Bab 3 - Kenangan | 2

11.9K 1K 14
                                    

Aku rasa, kalimat terakhirnya itu yang membuatku gelisah luar biasa malam ini. Mau apa Ariel menyuruhku ke ruangannya? Dan aku harus bagaimana sekarang? Mana mungkin menghindarinya lagi!

Ariel.

Kubisikkan namanya di dalam hati. Mataku terpejam erat, pikiranku berusaha mengenyahkan orang itu dari kepala. Tapi tidak bisa. Semuanya tentang dia malah berlomba-lomba masuk ke dalam memori otakku.

Ariel, ketua OSIS saat aku kelas 10 dan dia kelas 11. Ganteng, pintar, ramah. Barang-barangnya bermerek semua. Kalau tiap murid boleh memesan bahan seragam sekolah sendiri, kurasa Ariel akan datang dengan kemeja merek H&M. Aku menyukainya sejak masih anak baru. Nggak sulit menyukai Ariel, memang. Dia punya banyak fans. Aku salah satunya, tapi nggak mau menunjukkan. Gengsi. Dan malu, tentu. Itik buruk rupa kok naksir burung merak.

Tapi sang merak ini justru nggak tahu malu. Suatu siang kami sama-sama berada di ruang loker penyimpanan bola. Aku kaget waktu dia masuk ke ruangan sambil mendribel bola basket, sementara aku sedang menyimpan dua bola volley yang baru dipakai untuk class-meeting sehabis ujian akhir semester pertama.

"Halo, Kanaya!"

Dia tahu namaku! Ini yang pertama membuatku ge-er.

"Kak Ariel," sapaku hormat, lalu menunduk mengambil bola dari lantai.

Dia maju, membantuku menahan pintu loker. Berdirinya begitu dekat sampai wangi keringatnya tercium olehku. Sumpah, keringatnya memang wangi! Orang kaya makannya apa ya? Keringat saja nggak bau keringat!

Lututku agak gemetar waktu sadar posisi kami begitu dekat. Ariel menahan pintu dengan tangan kanan, sementara tangan kiri memegang bola basket. Dia seperti mengurungku antara loker dan tubuhnya. Aku cepat-cepat memasukkan kedua bola, lalu minggir ke kiri supaya dia bisa menyimpan bola jingga di tangannya, dan membiarkanku keluar.

Oh, ya. Dia memang menyimpan bola, tapi nggak mengizinkanku keluar dari kurungan tubuhnya. Dia malah sedikit merapat, entah sengaja atau tidak. Rasanya sih sengaja. Anehnya, aku nggak merasa ingin marah. Mungkin jatuh cinta memang membuat kita bertindak bodoh dan nggak masuk akal. Jelas-jelas dia mendekatkan tubuhnya padaku, tapi aku ...

... diam saja.

Murahan banget, kan?

Untung saja dia nggak bertindak macam-macam. Selesai menyimpan bola, dia meminta nomorku. Tanpa pikir panjang aku memberinya, mungkin karena selama ini memang sudah ingin tahu nomor ponselnya juga. Dan malam itu, pertama kali dia mengirim pesan. Dia bilang senang bisa mendapat nomorku secara langsung, nggak lewat orang. Aku heran kenapa dia bangga banget gara-gara itu. Aku kan bukan siswi terkenal.

Selayaknya cowok idola, Ariel sulit didekati oleh teman-teman perempuan. Dia lebih suka sibuk dengan OSIS, bulutangkis dan basket, olimpiade sains, dan menjadi juara. Dia begitu cemerlang di bidang akademis. Dia mirip almarhum Kak Karla - kesayangan guru, kebanggaan orangtua.

Tentu saja Ariel nggak kenal kakakku. Aku saja yang suka membandingkan dan mengagumi mereka diam-diam. Yah, aku mengagumi otak pintar, sesuatu yang aku nggak punya.

"Jadi kakakmu udah meninggal?" tanyanya lewat pesan Whatsapp.

"Iya."

"Terus kamu jadi anak tunggal?"

"Iya."

"Pasti papa mama kamu jaga kamu luar biasa."

Aku butuh beberapa detik untuk membalas pesannya.

"Nggak juga. Mamaku udah meninggal."

Dia mengirim emotikon terkejut dan sedih. "Ikut belasungkawa. Kapan itu?"

"Setahun habis Kakak."

"Jadi sekarang cuma sama papamu?"

"Iya."

Dia tidak bertanya lagi.

Dan begitulah. Aku agak bangga karena dari sekian penggemar, Ariel memilihku menjadi teman terdekat. Bukan pacar, tapi teman curhat. Dan aku sudah cukup senang dengan itu. Di sekolah, kami diam-diam saja. Aku tidak mau diolok-olok dengannya, dan sepertinya dia juga lebih suka kalau pertemanan kami dirahasiakan. Dan kami tetap begitu sampai dia kelas 12, aku kelas 11. Lalu terjadi sesuatu.

Dan sesuatu itulah yang membuat aku tidak punya muka untuk bertemu dengannya lagi.

Sesuatu, yang aku nggak ingin Ariel tahu.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang