Bab 24 - Eventually | 3

11.5K 435 6
                                    

Gaun putihku teronggok di lantai kamar hotel, begitu juga dengan pakaian Ariel.

Tangan Ariel membelai pipiku. Tangan yang satu lagi menopang pipinya, karena dia berbaring miring di sebelahku. Setelah beberapa lama, dia menunduk lalu mengecup rambutku.

"Aku nggak mau buru-buru memerawanimu."

"Aku udah nggak perawan, Riel." Agak sakit hati mengingatkan ini padanya.

"Oh, ya. Maksudku, aku nggak mau buru-buru memasukimu."

Kami sama-sama tertawa. Lucu rasanya memulai malam pertama dengan omongan nggak jelas semacam ini. Tapi mungkin Ariel melakukannya karena aku agak gelisah.

"Takut?"

"Sedikit. Apa betul kata orang-orang, itu ... sakit?"

Matanya bertanya, 'memangnya dulu gimana?'

"Aku kan dulu nggak sadar," jelasku malu.

Dia bergerak lebih dekat, mengecup sekitar bibirku. Itu malah bikin aku penasaran karena dia nggak cium bibir sama sekali. Lalu dia mengangkat wajah, membuat jarak antara hidung kami. Rambutnya berantakan, dan itu membuat dia tambah seksi. Jantungku berdebar begitu keras sampai aku khawatir Ariel bisa melihat denyutnya dari luar.

"Kalau kamu menikmati, nggak akan sakit. Tahu rasanya menikmati? Seperti ini."

Selesai mengatakan itu, dia kembali mencumbuku. Belum, dia belum menaikiku. Dia masih berbaring miring di sebelah. Kepalanya turun ke leher, dan bibirnya menyusuri pundakku. Aku memejam mata, suaraku keluar dari dada. Dia menyatukan jemari kami, kiri dan kanan, lalu menekannya di sisi kepalaku. Tapi dia belum di atasku. Gosh! Aku ingin dia menekan semua bagian tubuhku.

Ariel begitu pintar mencumbu. Kadang-kadang ciumannya turun ke dada, lalu naik ke rahang dan leherku. Kadang-kadang dia membelai sisi dalam paha, lalu menekan pinggang. Semuanya dia lakukan dengan hati-hati, tapi juga hasrat.

"Ariel ..." Aku mengerang. Ini memalukan, tapi aku nggak tahan dibeginikan terus.

Ariel tersenyum lebar lalu berguling ke atasku. Kedua tangan dan kakinya menopang tubuhnya di sisi tubuhku. Dada telanjang dan boxer yang seperti kesempitan membuat mataku agak sibuk. Belum lagi debar jantungku berisik luar biasa, seperti mau mengumumkan pada Ariel, aku ingin dia. Benar-benar jantung yang nggak tahu malu.

"Kanaya," Ariel berbisik, mengamati bibirku. Kembali aku merasa mulutku kering. Sengaja aku membasahinya dengan gerakan lambat.

Suara bergemuruh keluar dari Ariel. Dia ganti mengerang, lalu berbisik di telingaku.

"Tahu, nggak? Aku mau cium kamu sekarang, Naya. Jangan nolak."

Menolak? Ariel harus masuk ke kepala dan hatiku dan lihat sendiri betapa aku ingin dia menyingkapkan selimut yang membatasi kami. Aku bergeming waktu Ariel menunduk lebih dekat, tapi raanya dadaku mau meledak.

Lalu bibirnya menyapu bibirku. Kami sudah pernah berciuman, tapi ini seperti ciuman pertama. Dia mengulum bibirku lembut, tapi juga kasar. Dia memagut hati-hati, tapi juga serakah. Benar-benar karakter Ariel yang sering bertolak belakang: Galak, tapi penyayang. Marah, tapi memaafkan. Cuek, tapi peduli.

Tiba-tiba dia duduk mengangkangi kedua pahaku. Aku tegang. Rasanya kurang nyaman waktu pandangan mata Ariel menyapu tubuh yang nyaris telanjang ini.

Matikan lampu, tolong.

"Kamu harus tahu, Naya, tubuh kamu indah. Semuanya pas di mataku."

Kalimat itu membuat darah mengalir deras di semua saraf tubuhku. Perutku tergelitik, kakiku , dan dadaku gatal. Aku ingin dia menjamahku di semua lekuk tubuhku, membuktikan ucapannya tadi. Indah. Pas di matanya.

"Jangan dilihat begitu ..."

Suaraku nyaris hilang. Sumpah, aku bukan bermaksud menyuruhnya melakukan lebih dari sekedar melihat. Aku cuma mau bilang, aku malu kalau dia melihat seperti itu. Aku malu pada tubuhku yang kurang ideal, menurutku.

Tampaknya Ariel salah paham, karena seringainya dan matanya tiba-tiba penuh dengan gairah yang belum pernah kulihat. Dia malah turun dan menarik bibir atasku dengan gemas, dan itu membuatku mengerang pelan. Antara sakit dan ingin lebih, aku nggak tahu yang mana.

"Naya," panggilnya di sela-sela ciuman.

"Ya?"

"Aku cinta sekali sama kamu."

Lalu dia melepas pakaian yang masih melekat di tubuhku sambil menciumi bagian-bagian yang disentuhnya. Mataku terpejam, menikmati setiap belaian dan kecupan. Aku akan lakukan yang sama untuknya nanti, saat melepas boxer yang membuatku nggak bisa konsentrasi dari tadi.

"Aku juga cinta sekali sama kamu, Ariel."

"Sekarang?" Dia membungkuk di atasku. Pandangannya berganti-ganti fokus antara mata dan bibirku, seperti mau memutuskan yang mana yang mau diciumnya lebih dulu.

"Iya. Sekarang." Kuapit pinggulnya dengan kedua kaki, lalu kupaksa turun. Tubuhnya menekan tubuhku. Di semua tempat. Kami menemukan kelegaan yang telah lama didambakan, ketika beberapa menit setelah memanjakanku dengan tangan dan bibir, Ariel mendorongku dengan lembut.

Aku telah menjadi milik Ariel. Seutuhnya. Selamanya. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang