Bab 9 - Kita Perlu Bicara | 2

7.6K 646 4
                                    

Pertanyaan itu tak pernah kami bahas lagi.

Suatu malam, seminggu setelah Kak Arka meraih gelar Sarjana Seni dari universitas terkemuka di Jakarta, dia mengajakku ikut ke pesta di klub bersama teman-temannya. Waktu itu usiaku sembilan belas, tahun ke dua di jurusan Akuntansi.

Dan aku mabuk. Pertama kalinya aku minum minuman keras. Aku nggak sadar waktu Kak Arka menggendongku ke kamar, entah kamar siapa. Yang aku ingat, aku mimpi disetubuhi olehnya. Ternyata bukan mimpi. Saat bangun pagi hari aku terlonjak melihat tubuhku tanpa busana, seluruh pakaianku berantakan di lantai. Yang lebih mengejutkan lagi, Kak Arka tidur di sebelahku, juga bugil.

Sontak aku menjerit. Sia-sia usaha Kak Arka menjelaskan apa yang sudah terjadi. Aku nggak mau dengar. Aku kotor! Aku nggak perawan lagi!

Sejak itu, nama Arka kucoret dari hatiku.

Dan sekarang, lelaki ini duduk di sofaku. Biarpun sudah kubilang pada Ariel bahwa aku nggak mau lagi membahas apapun dengan kakaknya. Dia memaksa.

"Masalah akan tetap masalah kalau nggak diselesaikan." Tegasnya suatu malam di pintu apartemenku.

"Aku nggak ada masalah sama dia."

"Jangan bohong, Naya. Kalau kamu masih gugup setiap kali ketemu, dan dia juga begitu, berarti masih ada masalah di antara kalian."

"Aku nggak mau."

"Harus. Aku nggak mau kalian begitu terus sampai kita menikah. Hubungan seperti itu malah bikin aku curiga. Lebih baik selesaikan, atau sambung saja."

Kuangkat muka dengan raut nggak percaya. Sambung saja?

"Kamu pernah cinta dia, kan?"

Kartu mati.

Arka meminta waktuku pada suatu hari Sabtu sore, dua minggu setelah kedatangannya yang tiba-tiba. Ariel di kamar Azura, Kak Arka di apartemenku. Ariellah yang menyuruh kami menyelesaikannya hari ini.

"Aku ingin kamu jawab apa kamu tahu kenapa kami nggak pulang sama-sama sehabis pesta ulang tahunnya."

Kak Arka melipat tangan di dada. Dari sinar matanya yang sangat serius, aku tahu dia menganggap ini penting untuk aku ketahui.

Aku menggeleng. Sebetulnya gelengan itu kumaksudkan supaya dia jangan membahas kecelakaan, tapi Kak Arka salah paham. Anggapannya, aku sedang menjawab pertanyaannya.

"Karla main-main denganku."

Bahasan apa ini? Main-main apa maksudnya? Well, aku pernah sih mendengar cerita teman-temanku di kelas dulu tentang 'main-main'. Artinya, mereka melakukan petting. Apa maksud Kak Arka, dia dan kakakku juga melakukan itu?

"Waktu itu dia bilang, karena udah tujuh belas, udah cukup dewasa untuk ciuman bibir."

"Memangnya sampai waktu itu kalian belum pernah ...?" Kupotong kalimatnya.

Dia menggeleng. "Aku takut. Dia kan masih di bawah umur."

Oh, pantas saja dia juga belum pernah mencium bibirku sampai aku genap delapan belas. Dia menambahkan batas usia untukku. Luar biasa sekali orang ini. Di saat teman-teman cowok di sekolah kami sudah mulai main api, Kak Arka mempertahankan idealismenya tentang pacaran.

"Jadi Karla menantang beberapa temannya untuk melakukan ciuman paling lama." Dia menatapku, lelah. "Ini semua waktu pesta sudah selesai, Naya. Kami memutuskan kumpul-kumpul di tempat parkir hotel. Kamu dan orangtuamu sudah pulang. Kamu ingat?"

Aku menggeleng. Jujur saja, waktu itu aku kurang menikmati pestanya. Aku di sana cuma sebagai pajangan untuk diperkenalkan sebagai keluarga Kak Karla. Setelah itu aku duduk di pojok, sibuk dengan Line.

Tapi ya ampun ... apa benar kakakku seliar itu? Di rumah dia biasa-biasa saja. Anak manis, pintar, dan patuh. Ternyata di luar dia bitchy.

"Terus?"

"Yah, beberapa temannya langsung ciuman dengan pacar masing-masing. Karla kasih kode padaku, ngajak ciuman. Aku nggak mau. Aku marah betul waktu itu. Kuajak dia pulang, tapi dia malah ..."

Hening beberapa saat. Kubiarkan dia mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan cerita. Kepalanya disandarkan ke punggung sofa. Matanya terpejam. Aku memperhatikannya terus, penasaran dengan kelanjutan ceritanya.

Jakunnya turun naik, pelipisnya berkedut. Bahkan urat pipinya sampai timbul. Astaga! Seberat apa dosa yang dilakukan kakakku sampai mantannya sakit hati begini setelah bertahun-tahun?

"Jangan ceritain ke siapa-siapa, ya. Biarlah orang mengenang Karla sebagai anak baik dan manis."

Aku mengangguk. Itu nggak susah. Toh Ayah nggak pernah mengajakku bicara setelah kematian putri kesayangannya. Mana mungkin aku membuka pembicaraan dengannya. Aku juga nggak pernah cerita tentang kakakku pada siapapun. Bahkan pada Ariel.

"Karla menarik salah satu teman cowoknya dan mencium bibirnya di depanku. Kamu dengar? Di. De. Pan. Ku." Dia menekan setiap suku kata dengan tegas. "Dan ciuman mereka itu ... lama, bergairah, lalu mereka saling melepas, lalu ciuman lagi lebih panas."

Gila! Gila! Kakakku pelacur! Dia gila! Ya Tuhan! Kasihan Kak Arka! Selama ini dia sakit hati karena dikhianati di depan mata!

Setitik air keluar dari sudut matanya. Aku menderita. Rasanya aku ingin Kak Karla bangkit dari kubur saat ini supaya tahu apa yang telah dia lakukan pada cowok sebaik Kak Arka.

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang