"It's no longer a matter you can handle alone, Han. Just tell your Mom, or at least call Sia that she come here."
Jeong-Han ga ngerespons. Dia cuma diem natap Ju-Yeon yang tenang dalam tidurnya. Karena Hyun-Jae di ICU dan ga boleh ditemenin selain sama tenaga medis jadi Jeong-Han lebih milih nemenin Ju-Yeon, takut kambuh mendadak.
"Han?"
"I really want to call Mom ...."
Kerjaan Jeong-Han ga cuma jadi model. Bahkan saudaranya ga ada yang tau, tapi Jeong-Han mulai bantuin ayahnya ngurusin perusahaan. Banyak, banget. Jeong-Han lelah.
"Call her."
"I can't."
Bukan Joshua yang sekarang lagi di sampingnya. Joshua ada di ICU, turun tangan jagain dan pantau keadaan Hyun-Jae. Tapi Peter.
Dia dateng tadi jam lima subuh. Kevin akhir-akhir ini ga banyak merintah apa-apa, palingan suruh ngawasin temen-temennya aja, jadi Peter bisa pergi sementara waktu.
Peter denger juga Jeong-Han akhirnya kontakan lagi sama Sia.
Dan Hyun-Jae sakit. Ju-Yeon sakit.
Mungkin dari tadi Jeong-Han lagi mikir, karena akhirnya dia ngeluarin ponselnya untuk nelpon Sia.
"Iya, Han?" panggilannya langsung masuk. Di sana mungkin Sia masih jam kerja.
"Bisa ketemu, ga? Ada yang mau gue omongin."
"Lo lagi di Seoul?"
"Engga."
"Lah terus?"
"Lo yang ke sini." Jeong-Han liat Peter yang lagi natap dia, ngodein sesuatu.
Ajak Yun-Ho, begitu gerakan bibir Peter.
Sia diem agak lama, lagi mikir. "Penting banget, ya?"
"Iya .... Bisa sekalian aja Yun-Ho?"
"Eh? Ngapain? Ada apa sih kok perasaan gue ga enak, Han ...."
Jeong-Han ngehela napas. "Ju-Yeon di sini, dia sakit. Jadi kalian berdua dateng, ya? Gue mau ngajak rembukan sesuatu."
Peter di depannya ngangguk, senyum kecil ke Jeong-Han. Ga lama, dia izin keluar kamar karena ada panggilan masuk.
"Oke ... gue pulang kantor langsung jemput Yun-Ho deh. Ju-Yeon hari kamis harus dateng rapat jadi gue harap dia cepet sembuh."
"I hope so."
Jeong-Han mutus panggilannya duluan.
Peter belum balik, jadi Jeong-Han balik ngelamun lagi. Matanya ngeliat ke mana aja, langit-langit, jendela kaca, tivi.
Sampai akhirnya kembali natap Ju-Yeon yang tidur.
Tangisan Ju-Yeon semalem awalnya biasa aja, tapi lama-lama jadi histeris. Sesek napasnya kambuh, untung aja Jeong-Han dateng di saat itu.
Peter balik saat Jeong-Han lagi ngusap rambut Ju-Yeon, entah sambil mikirin apa.
Dia narik kursi sisaan di deket jendela untuk duduk samping Jeong-Han. "Kamu inget kenangan dulu? Kamu seneng banget bisa punya Jae-Hyun padahal Ye-Rin juga masih kecil, lagi lucu-lucunya.
"Kamu selalu pamer sama saya kalau adik-adik kamu lucu. Ye-Rin cantik, anehnya Jae-Hyun juga cantik."
Jeong-Han masih diem, masih ngusap rambut Ju-Yeon.
"Kamu dulu sering main bareng Sia, mungkin karena seumuran kalian jadi akrab."
Jeong-Han masih ga nanggepin, tapi bukan berarti ga peduli.
Di kepalanya sekarang ingatan dulu waktu tinggal di London terputar gitu aja.
"Beda sama Sia yang supel, Mia lebih sering duduk. Tapi saya inget, walaupun mereka kembar identik, senyum mereka beda. Senyuman Sia cantik, refreshing. Kalau Mia manis, calming."
Iya, Sia ga lahir sendirian. Dia lahir ke dunia berdua. Sia kakaknya. Mia adiknya.
"Sampai Mia menghilang gitu aja. Ga ada yang nanyain dia. Kamu masih asik main sama Sia. Dari semua keluarganya, jadi cuma Sia yang tinggal di London.
"Saya pernah tau Sia dan Mia punya adik laki-laki, dua orang, tapi saya ga pernah tau mereka siapa."
Jeong-Han inget banget alasan awalnya kenapa Sia dan Mia tinggal di London berdua sementara dua adiknya di Seoul.
"Mia terapi di sini, jadi aku sebagai kakak harus selalu jagain dia. Ju-Yeon sama Yun-Ho pasti bisa saling jaga juga."
Bayangin seorang anak kecil udah bisa ngomong begitu, Jeong-Han baru sadar kalau ternyata Sia anak yang kuat di masa lalu. Sampai sekarang pun masih.
"Beberapa tahun setelahnya, dua adiknya sudah besar. Jae-Hyun mirip dengan Mia, lebih suka duduk diam lihat kakak-kakaknya main. Sebelum Mia dibawa pergi entah ke mana, Jae-Hyun selalu main sama Mia.
"Sebelum saya pergi, saya sempat lihat adik terakhir mereka, namanya Yun-Ho. Entah kenapa waktu itu orangtua mereka ikut pindah dan bawa Yun-Ho, tapi anak satunya engga dibawa."
Kali ini Jeong-Han nengok ke Peter. Ternyata Peter tau sebanyak ini dan dia diem aja.
Well, Jeong-Han ga nanya juga sih jadi ngapain Peter repot-repot cerita.
"Jae-Hyun deket sama Mia. Mereka suka main berdua, main yang engga menguras banyak tenaga. Main boneka, ngobrol, so on."
Peter jadi ngusap tangan Ju-Yeon. Ga tau maksudnya apa, mungkin untuk memberi kekuatan supaya Ju-Yeon cepet sadar. Sama kayak yang Jeong-Han yang ngusap kepalanya.
"Ga banyak yang saya tau setelah saya balik ke Kanada, tapi kabar terakhir yang saya dengar dari ibu saya, Mia meninggal. Dia punya penyakit turunan dari buyutnya yang sudah lama tidak muncul di generasi setelahnya. Saya juga tau Yun-Ho dan Sia ikut pulang ke Korea, entah ke mana. Dan saya masih ga kenal siapa adik Sia yang satu lagi.
"Saya juga dapet kabar kalau Jae-Hyun syok dan sempat terapi beberapa bulan dibantu psikolog."
"Syok ...?"
Peter ngerutin kening. "You didn't know."
Jeong-Han ngangguk. "Jae-Hyun balik ke rumah dalam keadaan sehat waktu masuk SD dan gue ga tau kabar Mia meninggal sampai Sia ngehubungin gue agak lama, beberapa tahun setelahnya. Itu jadi kontak terakhir gue sama Sia dan baru saat ini lagi tau kabar dia.
"Dan tau kalau Ju-Yeon ini adiknya."
Mereka hening sebentar.
"Apa yang bikin Jae syok ...?" gumam Jeong-Han ke dirinya sendiri.
"Maybe you can ask him later, personally," Peter ngeliatin Jeong-Han. Dia tau kalau kondisi pikiran Jeong-Han lagi ga tenang. Dia lagi berusaha nyambungin semua kepingan puzzle di masa lalu.
Jeong-Han sadar kalau emang dia ga terlalu deket sama Hyun-Jae dari dulu. Jeong-Han bukan orang pertama yang jadi tempat Hyun-Jae berkeluh kesah. Hyun-Jae sering cerita ke Ye-Rin, lebih sering lagi cerita ke bundanya.
Sekarang dia baru nyesel kenapa ga dari dulu dia perhatiin semua anggota keluarganya.
Kalau aja Jeong-Han ga iyain tawaran kakeknya untuk megang fasilitas kerajaan kayak sekarang, mungkin saat ini Jeong-Han masih jadi pemuda apatis yang ga peduli sekitarnya.
Ponsel Jeong-Han geter di sakunya. Nama Joshua terpampang di layarnya.
"Han, di mana?" pertanyaan itu langsung nyambut telinga Jeong-Han.
"Di kamar Ju-Yeon."
"Bisa tolong ke ICU? Gue butuh tanda tangan lo buat izin prosedur."
Jantung Jeong-Han selalu berdetak ga karuan tiap ada sesuatu yang asing menyangkut tentang Hyun-Jae.
"Prosedur apa ...?" tanyanya, takut sama jawaban yang bakal dia terima.
Joshua diem sebentar. "Ke sini aja, ya? Lo bisa baca sendiri, nanti gue jelasin."
So tiring, hm?
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Is Not Only Yours (Book 2) || The Boyz
FanficLiving as a normal people isn't important anymore. You should only live your life well, full of love and happiness. The Boyz with other idols. BxB September 5 -