"Makan dulu yuk!" ajaknya, sambil mengeluarkan dua buah bungkusan nasi. "Kamu suka nasi padang, kan? Masih suka ayam bakar kayak dulu? Ini kubeliin."
Ya Tuhan, dia masih ingat menu kesukaanku! Aku hampir menggeleng, gengsi menerimanya. Tapi sial, tepat saat itu perutku berbunyi. Kak Arka tersenyum geli.
"Naga-naganya udah protes ya?" candanya.
Aku tersipu, tidak menyahut sepatah katapun.
"Makan aja. Yuk, bareng aku."
Kami sama-sama duduk di sofa. Ternyata Kak Arka membawakan piring dari rumah, jadi kami bisa makan tanpa takut nasinya tumpah.
"Makanya aku ingin pindahin Zura ke VIP supaya ada meja makan. Ini sempit sekali." Ujarnya lagi sambil menyodorkan satu piring padaku. Aku memandangi bungkusan nasi yang belum dia buka.
"Berarti, menu Kakak itu cincang, ya?"
"Haha ... kamu masih ingat juga!"
Aku ikut tersenyum. Dia memandangku selama beberapa detik, lalu kembali tunduk dan menyantap makanannya.
Selama makan, kami diam saja. Mataku pura-pura sibuk menonton siaran televisi, padahal aku nggak menyimak sama sekali. Wangi air laut yang menguar dari baju kausnya mengacaukan fokusku. Dulu, aku begitu terbiasa dengan aroma ini. Dulu aku suka berbaring dalam pelukannya, mendengarkan bunyi jantung yang katanya berdetak lebih keras setiap kali bertemu aku.
Oh, tidak. Kepalaku mendadak pusing. Kenangan itu lagi. Ini harus kuselesaikan sekarang juga.
Selesai makan dan membersihkan semuanya, Kak Arka memeriksa Azura selama beberapa saat. Aku berdiri gugup menunggunya berbalik. Ketika akhirnya dia menutup kembali tirai yang mengelilingi tempat tidur, aku memberanikan diri untuk bicara.
"Kak, boleh aku ngomong?"
Dia terkejut, tapi kemudian mengangguk. Seolah-olah dia sudah tahu bahwa cepat atau lambat kami harus bicara lagi. Kak Arka memberi kode agar kami keluar. Aku menurut.
"Kantin aja yuk. Di lantai sini ada café. Biar aku beritahu perawat dimana mencariku kalau mereka butuh."
Dia berbelok menuju nurse station, sedang aku mendahuluinya ke café yang dia maksud. Letaknya di ujung lantai ini dengan pemandangan ke luar rumah sakit dari lantai empat. Aku memandang ke jalan raya, setengah melamun. Hari sudah gelap, café ini sepi karena tidak menjual makanan berat. Aku yakin kantin di lantai dasar saat ini penuh dengan orang yang makan malam.
"Mau ngomong apa, Naya?" Kak Arka mengejutkanku. Dia duduk di seberang meja persegi empat yang kupilih. Berhadapan begini malah membuatku gugup, tapi aku harus bisa.
"Sebelumnya maaf. Bukan mau bikin Kak Arka bingung." Tanganku saling meremas di bawah meja. "Tapi aku nggak tenang karena nggak jujur."
"Sama aku?" Keningnya berkerut. "Tentang apa?"
Kuhela napas dalam-dalam, lalu menghitung sampai lima di dalam hati.
"Tentang perasaanku ke Kakak."
Terlihat ekspresi terkejut yang samar di wajahnya. Arka menatap kedua netraku lekat-lekat, seolah ingin mengorek jawaban dari sana.
"Kamu udah bilang, bukan? Kamu cuma ingin tahu apa bisa menyaingi ---"
"Bukan." Kepalaku tertunduk dalam, tidak berani memandang balik matanya. "Bukan cuma itu, Kak."
Kini dia tampak tertarik sekaligus waspada. Karena kami duduk berhadapan, dia bisa terus menatapku dengan leluasa. Sedang aku mengganti-ganti fokus antara wajahnya dan kedua kakiku. Tanganku mencengkeram kursi kuat-kuat.
"Maksud kamu?"
Aku berdeham beberapa kali, menganggap dengan begitu kalimat berikutnya akan keluar dengan lancar. Tapi tanganku malah berkeringat, jantungku berdebar keras. Mulutku malah terkunci rapat. Sekarang hatiku mempertentangkan apa aku harus mengakui ini atau tidak. Sial!
"Kanaya?"
Kak Arka mencondongkan tubuh ke depan, kedua tangannya saling bertaut. Kepalanya tunduk, mencari mataku. Merasa terdesak, akhirnya kalimat itu keluar dengan cepat.
"Aku dulu memang cinta Kakak."
Kak Arka bergeming selama beberapa saat. Dengan air muka menunjukkan rasa tidak percaya, sepertinya dia sedang berusaha mencerna kalimat barusan.
"Dulu?" ulangnya.
Aku mengangguk. Semoga dia tidak bertanya bagaimana perasaanku sekarang, karena sumpah, aku pasti akan mengakui masih menyukainya. Seperti kata Ariel, kalau masih enggan bertemu Kak Arka, kemungkinan besar aku masih menyimpan rasa. Ini yang harus aku tuntaskan sebelum membuat komitmen lebih jauh dengan Ariel.
"Kamu bilang sebelumnya, cuma penasaran." Ucapannya terdengar seperti protes.
Aku mengangguk dengan rasa bersalah.
"Ya. Awalnya gitu."
"Tapi kamu lalu ... suka sama aku? Sebelum kita --- maksudnya, sebelum malam itu?"
"Aku cinta Kakak." ralatku. Bukan sekedar suka, tapi cinta. Ini penting. "Aku nggak lagi anggap Kakak kayak tropi yang harus dimenangin."
Kak Arka diam saja. Dia memandang ke luar, kepada mobil-mobil yang ramai melintasi jalan empat jalur di bawah sana.
"Kenapa kamu cerita ini?" tanyanya sedikit emosi.
"Karena aku ingin jujur sama Kak Arka, sama Ariel, sama diriku sendiri, Kak."
"Boleh aku jujur?" Tiba-tiba dia menatapku tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secrets Between Us [Completed]
RomansaDitulis oleh evenatka untuk event BerKARya bersaMA Kamaksara, 1 Oktober - 30 November 2019. Terima kasih KamAksara buat event yang luar biasa. Ini novel keempat yang selesai tahun ini - horee! Doakan novel ini naik cetak yah.