Bab 14 - Love, Hate | 2

5.9K 506 0
                                    

"Kak?" panggilnya dengan mata membulat ketakutan.

Tidak biasanya Azura menyambutku seperti ini. Tangannya masih menahan pintu. Ada siapa di dalam?

"Zura? Aku bawakan buah dan buku. Boleh masuk?" Aku malahan nggak pernah perlu minta izin untuk masuk sebelum ini.

Azura kelihatan ragu-ragu. Aku makin yakin dia menyembunyikan sesuatu – atau seseorang. Jadi bingung – haruskah aku memaksa masuk, atau sebaiknya pulang saja? Soalnya toh dia bukan apa-apaku. Bukan kerabat, bukan teman dekat.

Tiba-tiba ada tangan yang mendorong pintu dari arah belakangku.

"Azura! Buka!" Ariel mendesis galak sambil mendorong pintu dengan keras.

Pintu itu terbuka lebar dengan tiba-tiba, membuat Azura mundur karena keningnya kena. Dia meringis sambil mengelus bagian tengah wajahnya.

"Hati-hati dong, Riel!" kataku cemas melihat air mata Azura mengambang di pelupuk matanya.

Ariel seperti tidak mendengarkan aku bicara. Alih-alih memeriksa keadaan adiknya, dia masuk lebih ke dalam dan membuka pintu kamar Azura. Detik berikutnya dia membentak dengan keras.

"MAU APA KAMU DI SINI?"

Astaga! Siapa sih?

Penasaran, aku bergerak maju. Namun saat baru mau jalan, kudengar Azura terisak. Kutahan langkah dan segera berbalik untuk mencegah gadis itu mengejar kakaknya. Ariel sedang marah besar. Aku khawatir Azura celaka kalau dekat-dekat. Sekuat mungkin aku menahan gadis itu di ruang keluarga. Tanganku melingkari pundaknya, dan dia tersedu di pundakku.

Sementara di kamar Azura, Ariel masih berteriak.

"KAMU TAHU SAYA SIAPA? AZURA SIAPA? MACAM-MACAM SAMA ADEK SAYA, HABIS KAMU!"

Orang yang sedang dibentaknya itu meminta maaf berkali-kali. Seorang lelaki. Dari suaranya sepertinya dia masih muda. Kekasih Azura? Aku yakin sekali dia cowok berengsek itu. Pantas saja Ariel marah.

"APA KATAMU? BUKAN APAAN? LALU MAU APA DATANG KE SINI?"

Di pelukanku, Azura masih terisak. Tangannya mengelus perut yang membulat begitu besar, berkali-kali. Kuelus pundaknya supaya dia tenang.

"Kak ... Kak Ariel s-salah paham ..." ucap Azura terbata-bata.

Kupandangi dia dengan heran, berusaha mencerna kalimatnya barusan.

"Maksud kamu? Dia bukan yang hamilin kamu?"

Azura menggeleng sambil menyeka mata dan pipi yang basah.

"D-dia memang orangnya, Kak ..."

Azura nggak sanggup meneruskan kalimatnya. Aku bingung setengah mati. Sementara itu Ariel menarik si pemuda keluar dari kamar dengan paksa. Tangan kekarnya mencengkram kerah kemeja seorang bocah bertampang SMA, lalu mendorongnya ke lantai. Anak muda itu mengaduh pelan, tapi sama sekali nggak mengucapkan sepatah kata. Dia menahan tubuh dengan kedua tangan, lalu berusaha bangkit. Setelah berdiri tegak, dia menunduk menatap lantai.

Kuperhatikan cowok yang tetap tenang itu. Dia berkulit terang dan berambut gaya urakan. Tapi gaya itu tidak bisa menyembunyikan ketampanannya. Nggak heran Azura suka. Kurasa anak ini termasuk idola sekolah.

"Azura! Kamu lagian! Bego! Ngapain masih ketemu sama bocah sialan ini?" Ariel memelototi Azura dengan muka merah padam.

Azura tersedu.

"D-dia .. cu-cuma ingin lihat A-azura, Kak!"

"MAU NGAPAIN? NGAJAK NIKAH NGGAK? ATAU CUMA MAU ENAK-ENAKNYA AJA?"

Dengan tangan terlipat di depan dada, ekspresi Ariel sangat garang. Bulu kudukku merinding melihat murka yang menguasainya. Mendadak aku teringat Ayah yang selalu memarahiku dan almarhum Ibu yang selalu berjengit melihatku. Kepalaku seperti berputar. Tiba-tiba aku merasa takut dan cemas. Apa Ariel selalu seperti ini kalau sedang marah?

"S-saya dipanggil Zura, Kak." Akhirnya pemuda itu bicara dengan penuh ketakutan. "Saya bukan mau macam-macam."

"BUKAN MAU MACAM-MACAM? DATANG KE SINI AJA KAMU NGGAK BOLEH, TAHU!"

"Ariel," aku memanggilnya lembut setelah berhasil mengatasi ketakutan. Ariel menoleh heran, seolah baru sadar kalau dari tadi aku ada di sini. "Dengerin dulu. Malu kalau suaramu kedengaran ke kamar-kamar sebelah."

"Ini apartemen, bukan rumah petak!" Ariel berdecak kesal. "Kamu kira dindingnya cuma selapis?!"

"Pokoknya jangan teriak-teriak." sahutku dengan tatapan memohon. Semoga dia tahu, aku takut sekali melihat kemarahan yang meluap-luap ini.

Tanpa menggubris perkataanku, Ariel menudingkan jari ke pintu sambil menatap si anak muda.

"Keluar dari sini. Awas kalau berani datang lagi!"

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang