Bab 20 - Divine Will | 2

5.6K 537 11
                                    

Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan di rumah sakit.

Kak Arka akan mengurus semua proses penerimaan jenazah pagi ini. Om Abhi yang tadinya berkeras mau tidur di ruang tunggu, akhirnya menurut pada saran Kak Arka yang tegas memintanya pulang dan istirahat. Sebetulnya Kak Arka menawariku tumpangan pulang, tapi Elvira bilang dia akan menginap di apartemenku.

Di tempat tidur yang sebenarnya hanya untuk satu orang, aku dan Elvira berbaring dengan mata menatap langit-langit. Dada terasa sesak, ingin rasanya berteriak memanggil Ariel. Tolong, Tuhan, lindungi dia! Jangan ambil juga Ariel. Terlalu banyak kematian yang sudah kuhadapi. Aku nggak akan sanggup lagi kalau Kau pun memanggilnya pulang. Aku akan ikut pulang bersamanya, Tuhan, Kau dengar?

"Naya, udah ..."

Elvira memiringkan tubuh ke arahku. Aku masih telentang sambil mengerjapkan kelopak mata supaya air nggak mengambang di pelupuk. Dadaku naik turun dengan cepat seiring isak dan kesedihan luar biasa yang menggerogoti jiwa.

Sulit dipercaya, apartemen Azura kini kosong. Sulit dipercaya kalau gadis belia yang sebenarnya menyenangkan itu sekarang sudah nggak ada. Sulit dipercaya bahwa akhirnya bayi yang dia bela-bela supaya lahir dengan selamat, justru jadi seorang piatu.

Azura menunggu-nunggu bayinya lahir, tapi dia sendiri nggak bisa bertemu.

"Ra," bisikku setelah cukup tenang.

"Hm."

"Aku mungkin harus ke rumah Ayah pagi ini."

"Untuk?"

Kuembus napas perlahan-lahan. Menunggu. Itulah yang dilakukan ayahku. Dia menunggu dengan cara tidur di ruang keluarga. Delapan bulan dia menungguku pulang. Baru dua hari saja aku menunggu kabar dari Ariel, rasanya sudah mau mati.

"Minta maaf."

Elvira meraih jemariku dan meremasnya. "Keputusan yang baik, Nay." Dia berbalik memunggungiku dan mematikan lampu tidur. Kamar gelap gulita. "Tidur yuk. Besok gue anterin lo pulang."

***

Sesuatu membuatku membuka mata dengan tiba-tiba.

Ada suara getar dari atas rak di seberang tempat tidur. Untuk beberapa saat aku kehilangan fokus. Bunyi apa itu? Getaran yang terus-menerus! Kutegakkan tubuh agar duduk, sambil mencoba mengumpulkan jiwa. Di sebelah, Elvira masih pulas.

Kamar gelap sekali. Lampu tidur di sebelah Elvira, jadi aku berdiri dan berjalan pelan-pelan menuju rak. Entah di mana ponselku saat ini. Aku butuh cahaya.

Eh, ponsel?

Ponselku di dalam tas, dan tasku di atas rak! Ponselku yang bergetar di dalamnya!

Nggak sabar, aku menuju pintu dan menekan saklar. Aku mengerjap berkali-kali untuk membiasakan mata dengan cahaya.

"Uh, ada apa, Nay?" Elvira menggeliat.

Aku nggak menjawab. Kutarik tas dan kubuka dengan nggak sabar. Ponselku menyala, bergetar karena fungsi silent yang otomatis terpasang setelah tengah malam. Kuraih benda pipih itu dan kubaca layarnya.

Ariel memanggil ...

Aku terkesiap. Semoga ini betulan Ariel, bukan orang yang menemukan ponselnya dan menelponku karena ...

Kupotong pikiran buruk itu dengan menekan tombol jawab.

"Ariel?" Seruku tertahan. "Ini kamu?"

Ada latar berisik di seberang sana, tapi kemudian suara yang kukenal menyapa.

"Kanaya?"

Aku mundur dan menjatuhkan diri di tempat tidur. Ariel selamat! Air mataku mulai menitik, makin lama makin deras.

Ya Tuhan! Terima kasih! Terima kasih! Jutaan terima kasih!

"Kamu di mana, Riel?"

Mendengarku menyebut nama lelaki itu, Elvira segera duduk di sebelah dan memeluk pundakku. Dia menangis. Kami sama-sama menangis. Ini berita gembira, tapi aku harus memberitahukan kabar dukacita pada Ariel.

"Aku udah di Bandara. Maafin aku, Sayang. Nggak ada sinyal selama dua hari di sana. Aku tahu kamu pasti cemas."

"Kamu di mana waktu gempa?" tanyaku nggak sabar.

"Rumah teman, di pinggir Tokyo. Nggak parah rusaknya. Kami semua berusaha hubungi keluarga masing-masing, tapi mungkin salurannya terlalu sibuk untuk emergency." Dia menarik napas. "Tiga jam lagi aku sampai di apartemenmu."

"Riel ..."

"Apa?"

Bagaimana caranya menyampaikan berita duka?

"Kamu udah telpon Kak Arka?" Aku bertanya hati-hati.

Di ujung sana, Ariel nggak langsung menjawab. Hanya terdengar tarikan napas panjang.

"Udah," jawabnya pelan.

Jadi dia sudah tahu. Aku lega karena nggak harus menyampaikan kabar buruk itu padanya. Untunglah Ariel menelepon keluarganya lebih dulu.

"Kamu ke rumah sakit dulu aja, Riel. Temenin Kak Arka. Kasihan dia, seharian kemarin pusing mikirin kamu dan Azu---"

Kata-kataku terpotong. Nggak sanggup rasanya menyebut nama itu.

"Aku ingin ketemu kamu juga, Naya."

"Nanti aku nyusul. Ke rumah ayahku dulu. Sama Vira."

"Hmh. Oke. Cepat ya, Babe. I miss you." Lalu dia mengecup dari seberang sana.

"Miss you too," balasku, tanpa kecupan.

Aku ingin menciumnya langsung. Aku ingin menubruk dadanya, menyurukkan kepalaku di sana, mencium wangi tubuh dan parfumnya yang sangat kurindu. Aku ingin menangis di sana, sedih karena adiknya, dan lega karena kekasihku sudah pulang dengan selamat. Aku ingin menyampaikan pesan terakhir Azura: bayi itu harus kami besarkan bersama. Azura ingin kami jadi orangtua bayinya.

Aku ingin bilang padanya, aku cinta dia. Dan kami harus segera menikah. 

*** 

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang