Bab 23 - At All Cost | 3

6.5K 491 4
                                    

Ariel menarikku ke salah satu meja terdepan. Om Abhiyasa, Tante Verena, dan seorang lelaki bule berjanggut lebat tersenyum menyambut kami. Aku mengulurkan tangan, menjabat tangan mereka satu-persatu, lalu duduk di sebelah Ariel. Suasana ruang makan ini tenang karena di atas altar di seberang meja, para pelayan kebaktian dari sebuah gereja telah bersiap.

Pemusik memainkan piano, dan lampu-lampu besar dimatikan. Hanya cahaya temaram dari lampu-lampu kecil membuat suasana berangsur hening. Aku memerhatikan tidak ada blitz kamera yang menyala sepanjang jalannya acara kecuali fotografer yang ditunjuk oleh keluarga. Mereka berseragam, jadi aku tahu kalau itu bukan dari media. Kata Ariel, ibunya melarang liputan oleh media di rentetan acara keagamaan ini. Bagus. Pasti nanti begitu juga dengan pertunangan aku dan Ariel.

Sebenarnya pertunangan agak mirip dengan pernikahan, bedanya tidak ada pengucapan janji nikah saja. Juga calon pengantin tidak memakai gaun putih. Dia bebas menentukan dress-codenya. Seperti sekarang - semua keluarga Arka dan Elvira memakai warna kuning gading.

Aku memandang Elvira yang tampil beda dengan gaun panjang berpotongan pas badan yang membuatnya lebih seksi. Riasannya juga bikin pangling. Sumpah, agak kesal juga aku karena dia merahasiakan ini. Kenapa rupanya kalau aku tahu? Seperti bukan teman dekat saja!

"Jangan berpikir buruk sama teman sendiri," Ariel mendekatkan bibir ke telingaku. Heran, dia tahu saja apa yang sedang kupikirkan. Atau jangan-jangan rasa penasaran itu kelihatan jelas di muka?

"Cuma ingin tahu apa Vira benar-benar jatuh cinta," sahutku sambil terus melihat gadis yang sedang bertukar cincin tunangan. Jujur saja aku kurang yakin pada Elvira, dan kasihan pada Kak Arka kalau dapat istri yang cuma pura-pura cinta.

"Jangan begitu, Babe. Ada banyak orang ketemu jodohnya lewat Tinder atau semacamnya, dan mereka cocok-cocok aja." Dia tersenyum miring, mengedipkan sebelah matanya lagi.

Ih, kenapa dia jadi suka menggodaku, sih? Sebel! Aku menunduk, menyembunyikan pipiku yang merona. Dia mengambil tanganku dan menurunkannya sehingga kami saling berpegangan di antara kursi. Sesekali dia meremas, sesekali telunjuknya menggeletik telapakku. Susah payah aku menahan tawa, khawatir orang menganggapku kurang sopan.

Tapi Ariel cuek saja. Ah, gemas aku melihat ekspresinya yang tanpa dosa itu. Aku nggak berani memandangnya lama-lama karena khawatir ada lensa yang terarah pada kami, menunggu momen yang tepat untuk dijadikan judul besar-besar di media.

"Jangan nunduk terus, nanti nggak bagus kalo difoto," ujar Ariel dengan suara dipelankan, tapi cukup jelas untuk kudengar.

"Aku nggak ingin difoto."

"Kamu harus membiasakan diri, Babe. Tenang. Derita kita belum seberat derita artis yang dibuntuti paparazzi, kok."

"Aku nggak mau menderita juga."

Ariel tertawa.

Aku menatap ke pasangan di depan, dan Elvira melihatku. Dia tersenyum, bahagia dan bangga. Matanya berkaca-kaca. Elvira juga jadi cengeng sekarang. Kenapa belakangan ini orang-orang gampang terharu, ya?

Saat acara pemotretan dengan keluarga, aku meminta izin pada Ariel untuk tidak ikut maju.

"Kata orang, pamali mendahului sesuatu yang kita belum pasti."

"Jadi hati kamu masih bakal berubah?" Ariel menatapku heran.

Aku menggeleng. "Cuma jaga-jaga saja. Mana bisa kita ngerasa pasti atas apa pun."

Kelihatannya Ariel bisa menerima pemikiranku, karena dia tidak memaksa. Aku berdiri di salah satu sisi, tidak lagi di meja yang tadi karena di sana tersorot cahaya. Seandainya bisa, aku ingin pertunanganku dengan Ariel nanti nggak seramai ini. Aku ingin sederhana saja, tidak usah dengan undangan orang-orang penting dari berbagai perusahaan. Tapi mungkin sulit, karena biar bagaimana akulah yang masuk dalam keluarga mereka.

Setelah sesi foto berakhir, aku maju mendekati Elvira. Dia juga melihatku, dan meminta izin pada Kak Arka untuk meninggalkannya sebentar. Aku harus ingat melakukannya juga pada Ariel untuk menghormatinya.

"Selamat, Ra! Kok nggak cerita sedikit juga? Aku kira kita sahabatan," ucapku sambil memeluknya dan cium pipi kanan-kiri.

"Say, gue sebetulnya mau cerita. Tapi ampun deh Tante Ve sibuk ngajak gue ke sana ke sini nyiapin segala macam. Mau nelpon lo saja sampai nggak sempat karena seminggu terakhir gue praktis sibuk nyiapin keluarga gue juga. Tante Ve minta gue pilihin baju dan sepatu buat lo. Suka pilihan gue?" Dia menjauhkan tubuhku sedikit dan memandang dari atas sampai bawah. Wajahnya memancarkan rasa puas.

"Ooh, ini pilihan kamu ya. Pantesan pas banget. Sempat bingung, kok Tante tahu ukuranku."

Elvira tersenyum senang. Aku meraih tangannya yang memakai cincin, lalu menatapnya.

"Kamu serius sama Kak Arka, kan, Ra? Plis jangan kecewain dia." Kupandangi dia dengan serius.

"Of course! Lo tahu nggak sih, waktu Ariel tahu gue dan Sonya suka sama dia? Ariel manggil gue dan nunjukin foto kakaknya. Dia bilang hatinya udah jadi milik kamu, dan karena tahu kita sahabatan, dia mau jodohin aku sama kakaknya."

Aku terperangah. Ariel bilang begitu waktu aku masih jaga jarak sama dia? Tiba-tiba aku terharu.

"Tapi kalian baru kenalan di rumah sakit." Kataku mengingatkan. "Dan itu baru satu setengah bulan lalu, kira-kira."

"Iya. Tapi emangnya kenapa? Sebelum itu gue udah stalking dia terus dan kayaknya kami cocok, kok. Kalau enggak, gue nggak akan berani dicomblangin. Gila saja. Kita kerja di perusahaan keluarganya, masa mau mainin hati yang punya?" Elvira tertawa. "Tenang aja, Nay. I love him through the universe. Dia tahu itu." Elvira mengedipkan mata. Senyumnya tulus.

Kupeluk dia erat. Lucu juga, kami akan jadi ipar.

"All has a price, Naya. Gue juga harus berubah supaya pantas jadi istri Arka. Lo juga sama, kan? Mereka juga begitu. Kata Tante Ve, pernikahan itu harus dikerjakan. Mungkin karena dia sendiri nggak berhasil, ya, jadi kasih nasihat dari pengalamannya."

"Such a great mother in law," ujarku. Kami sama-sama memandang Tante Ve yang masih tertawa-tawa dengan kedua putranya, suaminya, dan Om Abhi, dikelilingi oleh beberapa orang.

Well, paling enggak mereka rukun dan berteman baik.

"Pergi sana, duduk sama mereka. Kamu udah resmi jadi keluarga Abhiyasa."

Kudorong Elvira pelan ke arah meja, dan dia tidak melawan. Aku memilih menyendiri untuk sejenak. Nanti akan ada waktunya wajahku diliput media juga. Sebelum itu, aku masih ingin jadi Kanaya yang biasa saja.

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang