Bab 24 - Eventually | 1

7K 478 5
                                    

AYAH mengulurkan tangan padaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

AYAH mengulurkan tangan padaku.

Hari ini dia memakai setelah jas hitam yang kupesan khusus dari butik yang sama dengan tempat Ariel memesan jasnya. Tapi aku bayar sendiri, tidak mau dibayari Ariel. Aku ingin memberi sesuatu untuk Ayah dengan uangku sendiri. Untuk pertama kalinya, aku membelikan sesuatu.

Kusambut tangannya dan kugenggam. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar dan matanya berbinar. Dia kelihatan sangat bahagia dan bangga, dan aku senang karena belum pernah bisa membuatnya seperti ini sampai sekarang.

"Kamu siap, kan, Naya?" Ayah mengusap punggung tanganku yang dilapisi sarung tangan putih berenda dengan jempolnya.

"Siap, Yah. Naya nggak perlu tanya kesiapan Ayah, kan?"

Dia tersenyum lagi, tapi kali ini dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu itu ... apa benar-benar pernah benci Ayah, Nay? Soalnya kamu tetap berusaha mengabulkan keinginan Ayah, menikah sebelum Ayah mati."

Aku memeluknya, menaruh kepalaku di dadanya yang sudah tidak sebidang dulu karena berat badannya yang turun.

"Pernah, Ayah. Naya pernah bertekad nggak akan mau pulang lagi biarpun Ayah mati."

"Lalu, kenapa berubah?"

Kudongakkan kepala dan kutemui sorot penasaran di mata Ayah,

"Naya pernah hampir kehilangan Ariel. Naya hampir putus asa dan pengin mati aja kalau selamanya nggak ketemu lagi sama Ariel. Lalu Naya ingat Ayah." Kuelus pipinya. Ada setetes air mata di sudut matanya yang mulai keriput. "Nggak mau Ayah sesedih itu kalau nggak ketemu lagi sama Naya."

Dia mengecup keningku hati-hati, khawatir merusak tatanan rambut dan rias wajahku. Sebuah kecupan yang lama kudamba ketika aku masih kecil hingga remaja. Sebuah kecupan yang aku tahu nggak akan pernah kudapat ketika aku duduk di SMU. Saat itu aku sadar, selamanya aku adalah hama dalam keluarga.

Sekarang Ayah mengecupku dan bibirnya juga gemetar. Mungkin Ayah lupa cara mengecup kening seorang anak perempuan, karena satu-satunya yang dia kecup hanyalah Kak Karla dan itu sudah lama sekali. Mungkin juga Ayah baru ingat bahwa ini kali pertama dia menciumku. Nggak tahulah. Yang jelas, aku memaafkannya untuk itu. Untuk tahun-tahun yang sia-sia selama ini.

"Berapa lama lagi?" Ayah memandang jam tangan.

"Lima belas menit."

Aku menoleh pada pengiring pengantinku yang memegang bunga. Aku nggak punya teman akrab lain selain Elvira, dan dia nggak mungkin jadi pengiringku. Jadi kupilih saja Narita. Sedang Ariel – dia juga meminta Ko James menjadi pengiringnya. Ariel tipe orang yang nggak mau ribet. Dan aku senang karena dia nggak keberatan supaya pernikahan kami sederhana saja.

Iya, sederhana.

Berbeda dengan pernikahan Kak Arka dan Elvira yang dilangsungkan dua minggu setelah pertunangan mereka, pernikahan kami diadakan di sebuah gereja yang biasa kuhadiri sampai masa remaja. Juga, aku dan Ariel nggak pakai acara tunangan dulu. Dia melamarku di rumah Ayah. Hanya dia dan keluarganya saja, dan hanya ada aku dan Ayah. Itu cukup. Aku meminta pada Tante Ve, supaya kami tidak usah dipublikasikan semeriah Kak Arka dan Elvira. Tante Ve nggak keberatan. Kurasa, dia juga lelah mengatur dua pernikahan yang jaraknya lumayan dekat. Aku dan Ariel menikah dua minggu setelah pernikahan Arka dan Elvira. Bisa kamu bayangkan capeknya.

"Bungamu," ucap Narita sambil menyodorkan karangan mawar putih dan merah muda ke tanganku. Dia membetulkan cadar, merapikan gaun, dan menyapukan sedikit bedak lagi ke pipiku. "Kalau mau nangis, aku ada tissue. Tinggal kasih kode ke aku," imbuhnya sambil tersenyum.

Terdengar permainan musik di balik pintu tempat kami berdiri. Ayah menggamitku.

"Hari ini Ayah serahkan kamu ke laki-laki pilihanmu. Semoga bahagia, Sayangku. Maafkan Ayah." Dia mengucapkan kalimat itu dengan berbagai ekspresi yang bisa kutangkap: haru, bangga, menyesal, dan cinta.

Oh, jangan nangis dulu, Naya. Aku mengedip berkali-kali supaya air yang sempat mengambang masuk lagi ke dalam mata.

Seorang pelayan gereja membukakan pintu yang membatasi ruang ibadah utama dengan ruang kecil tempat kami menunggu.

Mataku terbuka lebar. Para undangan berdiri, membentuk lorong panjang yang harus kulalui bersama Ayah. Aku kenal beberapa wajah – mereka adalah teman-teman semasa remaja, waktu aku masih rajin ibadah. Sejak SMU aku tidak lagi ke gereja. Mungkin aku harus mulai lagi berdoa dengan benar, bukan sekedar mengucap nama Tuhan tanpa sungguh-sungguh mengalamatkan permintaanku padaNya.

Sebab, aku telah mendapat terlalu banyak hal baik yang rasanya bukan sekedar keberuntungan. 

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang