Bab 2 - Ariel | 2

12.7K 1.1K 14
                                    

Melihat tangan Vira terangkat setinggi telinga, Ariel mendekati kubikel kami. Jantungku berdentum luar biasa cepat. Asli, bukan begini skenario pertemuan dengan Ariel yang pernah kubayangkan. Bukan di kantor, apalagi menjadi satu divisi.

"Di mana?" tanya Ariel. Walau dia sedang memandang Vira, aku yakin sudut matanya sudah menangkap keberadaanku.

Dan herannya, dia tidak menoleh.

Apa dia sudah tahu aku ada di sini dari tadi?

"Saya bisa kasih list apartemen yang oke dalam radius sepuluh kilometer kalau Bapak butuh,"jawab Vira sambil tersenyum.

Aku lega sekali. Kukira Elvira mau mengusulkan Kintamani House.

"Kemarin sih kawan saya ini ngambil apartemen juga, cuma satu jam dari sini," sambungnya.

Reflek, kepalaku terangkat. Kutatap Vira dengan rasa tidak percaya kalau kekhawatiranku akhirnya terjadi. 

SIAL! SIAL! SIAAAAL!

Ariel menoleh, dan untuk pertama kalinya kami bersitatap.

Tiga detik yang canggung. Lalu tangannya terulur. Mau tak mau aku menyambutnya.

"Halo, salam kenal. Apartemennya di mana, kalau boleh tahu?"

Aku nggak yakin apa dia benar-benar lupa, atau bersandiwara. Kuikuti saja permainannya.

"Selamat pagi, Pak. Silakan kalau mau lihat, nanti saya mintakan brosur dari kantor pemasarannya."

Ariel terdiam sesaat, matanya menyelidiki wajahku. Aku memasang tampang bloon plus cuek, walau sebenarnya jantungku berdebar keras. Benar-benar tak bisa kutebak apa yang ada dalam pikiran lelaki di luar kubikelku ini.

Akhirnya dia berbalik, memutar badannya sambil menangkup tangan di depan dada. Dia memandang kami semua satu-persatu, bergantian.

"Oke, sekian perkenalannya. Jangan kaget kalau saya ikut dalam intern meeting kalian dengan Pak Gatot, ya. Dan seperti kata Pak Handi tadi, semua laporan tolong di-email ke saya dulu."

"Rapat berikutnya Jumat ini, Pak. Laporan harus masuk kapan?" tanya Mbak Reni.

"Rabu sore ya. Saya butuh waktu untuk mempelajari dulu."

Pak Handi mengikuti Ariel ke elevator. Sonya langsung melempar pertanyaan begitu kedua orang itu menghilang di balik pintu.

"Aneh nggak sih? Masa Pak Handi yang ngikutin Pak Ariel, bukan sebaliknya? Kan Pak Ariel cuma AsMan. Masih lebih tinggi jabatan Pak Handi, dong!" 

"Iya juga. Kelihatan banget Pak Ariel lebih superior. Padahal anak baru. Aneh ya?" timpal Mbak Reni sambil mengernyitkan kening.

"Dan caranya ngenalin diri itu --- gue curiga dia bawaannya big boss. Entah siapanya, gitu. Beda deh sama asisten Pak Gatot yang dulu, yang udah resign. Pak Handi kelihatan lebih powerful, sementara dia cuma ngangguk-ngangguk aja pas kenalan." Narita ikut nimbrung. 

Well, ternyata keramahan Ariel membuat semua stafnya curiga. 

Sementara mereka sibuk berasumsi tentang Ariel, aku membuka ponsel dan mencari akun medsosnya. Gila. Aku sudah seperti Vira, stalking-in akun orang. Tapi memang penasaran. Apa dia benar-benar Darryl teman SMU-ku, atau bukan? Kalau iya, kenapa tadi pura-pura nggak kenal?

Munafik banget aku ini! Seolah tadi nggak punya niat serupa!

Jariku menggulung layar ponsel dan menemukan namanya di sana. Fotonya juga foto dia. Relationship status: single.

Apa-apaan, kok aku jadi peduli sama statusnya!

Vira mendekati meja, dan segera kututup aplikasi Facebook sebelum dia melihat profil yang sedang kutelusuri.

"Naya, lo nggak apa-apa kan, kalo gue usulin apartemen lo ke Pak Ariel?"

Aku diam saja, pura-pura sibuk dengan tabel di komputer. Lagipula, harus jawab bagaimana? Kalau nggak setuju, Vira pasti curiga dan ingin tahu alasannya. Aku nggak mau cerita tentang masa laluku dengan Ariel. Kalau kubilang nggak keberatan, well, sebenarnya aku sangat keberatan!

"Nay,"

Kuembus nafas kuat-kuat. Vira memang suka mendesak orang menjawab pertanyaannya dan nggak akan puas kalau belum menerima respon.

"Terserah aja. Tapi tolong jangan ajak-ajak aku, ya."

"Oke. Semoga dia nggak ngajak lo juga." Dia berbalik setelah menepuk pundakku dua kali. Mukanya riang. Aku lupa kalau kemarin dia sudah kasih kode bahwa dia tertarik pada Ariel.

Sampai jam makan siang, aku dan Vira sibuk membuat laporan neraca dan laba rugi supaya bisa diserahkan pada Bu Reni besok pagi. Kubikel lainnya juga hening, sibuk dengan tugas masing-masing. Deadline yang dipercepat dua hari gara-gara laporan harus lewat Ariel dulu membuat lantai 3 mendadak sesepi kuburan.

"Makan siang di mana nih kita?" Sonya berdiri sambil memutar pinggang ke kiri dan kanan. "Pegal banget gue hari ini."

"Di seberang aja yuk, nasi uduk ayam bakar," usul Vira.

Semua setuju. Selain lokasinya dekat – aku yakin kami berenam masih punya tumpukan pekerjaan sampai sore nanti – ayam bakarnya juga enak. Sambalnya pedas manis lezat luar biasa. Baru membayangkannya saja, air liurku terbit. Aku jarang makan di luar. Biasanya membawa bekal dari rumah. Tapi gara-gara pindah, aku belum sempat mengisi kulkas.

Kuraih ponsel dari dalam laci meja. Sebelum memasukkannya ke dalam tas, kulihat layarnya menyala. Pesan masuk dari Facebook. Aneh. Siapa yang menghubungiku lewat Facebook? Akunku pasif.

"Aku nggak ngira kamu lagi online. Makan bareng yuk? Naik ke lantai 5 kalau kamu nggak mau yang lain lihat kita pergi bareng."

Mataku mengerjap, membaca nama si pengirim pesan.

Darryl.

*** 

*** 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang