Bab 21 - A Time to Think | 2

6K 526 0
                                    

Aku terdiam, mataku lurus menatap jalan tol yang cukup lengang. Seharusnya ini saat yang tepat untuk menceritakan harapan Azura tentang bayinya, tapi raut wajah Ariel yang sedang nggak enak dilihat itu menahanku. Jangan-jangan nanti dia makin menyalahkan diri sendiri.

"Menurutku, bayi itu harus diadopsi dari sekarang supaya jelas orangtuanya." Ariel menjawab sendiri.

Kepalaku menoleh cepat. "Diadopsi sama siapa?" tanyaku cemas.

"Entahlah. Arka? Atau aku? Tapi kami belum punya istri. Mana bisa merawatnya? Atau mending dikirim ke Panti Asuhan?"

"Jangan taruh dia di panti!"

Aku sendiri terkejut mendengar suaraku yang terdengar sangat tegas. Ariel menoleh heran. Mula-mula alisnya berkerut, tapi kemudian dia tertawa. Aneh. Kenapa ketawa?

"Kenapa kamu marah? Kamu punya usul lain?"

Aku menarik napas. Lebih baik kuceritakan saja tentang harapan Azura, daripada Ariel punya pikiran memberikan bayi itu untuk diadopsi.

"Azura bilang, dia ingin kamu dan aku yang membesarkan bayinya."

Untuk beberapa lama, tidak ada respon dari Ariel. Matanya tetap tertuju ke jalan, tapi raut wajahnya kelihatan tegang. Aku nggak tahu bagian mana dari kalimatku yang membuat dia bereaksi seperti itu - seolah usulku itu nggak masuk akal. Padahal sebelum ke Jepang, dia sudah mengajakku menikah spontan. Kenapa sekarang dia nggak berpikir untuk menikah?

"Naya," panggilnya pelan.

Aku memiringkan tubuh, menghadapnya. Jakun Ariel naik turun. Pelipisnya berkedut.

"Dengar cerita tentang kenapa Azura meninggal, aku jadi takut."

"Takut apa? Kematian?"

"Aku takut kamu juga meninggal kalau melahirkan nanti."

Hah?

Kenapa jadi terbalik begini? Tadinya aku yang takut menikah, bukan karena melahirkan atau apa, tapi takut nggak bisa jadi orang tua yang baik. Sekarang setelah aku mulai yakin, justru Ariel yang mundur?

"Jadi, mau kamu ... apa?"

Gosh, semoga Ariel nggak bermaksud minta putus. Semoga dia cuma minta waktu untuk berpikir. Aku mengerti kalau dia takut kehilanganku selamanya, sama seperti waktu dia nggak ada kabar kemarin sehabis gempa.

Ariel menarik napas yang sangat panjang sebelum menjawab.

"Aku ... umm ..., kita ..."

Sekali lagi dia meneguk saliva. Ingin kubentak dia supaya meneruskan kalimat dengan cepat.

"Aku nggak mau putus sama kamu, Naya, tapi ..."

A-apa? Ariel memutuskan aku?

Kami udahan?

"K-kenapa?"

Dia mengulurkan tangan untuk mengambil tanganku, tapi aku menolak. Aku nggak mau dihibur. Harus jelas dulu apa maksud kalimatnya tadi!

Mata Ariel menatapku sekilas, tapi bisa kulihat penyesalan di sana.

"Aku cuma nggak ingin kamu jadi punya tanggung-jawab tambahan. Bayi itu bukan siapa-siapamu. Dia tanggung-jawab keluarga kami. Kamu nggak perlu jadi susah."

"Riel!" Aku merintih, putus asa. Aku marah dan kecewa karena dia bertindak seperti pecundang. Aku belum pernah marah pada Ariel, tapi sumpah, yang dia bilang itu sudah sangat kelewatan!

"Serius kamu mau kita putus?" tanyaku lagi dengan nada putus asa dan nggak percaya.

Dia nggak menjawab. Bibirnya terkunci rapat. Tapi aku mengerti.

Ariel tidak - atau belum - mau melanjutkan hubungan kami ke arah yang lebih serius. Aku harus gimana? Masa aku yang lebih ngotot sekarang?

"Bukan putus seperti itu, Babe. Tapi ..." Jakunnya turun naik lagi. "Kalau kamu mati cuma gara-gara melahirkan bayi kita, aku nggak akan bisa maafin diri sendiri, ngerti?" Ariel terdengar lebih putus asa. Perkara ini ternyata begitu berat bagi dia.

Kubuang pandangan ke jalan tol dalam kota menuju Jakarta bagian selatan, tapi pikiranku bukan di sana. Aku tahu Ariel sangat mencintaiku, tapi tidak kusangka dia sampai takut mengambil risiko kehilangan sebesar itu.

Sebesar risiko mati karena melahirkan bayi kami.

Jadi kalau dia nggak mau melanjutkan hubungan ini, aku juga nggak bisa memaksa karena pernikahan itu harus keputusan dua orang.

Jadi kalau dia nggak mau melanjutkan hubungan ini, aku juga nggak bisa memaksa karena pernikahan itu harus keputusan dua orang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ariel belum pernah lagi menghubungiku sejak itu - sampai sekarang sudah hampir tiga minggu. Padahal dia ada di Jakarta, nggak ke mana-mana. Dia juga sesekali menginap di apartemen Azura, tapi nggak pernah memberitahuku kapan. Aku melihat mobilnya keluar dari halaman parkir Kintamani House dari jendela lantai 5. Sedih rasanya, dijauhi seperti ini.

Betulan, aku nggak mengira Ariel bisa sekanak-kanak itu. Nggak adakah cara lain?

"Gue rasa dia cuma butuh waktu berpikir, Nay."

Elvira tersenyum di seberang mejanya. Sengaja aku minta dia makan di ruangannya saja siang ini, nggak usah sama teman-teman. Aku memesan makanan lewat aplikasi untuk bekal siang kami.

"Dia nggak bilang gitu."

"Cowok memang gitu. Nggak semuanya diucapin. Kebanyakan cuma disimpan di kepala. Kita harus pinter-pinter mancing apa maksud dia."

"Bukannya cewek ya, yang kayak gitu?"

"Nope. Cewek justru lebih cerewet."

Aku nggak cerewet. Tapi karena tahu maksud Elvira, aku diam saja. Nasi rendang masih setengah porsi dan aku sudah kekenyangan.

"Jangan terlalu mikirin Ariel. Lihat tuh badan lo tambah kurus. Pipi lo tirus. Kalo Ariel sudah insyaf dari galaunya, gimana dia mau naksir lo lagi?" ucap Elvira tanpa segan sambil menyuap sesendok penuh nasi ke mulutnya.

Kupandangi tanganku yang memang tambah kurus.

"Naya, dia nungguin lo selama ini, masa sih mau ngelepas lo gitu saja cuma gara-gara adiknya meninggal melahirkan?"

Dia benar, sih. Dan aku jadi ingat sesuatu.

"Azura meninggal kenapa, sih? Kamu tahu?"

"Rahim robek. Pendarahannya hebat."

Rahim robek. Mengerikan sekali. Baru aku sadar bahwa setiap proses persalinan benar-benar sabung nyawa bagi si ibu. Azura yang malang ...

"Kamu tahu dari siapa?" tanyaku lagi,

Mendadak mukanya merah. "Eum ... Arka."

Eh? Sejak kapan dia cuma memanggil nama? Aku saja masih memakai embel-embel 'Kak'.

Sepertinya aku terus menatap Elvira dengan pandangan bertanya-tanya, karena tiba-tiba saja dia tersipu. Elvira malu-malu? Pertanda apa? Rasanya aku bisa menebak.

"Kamu naksir Kak Arka sekarang?"

"Ngeremehin gue banget." Elvira mencibir. "Dia naksir gue duluan," imbuhnya dengan hidung kembang-kempis.

Aku tertawa. Elvira menatapku dengan kasih sayang seorang sahabat.

"Lama lo nggak ketawa, Naya. Gue senang kabar ini bikin lo sesenang itu. Ariel pasti balik. Lo harus percaya gue."

Andai aku punya keyakinan seperti Elvira.

***

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang