Bab 22 - Just In Time | 1

6.1K 516 0
                                    

JUJUR saja, aku mulai menyerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JUJUR saja, aku mulai menyerah. Ariel nggak pernah menghubungiku. Aku ingin banget punya inisiatif cukup besar untuk duluan bertanya, tapi susah banget untuk jadi berani.

Mungkin, Ariel nggak sekuat yang kukira. Dan aku nggak senekad yang kupikirkan selama ini. Aku berani keluar dari rumah, tapi takut memperjuangkan cintaku pada Ariel.

Jumat siang, pukul 12.43.

Sehabis makan siang dengan teman-teman di lantai 3, Bu Reni (aku berhenti memanggilnya 'Mbak' sejak beliau menggantikan Pak Gatot) memanggilku lewat telepon interkom. Dia minta aku ke ruangannya di lantai 5.

Sambil berjalan menuju elevator, otakku sibuk berpikir. Aku salah apa? Rasanya laporan sudah lengkap, sudah rapi. Pekerjaanku sekarang memang bertambah – tanggung jawab Elvira yang dulu sekarang jadi tanggung jawabku sampai kami dapat pengganti Vira. Tapi semuanya sudah selesai. Vira sendiri yang memeriksa. Jadi kenapa aku dipanggil? Dua setengah tahun bekerja, belum pernah sekalipun aku melakukan kesalahan sampai harus dipanggil oleh atasan.

Ruang kerja Bu Reni bersebelahan dengan ruang Elvira, yang pintunya lebih sering terbuka. Aku melongokkan kepala saat melewatinya. Dia mengernyit melihatku.

"Dipanggil sebelah," bisikku tanpa suara sambil menunjuk pintu ruang Bu Reni yang tertutup. Elvira mengangguk, tapi keningnya tetap berkerut.

Kuketuk pintu kaca bewarna hitam itu dua kali. Terdengar suara Bu Reni menyilakanku masuk.

Ruangan ini lebih besar daripada ruangan Elvira. Selain meja kerja dan lemari berkas, juga ada sepasang sofa yang saling berhadapan, dibatasi meja kopi. Perempuan berkacamata itu berdiri dan tersenyum ramah. Tangannya menyilakan aku duduk di sofa.

Otakku masih berputar memikirkan apa yang telah kubuat dengan cara salah.

"Maaf ya Nay, saya bikin kamu takut begitu," Bu Reni tersenyum lebih lebar. "Bukan salah apa-apa kok. Ini di luar pekerjaan."

Aku semakin bingung. Di luar pekerjaan – maksudnya apa ya?

Bu Reni berdiri sambil tersenyum lagi. Kenapa ya dia jadi banyak senyum begitu? Aku makin curiga.

"Sebentar, ya. Kamu tunggu di sini. Ada yang mau ketemu sama kama," ujarnya sambil menuju pintu dan meninggalkanku.

Oh, baik. Sekarang aku benar-benar gugup. Apa aku dipecat? Tapi kalau iya, harusnya Pak Handi yang memanggilku. Atau aku melakukan kesalahan fatal yang harus kupertanggungjawabkan sekarang juga di depan direksi? Tapi atasanku adalah Bu Reni, harusnya dialah yang menanyaiku kalau ada masalah pekerjaan. Jadi aku tetap bingung sampai kemudian pintu terbuka lagi, dan Bu Reni muncul.

Aku kaget sekali sampai nyaris terjatuh saat berdiri.

Bukan karena Bu Reni, tapi perempuan yang mengikutinya. Aku ingat dia: Verena Jesslyn, ibunya Ariel. Mau apa dia bertemu aku, ya? Jangan-jangan ... dia nggak suka aku dekat dengan anaknya? Perutku langsung melilit.

"Halo!" sapanya sambil mengulurkan tangan yang ditutupi sarung lembut dari bahan berbulu. Dia tersenyum. Kami berpandangan. Tante Verena memakai lensa kontak warna biru terang, jadi mirip turunan bule. Dia cantik seperti boneka. Azura ternyata mirip ibunya.

Kusambut tangan yang terulur itu dengan sungkan, takut keringat di telapakku mengotori sarung tangannya yang halus dan mahal. Tapi dia menggenggam tanganku erat.

Dia sangat ramah.

"Mungkin kamu sudah kenal, ya. Ibu Verena ini ibundanya Pak Ariel."

Aku mengangguk pada Bu Reni, lalu menoleh pada Ibu Verena yang masih tersenyum. Dia begitu ... berkelas. Sulit menggambarkannya. Yang jelas aku merasa seperti jelata berada di hadapannya.

"Saya ingat. Ibu hadir di pemakaman Azura, ya."

Matanya mengerjap satu kali, sempat ada kesedihan di sana. Tapi segera berganti dengan sorot percaya diri seperti semula.

"Ibu Verena ingin ngobrol sama kamu. Saya keluar dulu, ya." Bu Reni menyilakan kami duduk di sofa. Setelah Ibu Verena duduk, aku otomatis mengambil tempat di seberangnya. "Ibu, maaf, atau mau memakai ruang lain? Yang lebih lega dan pantas, maksud saya."

Wanita itu melambaikan tangan dengan anggun. Bibirnya yang disapu lipstik merah bata menyunggingkan senyum.

"Nggak usah, Ren. Saya justru minta maaf ini, udah ganggu orang kerja."

Mereka masih berbasa-basi selama lima menit dengan topik mau-minum-apa. Aku menggeleng waktu ditawari. Masa sih aku pesan minum ke Bu Reni!

Setelah hanya tinggal kami berdua, Ibu Verena pindah ke sisiku. Kami sama-sama duduk miring supaya bisa agak berhadapan. Dia memulai obrolan dengan pertanyaan basa-basi seputar pekerjaan. Apa aku betah di sini, sudah berapa lama, apa perusahaan ini cukup memuaskan, dan sebagainya. Aku menjawab sesuai sopannya saja. Mana mungkin mengadukan macam-macam. Lagipula aku cukup senang dan puas bekerja di sini.

"Tante ke sini mau bicara soal Ariel, boleh ya?" Mata birunya berbinar penuh semangat. Suaranya lembut, pelan tapi jelas, enak didengar. 

Tante. Dia berusaha membuat hubungan kami sedikit akrab. Pertanda baikkah?

"Oh, soal apa ya, Bu?"

Senyumnya terlihat tulus mendengar pertanyaanku. "Panggil Tante saja, lah. Kamu calon istri Ariel, kan? Sebentar lagi mungkin harus memanggil saya Mama, lho!"

Mataku pasti terbelalak begitu besar karena Tante Verena tiba-tiba tertawa renyah.

"Ariel cerita kok sama Tante, lagi dekat sama kamu. Lucu juga ya, ketemu dengan adik kelas lagi." Dia mengetuk dagu dengan ujung jemarinya. Matanya menyipit. "Tante lupa, tapi dulu sepertinya dia nggak pernah cerita punya pacar waktu SMA?"

Karena kami memang nggak pernah pacaran secara resmi.

Kami cuma suka bertukar cerita lewat whatsapp dan saling tersenyum kalau ketemu di sekolah. Begitu doang. Tapi sekarang, Ariel sedang menjaga jarak. Apa Tante nggak tahu itu? Tanpa sadar, aku mengalihkan pandang ke lantai, kangen Ariel.

Dia menyentuh tanganku. Aku mendongak dan bertemu dengan sorot mata penuh kasih dari seorang ibu. Mendadak aku kepingin menangis. Seandainya almarhum Ibu pernah menatapku seperti itu, sekali saja. Mungkin aku nggak akan seharu ini.

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang