Bab 24 - Eventually | 2

7.1K 437 0
                                    

Dulu aku apatis terhadap pernikahan dan menertawakan janji sucinya.

Yang benar saja – masa ada orang mau tetap setia "pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan"? Lebih banyak contoh di sekitarku – dan di masyarakat – yang mengatakan sebaliknya. Mereka rukun ketika kaya, hancur ketika miskin. Atau sebaliknya: rukun ketika miskin, hancur ketika kaya karena selingkuh atau menikah lagi.

Keluargaku juga tidak mencontohkan yang itu. Pada waktu senang, sebelum Ayah selingkuh, mereka pasti rukun. Namun saat masalah datang dengan hadirnya aku, mereka tidak lagi saling mengasihi. Begitu terus sampai Ibu meninggal. Padahal mereka kan mengucapkan janji yang sama!

Itu sebabnya aku tak lagi ke gereja. Percuma saja menerima berkat pernikahan kalau egonya tetap di depan. Percuma berjanji di hadapan Tuhan kalau cuma untuk meresmikan, bukan mengaminkan. Semua kemunafikan itu membuatku pesimis terhadap pernikahan. Aku cuma ingin hidup sendiri, apalagi sudah nggak suci begini. Aku nggak mau itu nanti dipakai suamiku sebagai alasan untuk cari perawan.

Tapi sekarang, saat Ariel memasangkan cincin di jariku sambil mengucapkan janji itu, kok seperti menjilat ludah sendiri. Aku melihat keseriusan di wajahnya, cinta di matanya, dan kesungguhan dalam setiap kata yang dia ucapkan. Aku jadi percaya pada janji pernikahan.

"Saya, Darryl Mahardika, mengambil engkau, Kanaya Karenina, menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus. Inilah janji setiaku yang tulus."

Matanya tak putus memandangku. Aku terkejut karena dia bisa menghafalkan kalimat sepanjang itu tanpa ada salah sama sekali, tanpa jeda karena lupa. Dia mantap, yakin, dan aku nyaris menjawabnya dengan cepat: aku juga, Ariel, aku juga!

Tapi bukan begitu caranya. Aku harus mengucapkan janji yang sama. Ketika pengeras suara didekatkan ke bibirku, aku menatap Ariel tanpa kedip dari balik cadar tipis putih di depan wajah.

"Saya, Kanaya Karenina, mengambilmu, Darryl Mahardika, menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus. Inilah janji setiaku yang tulus."

Mata kami beradu selama dua detik dan dalam waktu sesingkat itu, kukirim cinta sebanyak mungkin pada Ariel. Kuserahkan semua keraguan, ketakutan, dan rasa minder yang lama menguasai diriku, kepada Tuhan dan lelaki di hadapanku. Aku percaya dia memang untukku, karena tak ada lagi lelaki lain dalam hatiku.

Aku tahu sekarang kenapa Tante Ve berkata, pernikahan harus dikerjakan. Inilah maksudnya. Ketika mudah bagiku mencintai Ariel saat dia setampan ini, maka mungkin sulit kalau dia sudah setua Ayah. Begitu juga sebaliknya, kalau aku sudah nggak semuda ini, selangsing ini. Kami harus mengusahakannya tetap kuat. Pernikahan itu, maksudku. Kami harus ingat momen ini, ketika kami saling mengambil di hadapan Tuhan. Sekarang aku benar-benar mengerti.

Ariel membuka cadar, lalu maju selangkah. Di bawah tatapan mata jemaat, dia mencium bibirku. Nggak lama, karena ibadah ini belum selesai. Tapi aku lega karena janji itu sudah terucap. Seperti ada beban berat yang hilang dari hati. Janji nikah ini berat buatku, tapi akhirnya aku bisa menghadapi tantangannya. Sekarang, yang lain terasa ringan. Aku bahkan tidak terlalu memikirkan resepsi nanti malam. Apa saja boleh terjadi, asalkan aku bisa bersama Ariel seterusnya. Selamanya.

Sampai maut memisahkan.  

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang