"Kanaya," panggil Ariel dengan suara pelan. Aku menoleh, menatap tangan yang mampir di pundak kanan. "Aku boleh ikut ke apartemenmu?"
Mendadak bulu kudukku merinding. Tubuhku diam, tegang. Sepertinya Ariel bisa merasakan otot yang mengeras di balik kemejaku.
"Kamu takut sama aku?" Dia mengernyit heran.
Kuteguk saliva dengan susah payah. Tiba-tiba udara di dalam mobil terasa pengap. Kami belum membuka pintu sejak tadi, tapi sebetulnya belum cukup lama untuk membuat oksigen di dalam sini habis.
Aku menggeleng, memaksakan diri. Ariel tersenyum tipis. Dia menang lagi. Kenapa aku selemah ini di depannya!
Ariel tidak bicara apa-apa selama kami menuju lantai 5. Mungkin mukaku begitu tegang, sampai-sampai dia nggak berani berdiri dekat-dekat. Saat aku membuka pintu kamar, dia berdiri di sebelah memandangi wajahku.
"Kenapa kamu selalu tegang?"
Pintu terbuka. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku masuk. Ariel mengikutiku, menutup pintu di belakangnya, lalu menuju satu-satunya sofa di kamar ini.
Aku duduk dengan hati-hati di sebelahnya. Kepala Ariel bersandar di punggung sofa dengan kedua tangan sebagai bantal. Kedua kakinya terbuka lebar. Posisinya begitu ... seksi.
Ya ampun! Pikiran apa ini!
"Kamu mau mandi dulu?" tanya Ariel dengan mata terpejam.
Aduh! Pasti badanku bau, sampai dia menyuruhku mandi!
"Kamu kelihatannya tegang, Kanaya. Mungkin mandi bisa bikin otot-otot kamu rileks."
"Oh," ujarku dengan muka merah. "Karena aku nggak tahu kamu mau ngapain ke sini, Ariel."
Dia menoleh. Posisinya tetap sama. Aku nggak bisa mengontrol debar jantungku yang makin cepat saat senyumnya mengembang. Kak Arielku, cinta masa SMU. Dia masih memesona seperti dulu. Dia masih membuatku salah tingkah setiap kali berdekatan seperti ini.
"Aku ke sini karena kangen sama kamu, Nay."
Aku meneguk ludah saat tangannya yang kekar turun dan meraih jemariku. Dia mengusap punggung tanganku perlahan, mengalirkan rasa hangat dari sana sampai ke ubun-ubun. Tak sadar, mataku terpejam.
Bisa kurasakan gerakan tubuh Ariel yang mendekat. Tanpa melihat, aku tahu wajahnya hanya sekian sentimeter jauhnya dari wajahku. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku membuka mata dengan mendadak.
"Aku cinta kamu, Kanaya. Maaf selama ini aku nggak pernah bilang."
"A-aku ..."
"Kamu juga cinta aku, kan?"
Tentu, Ariel. Aku lebih dulu jatuh cinta padamu. Sebelum kamu menyapaku di ruang loker bola waktu itu, aku sudah sering mengagumimu dari jauh.
Tangan Ariel naik ke rahangku. Jempolnya mengusap kelopak mata, tulang pipi, lalu dagu. Dan tetap di sana, mengusapnya pelan berulang-ulang. Rasanya jantung ini makin tidak terkontrol.
Lalu wajahnya mendekat. Matanya tidak berpaling sedikitpun, membuat aku gemetar sekaligus berdebar. Bagian dalam perutku terasa geli, seperti ada ratusan kupu-kupu mengepak sayap di dalamnya.
Ketika ujung hidungnya menyentuh hidungku, reflek aku menutup mata. Persetan dengan kenangan akan Arka – aku ingin Ariel!
Bibirnya yang tipis dan lembut menyapu bibirku. Mula-mula hanya berupa kecupan singkat dan ragu-ragu, tapi karena aku diam saja, izin itu otomatis diberikan. Jemarinya menyusup di tengkuk, menarik aku lebih dekat. Embusan napasnya semakin cepat, sama seperti aku. Tanganku naik ke punggungnya, dan dia mengetatkan pelukan di pinggangku. Berikutnya hanya ada suara kecupan dan rintihan pelan yang keluar dari mulut kami.
Wangi tubuh Ariel membiusku. Semakin lama, ciumannya semakin menuntut. Dia mengangkat pinggangku dan menaruhku di pangkuannya. Dahi kami bertemu. Kulingkarkan tangan di lehernya, dan dia menarik tubuhku lebih dekat.
"Kanaya," Ariel berbisik. Suaranya parau, matanya menatapku penuh hasrat. "Aku ingin kamu jadi istriku."
Kata 'istri' sontak membuatku menjauh darinya. Ariel yang nyaris mencium bibirku lagi, menatap heran.
"Ada apa?"
Perlahan-lahan akal sehatku kembali. Lihat dirimu, Naya! Murahan banget? Baru berduaan sehari saja sudah begitu mudah menyerahkan diri! Kamu nggak pernah berubah, Naya!
Aku turun dari pangkuannya, duduk menjauh di ujung sofa. Ariel membetulkan kemejanya yang kusut, lalu memutar tubuh untuk menatapku.
"Kenapa? Kamu belum ingin nikah?"
Hening. Aku sibuk mengatur napas setelah ritme jantung yang begitu cepat.
"Kita udah seperempat abad, Naya. Menurutku, kalau memang ada cinta di antara kita, baiknya menikah aja."
Aku masih diam. Bayangan seorang lelaki di atas tubuhku bertahun lalu kembali mendesak masuk ke dalam otak. Tuhan, aku sekotor ini!
"Kanaya, ngomong dong?"
"Ariel," akhirnya aku menatap mata lelaki itu. Raut wajahnya penuh kebingungan. Aku nggak bisa menebak seperti apa mukanya setelah berita yang kusampaikan sebentar lagi.
"Aku udah nggak perawan, Riel. Dan aku berbuat itu dengan Kak Arka."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Between Us [Completed]
RomanceDitulis oleh evenatka untuk event BerKARya bersaMA Kamaksara, 1 Oktober - 30 November 2019. Terima kasih KamAksara buat event yang luar biasa. Ini novel keempat yang selesai tahun ini - horee! Doakan novel ini naik cetak yah.