekat. Satu jam-an juga ya, Nay?"

Aku terpaksa mengangguk.

"Wow! Lo udah kasih tahu Pak Ariel?" Mata Sonya membulat. Tangannya memainkan rambut ikal yang hanya sepundak.

"Nggak."

"Fiuh! Jangan kasih tahu dulu, Nay. Gue mau ajak dia ke tempat gue dulu."

Sonya memang gadis yang tahu apa yang dia mau. Sebetulnya sama seperti Vira, tapi sahabatku itu nggak genit. Sonya memakai wajah cantik dan tubuh moleknya sebagai alat mencapai tujuan. Vira nggak begitu. Makanya aku lebih suka berteman dengan Vira, dan kurang akrab dengan Sonya. Tapi kali ini aku berharap kami cukup dekat supaya bisa kuutarakan isi kepalaku:

Sonya, bisa nggak kamu ajak aja Ariel sore ini supaya aku dan dia nggak harus pulang bareng?

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang